kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur nan empuk. Penat sebenarnya seharian bersama Putra dan teman-temannya. Kelelahan ini tak terasa sampai tadi tiba-tiba aku menemukan foto pre wedding Dimas di dalam kamera Putra. Tubuh ini rasanya langsung lemas seketika, tulang-tulang dan persendian sekujur tubuh rasanya ingin rontok, kepala berat dan berputar-putar, oleh karena itu kuputuskan untuk segera mengajak Putra mengantarkanku pulang.
Aku sudah berberes, membersihkan tubuh, mengenakan pakaian tidur, membuat secangkir teh hangat, memoles masker malam, semua rutinitasku sebelum melelapkan diri dalam mimpi. Masih berbaring menatap langit-langit kamar yang putih. Meski putih, tetap saja tak sepenuhnya putih. Ada bercak hitam disana-sini. Pikiran ini masih melayang kepada hari besar Dimas. Bahkan aku belum merespon apapun tentang undangannya.
Drrttt drrttt
Hanphoneku berbunyi.
Dimas Calling
Aku tekejut, masih mengenggam handphone tanpa mennekan tombol hijau untuk mengangkat telponnya. Apa yang dilakukan Dimas? Menelponku? Ini malam sehari sebelum hari besarnya! Dan ini hampir mendekati pukul 12 malam! Aku masih memandangi layar handphone dengan nama Dimas disana.
Getaran dan ringtone berhenti.
1 missed call.
Aku menghela nafas. Apa yang Dimas lakukan? Menelponku di tengah malam?
Drrrt..drt..
Dimas Calling
Sekali lagi, dia menelpon harus kuangkatkah? Oke, aku harus mengangkat dan mengucapkan selamat. Aku harus berbahagia untuknya. Harus. Hati ini, akan menyesuaikan nantinya. Aku yakin, aku bisa melewati ini.
"Hallo."
"Emm, hallo, Ra."
"Ya."
"Sudah tidur?"
"Hampir."
"Mmm..."
Sesaat hening. Aku tak berani berkata-kata
"Ra,"
"Ya?"
"Maafkan aku, Ra."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. "
"Ra, aku mohon kamu mengerti posisi aku."
"Dimas, aku rasa tak ada yang perlu dibahas lagi."
"Aku tahu kamu di Jogja kan?"
"Darimana kamu tahu?"
"Risa, sepupuku."
"oh, dia. Ya, aku disini, tapi bukan untuk undanganmu. Bahkan aku nggak tau kalau acara pernikahanmu diselenggarakan di Jogja dan pada akhir pekan ini. Aku pulang untuk menemui Ibu."
"Untuk apa , Ra?"
"Bukan urusanmu untuk tahu untuk apa aku menemui Ibu, Mas. Udah deh. AKu minta maaf, aku nggak bisa hadir. Karena Minggu pagi aku sudah harus berangkat ke Jakarta lagi. Dan tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, aku baik-baik saja. Sama baiknya saat 4 bulan yang lalu kita memtuskan untuk berjalan sendiri-sendiri."
"Aku tidak memaksa kamu untuk datang, Ra. Aku bis amengerti itu. Tapi tolong jangan hakimi aku dengan sikapmu."
"Menghakimi seperti apa,Mas?"
"Sikapmu ,Ra"
"Aku harus seperti apa? Rasanya aku haru shilang saja dari bumi ini? Gitu menurutmu?"
"Bukan..., Ra..tolong mengertilah."
"Aku nggak paham arah pembicaraanmu. Kamu takut dipersalahkan semua teman-teman karena punya keputusan tidak lagi denganku dan secepat ini menikah dengan yang lain kan?"
Aku terlalu frontal nampaknya. Dan aku mulai menangis.
"Ra..."
"Udalah , Mas. Cukup, tidak usah kita bahas lagi perasaan ini seperti apa. karena besok adalah hari besar kamu. Hadapi dan jalani itu. Jangan lagi ada pembahasan ini kedepan. Karena aku menjaga perasaan istrimu kelak."
Dimas terdiam.
"Ayu, Ra. Namanya Ayu."
Aku bahkan tak peduli siapa nama claon istrinya. Yang ada di kepalaku hanya segera menghapus masker malam yang sudah rusak karena aku berbicara dengan semangat. dan menyalakan laptop untuk menulis dan menyibukkan diri untuk melupakan percakapan malam ini.
"Ra,"
"Ada lagi?"
"Sekali lagi aku minta maaf. Aku doakan kamu segera mendapatkan yang terbaik dan bahagia. Aku ingin melihat kamu bahagia."
Aku menangis sejadi-jadinya. Dan hanya sanggup mengucapkan "Ya."
Lalu kumatikan handphoneku.
*
Sunday, 29 November 2009
Wednesday, 25 November 2009
Wanita Pilihannya
"Lo nggak papa kan Ra?"
"Enggak kok mungkin uda capek aja kali ya. Ini uda jam 9 malem, uda nyaris 12 jam kita diluar rumah bukan?"
"Iya."
"Lagian lo besok juga kudu moto kan?"
"Iya, ke siramannya Dimas sepupunya Risa."
"Iya, jadi kita bisa pamit duluan kan ma temen-temen lain?" Aku sedikit tidak enak harus berpamitan lebih dulu meninggalkan makan malam bersama komunitas yang menyenangkan ini.
"Nggak masalah. Yok."
Kami berdiri dari tempat lesehan. Putra berpamitan dihadapan rekan-rekan lain. aku tersenyum dibelakang Putra dan melambaikan tangan kesemuanya.
Jogja dingin malam ini, setiap malamnya tepatnya. Diperjalanan aku kembali memulai adegan membisu. Kesenangan tiada tara di Ratu boko seakan hilang dalam sekejap saat melihat foto jepretan Putra dengan model Dimas dan wanita pilihannya.
::
Wanita pilihannya
"Apa ini?" pertanyaan retoris keluar dari mulutku saat dia menyodorkan sesuatu berwarna cokelat keemasan, yang sangat apik, berpita dengan tulisan 'Undangan' dihadapanku.
"Undangan Ra."
Rasanya aku tak ingin mengakhiri episode bisu. Aku hanya terdiam, bahkan tak menyentuh undangan tersebut.
"Ra, katakan sesuatu."
Aku memainkan jari-jariku, menunduk.
"Ra.."
Aku mencoba mengangkat wajahku memandangnya.
"Ra, maafkan aku."
Aku menengadahkan kepalaku, berusaha menahan airmata ini tidak menetes.
"Ra..."
Aku masih tak menjawabnya. Dimas gelisah. Dalam posisi kedua siku yang diletakkan dimeja memangku kepalanya, mengusap wajahnya sendiri, menghela nafas panjang dan menghentikan tangannya di keningnya. Dan aku masih membisu.
"Aku tahu Ra, ini berat untukmu. Aku mungkin patut dipersalahkan. Tapi aku ingin melihat kamu bahagia juga segera."
Aku meberanikan diri memandangnya yang masih menunduk. mencoba tersenyum.
"Aku nggak tahu harus ngomong apa."
Dimas mengalihkan pandangannya kearahku yang usdah mengeluarkan sbeuah kalimat.
"Ra, aku minta maaf."
"Untuk apa, nggak ada yang salah."
Dimas kembali menghela nafas panjang.
"Dia tidak sama dengan kamu."
Apa aku meminta penjelasan? Mengapa dimas bertutur mengenai calonnya? Aku belum siap untuk mendengar ini. Aku berharap nana segera datang dan aku akan meninggalkan drama paling menyedihkan ini segera.
"Hei!"
Suara nana tiba-tiba terdengar jelas. Aku terselamatkan dari uraian mata kuliah siapa dia ala Dimas. Belum lagi aku selesai menata hati dari 4 bulan silam, Dimas sudha memberiku ujian tengah semester dengan undangannya ini.
"Hai, Na. Sudah?"
Aku bertanya basa-basi berharap nana segera paham maksudku.
"Sudah, dan ini undangan siapa?"
"Aku, Na." Dima smenjawab lirih.
"What?"
Nana tak dapat menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
"Ow oke, selamat ya Dimas. Ini buat kami berdua kan undangannya?"
Dimas mengangguk lemah.
"Emmm, gue tadi sebenrnya masih ditungguin lagi gitu ma temen gue, kita cabut sekarang yuk Ra. Nggak papa kan mas? lo tadi mo ngasih undangan ini ajah kan?"
nana berkata panjang lebar berusaha membawa aku lari dari keadaan yang serba kilat tak mengenakkan ini.
"Nggak masalah Na. Hati-hati ya kalian."
"Yuk Ra."
Nana dengan cepat mengambil undangan Dimas, dan menjabat tangan dimas. Aku berdiri dari dudukku dan turut menjabat tangan Dimas beberapa saat setelah nana lebih dulu berjalan menuju pintu coffeshop.
"maafkan aku, Ra."
Aku tak menjawab. Aku mengalihkan pandanganku ke jalan raya. Dimana semua kendaraan memadatinya. Lampu-lampunya nampak indah dilihat dari coffeshop ini. Diluar ada keramaian dan kepadatan. Mungkin lebih baik aku ditengah sana, tidak di meja ini, berhadapan dengan Dimas yang menyampaikan tentang wanita pilihannya.
::
"Enggak kok mungkin uda capek aja kali ya. Ini uda jam 9 malem, uda nyaris 12 jam kita diluar rumah bukan?"
"Iya."
"Lagian lo besok juga kudu moto kan?"
"Iya, ke siramannya Dimas sepupunya Risa."
"Iya, jadi kita bisa pamit duluan kan ma temen-temen lain?" Aku sedikit tidak enak harus berpamitan lebih dulu meninggalkan makan malam bersama komunitas yang menyenangkan ini.
"Nggak masalah. Yok."
Kami berdiri dari tempat lesehan. Putra berpamitan dihadapan rekan-rekan lain. aku tersenyum dibelakang Putra dan melambaikan tangan kesemuanya.
Jogja dingin malam ini, setiap malamnya tepatnya. Diperjalanan aku kembali memulai adegan membisu. Kesenangan tiada tara di Ratu boko seakan hilang dalam sekejap saat melihat foto jepretan Putra dengan model Dimas dan wanita pilihannya.
::
Wanita pilihannya
"Apa ini?" pertanyaan retoris keluar dari mulutku saat dia menyodorkan sesuatu berwarna cokelat keemasan, yang sangat apik, berpita dengan tulisan 'Undangan' dihadapanku.
"Undangan Ra."
Rasanya aku tak ingin mengakhiri episode bisu. Aku hanya terdiam, bahkan tak menyentuh undangan tersebut.
"Ra, katakan sesuatu."
Aku memainkan jari-jariku, menunduk.
"Ra.."
Aku mencoba mengangkat wajahku memandangnya.
"Ra, maafkan aku."
Aku menengadahkan kepalaku, berusaha menahan airmata ini tidak menetes.
"Ra..."
Aku masih tak menjawabnya. Dimas gelisah. Dalam posisi kedua siku yang diletakkan dimeja memangku kepalanya, mengusap wajahnya sendiri, menghela nafas panjang dan menghentikan tangannya di keningnya. Dan aku masih membisu.
"Aku tahu Ra, ini berat untukmu. Aku mungkin patut dipersalahkan. Tapi aku ingin melihat kamu bahagia juga segera."
Aku meberanikan diri memandangnya yang masih menunduk. mencoba tersenyum.
"Aku nggak tahu harus ngomong apa."
Dimas mengalihkan pandangannya kearahku yang usdah mengeluarkan sbeuah kalimat.
"Ra, aku minta maaf."
"Untuk apa, nggak ada yang salah."
Dimas kembali menghela nafas panjang.
"Dia tidak sama dengan kamu."
Apa aku meminta penjelasan? Mengapa dimas bertutur mengenai calonnya? Aku belum siap untuk mendengar ini. Aku berharap nana segera datang dan aku akan meninggalkan drama paling menyedihkan ini segera.
"Hei!"
Suara nana tiba-tiba terdengar jelas. Aku terselamatkan dari uraian mata kuliah siapa dia ala Dimas. Belum lagi aku selesai menata hati dari 4 bulan silam, Dimas sudha memberiku ujian tengah semester dengan undangannya ini.
"Hai, Na. Sudah?"
Aku bertanya basa-basi berharap nana segera paham maksudku.
"Sudah, dan ini undangan siapa?"
"Aku, Na." Dima smenjawab lirih.
"What?"
Nana tak dapat menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
"Ow oke, selamat ya Dimas. Ini buat kami berdua kan undangannya?"
Dimas mengangguk lemah.
"Emmm, gue tadi sebenrnya masih ditungguin lagi gitu ma temen gue, kita cabut sekarang yuk Ra. Nggak papa kan mas? lo tadi mo ngasih undangan ini ajah kan?"
nana berkata panjang lebar berusaha membawa aku lari dari keadaan yang serba kilat tak mengenakkan ini.
"Nggak masalah Na. Hati-hati ya kalian."
"Yuk Ra."
Nana dengan cepat mengambil undangan Dimas, dan menjabat tangan dimas. Aku berdiri dari dudukku dan turut menjabat tangan Dimas beberapa saat setelah nana lebih dulu berjalan menuju pintu coffeshop.
"maafkan aku, Ra."
Aku tak menjawab. Aku mengalihkan pandanganku ke jalan raya. Dimana semua kendaraan memadatinya. Lampu-lampunya nampak indah dilihat dari coffeshop ini. Diluar ada keramaian dan kepadatan. Mungkin lebih baik aku ditengah sana, tidak di meja ini, berhadapan dengan Dimas yang menyampaikan tentang wanita pilihannya.
::
Tuesday, 24 November 2009
Impressive Ratu Boko-3
Gue akan take off sebentar lagi.. Empek-empek sudah di tangan.
Lo balik Jakarta Minggu?
Pesan singkat dari Nana. Lama juga baru dibalas sedari pagi. Tidak masalah, lagipula aku tadi sedang terlarut dengan acara foto-foto bersama teman-teman baru ini.
"Ra, nambah lagi dong.."
Putra menyodorkan bakul nasi kearahku.
"Kenyang Put.. Makasih"
Aku masih fokus dengan hape yang ada di tanganku, meski disekelilingku ramai. Iya, kami sedang santap malam bersama. Hari yang melelahkan tapi sangat menyenangkan bersama lebih dari 15 fotografer handal ini.
"Sibuk amat dengan hape"
"Baru juga megang nih. Sms dari Nana, sahabat aku di Jakarta."
"Ada kabar apa?"
"Enggak sih, cuma dia lagi on the way balik ke Jakarta."
"Darimana?"
"Bangka."
"Wah, kita harus ke Bangka juga Ra..disana sangat-sangat indah."
"Serius lo Put?"
Aku memang sering sekali diceritakan Nana. tapi kali ini yang berbicara adalah seorang fotografer. yang pastinya memiliki penilaian yang bisa dipertanggung jawabkan. Putra mengangguk-angguk.
"Someday, kita kesana ya Put!" Aku hanya asal bicara.
"Pasti." Jawabnya singkat.
Aku terkejut dalam hati, yakin sekali dia kita berdua akan berangkat kesa Bangka suatu saat.
"Terus, lo jadi balik hari Minggu?"
"Sepertinya."
"Sudah dapat tiket?"
"Belum." aku tertawa konyol menertawai jawabanku sendiri.
"Balik bareng gue aja Ra."
"Emang lo balik kapan?"
"Minggu siang, ada tiket nganggur. Temen gue mau tinggal di Jogja dulu."
Aku tak menjawab.
"Eh Put" Risa teman Putra yang tempo hari bertemu aku di bandara tiba-tiba mendekat.
"Iya Ris, kenapa?"
"Maap ya mbak Ratu, mau ngorbol bentar ma Putra."
"Silahkan..." aku bergeser sedikit memberi tempat pada Risa untuk duduk disamping Putra.
"Put, besok lo bisa datang lebih awal kan ya? kakak sepupu gue mau pra-prosesi siramannya ada candid-candidnya geto. Ya sekitar makan siang gitu dirumah calon pengantin."
"Nggak ada masalah sih ris. fine."
"Sip. Mas Dimas baru lihat hasil foto prewed yang digedein buat di resepsi. Dia suka. Dia nitip salam buat kamu."
"Salam balik deh. Emang dimas kapan sampai Jogja?"
"Kemarin Selasa."
Dimas? Aku setengah menguping perbincangan Risa dan Putra. Calon pengantin Pria yang akan diabadikan oleh kamera Putra bernama Dimas. Dunia kok dipenuhi orang bernama Dimas yang akan menikah sih? Aku jadi teringat lagi bahwa Dimas akan menghitung hari menuju hari pernikahan. Tapi kapan ya Dima smenikah. Bahkan aku belum pernah membaca undanganya.
"Ratu."
Aku terkejut dari lamunanku."Iya Put"
"Lo ikut ya acara nikahan besok di siramannya Dimas."
"Iya mbak dateng aja." Risa menimpali
"Ah becanda, gue kan nggak kenal. Enggak lah, lagian put, lo kan kerja moto-moto, entar gue ngapain?"
"Ngelapin keringat gue..." Putra menjawab polos.
Risa tertawa mendengar jawaban spontan Putra. Dan lagi-lagi aku dibuat merah padam oleh Putra. Kali ini didepan Risa. Aku tak menanggapi hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
Risa kembali ke tempat duduknya diawal meninggalkan aku dan Putra. Putra menggeser duduknya mendekati aku lagi.
"Put, boleh lihat nggak foto yang tadi di Ratu Boko?"
"Dengan senang hati Ratu. Ntar ya."
Putra mengeluarkan kameranya dari dalam tas. Dan menyodorkannya dalam posisi display view untukku.
"Kalo mo lihat foto yang lain, geser yang sebelah ini. Kalau sebaliknya , yang ini."
Putra menjelaskan padaku.
"Oke."
Kamera itu sudah digenggamanku. Dan aku memencet tombolnya untuk melihat satu demi satui foto yang sudah dijepret oleh Putra. Bagus semua. Nyaris sempurna. Semua sudut pandang yang disajikan dari foto-foto Putra mengesankan aku. Banyak juga foto-foto ini. Aku terus memencet ke arah next. Hingga sampai ke foto pertama saat kami tiba di ratu boko.
Next
Ada banyak angle dalam hitungan kurang dari 1 menit yang berhasil Putra abadikan saat itu.
Next
siluetku dalam megahnya gapura.
Next
Megah tapi hampa
Next
Aku terpaku. Memandangi dengan seksama display view dilayar kamera ini. Ini , Dimas. Dibalut kemeja putih dan jeans casual di tengah hamparan sawah bersama seorang perempuan. Ini foto prewed. Ini foto prewed Dimas dan calonnya.
*
Lo balik Jakarta Minggu?
Pesan singkat dari Nana. Lama juga baru dibalas sedari pagi. Tidak masalah, lagipula aku tadi sedang terlarut dengan acara foto-foto bersama teman-teman baru ini.
"Ra, nambah lagi dong.."
Putra menyodorkan bakul nasi kearahku.
"Kenyang Put.. Makasih"
Aku masih fokus dengan hape yang ada di tanganku, meski disekelilingku ramai. Iya, kami sedang santap malam bersama. Hari yang melelahkan tapi sangat menyenangkan bersama lebih dari 15 fotografer handal ini.
"Sibuk amat dengan hape"
"Baru juga megang nih. Sms dari Nana, sahabat aku di Jakarta."
"Ada kabar apa?"
"Enggak sih, cuma dia lagi on the way balik ke Jakarta."
"Darimana?"
"Bangka."
"Wah, kita harus ke Bangka juga Ra..disana sangat-sangat indah."
"Serius lo Put?"
Aku memang sering sekali diceritakan Nana. tapi kali ini yang berbicara adalah seorang fotografer. yang pastinya memiliki penilaian yang bisa dipertanggung jawabkan. Putra mengangguk-angguk.
"Someday, kita kesana ya Put!" Aku hanya asal bicara.
"Pasti." Jawabnya singkat.
Aku terkejut dalam hati, yakin sekali dia kita berdua akan berangkat kesa Bangka suatu saat.
"Terus, lo jadi balik hari Minggu?"
"Sepertinya."
"Sudah dapat tiket?"
"Belum." aku tertawa konyol menertawai jawabanku sendiri.
"Balik bareng gue aja Ra."
"Emang lo balik kapan?"
"Minggu siang, ada tiket nganggur. Temen gue mau tinggal di Jogja dulu."
Aku tak menjawab.
"Eh Put" Risa teman Putra yang tempo hari bertemu aku di bandara tiba-tiba mendekat.
"Iya Ris, kenapa?"
"Maap ya mbak Ratu, mau ngorbol bentar ma Putra."
"Silahkan..." aku bergeser sedikit memberi tempat pada Risa untuk duduk disamping Putra.
"Put, besok lo bisa datang lebih awal kan ya? kakak sepupu gue mau pra-prosesi siramannya ada candid-candidnya geto. Ya sekitar makan siang gitu dirumah calon pengantin."
"Nggak ada masalah sih ris. fine."
"Sip. Mas Dimas baru lihat hasil foto prewed yang digedein buat di resepsi. Dia suka. Dia nitip salam buat kamu."
"Salam balik deh. Emang dimas kapan sampai Jogja?"
"Kemarin Selasa."
Dimas? Aku setengah menguping perbincangan Risa dan Putra. Calon pengantin Pria yang akan diabadikan oleh kamera Putra bernama Dimas. Dunia kok dipenuhi orang bernama Dimas yang akan menikah sih? Aku jadi teringat lagi bahwa Dimas akan menghitung hari menuju hari pernikahan. Tapi kapan ya Dima smenikah. Bahkan aku belum pernah membaca undanganya.
"Ratu."
Aku terkejut dari lamunanku."Iya Put"
"Lo ikut ya acara nikahan besok di siramannya Dimas."
"Iya mbak dateng aja." Risa menimpali
"Ah becanda, gue kan nggak kenal. Enggak lah, lagian put, lo kan kerja moto-moto, entar gue ngapain?"
"Ngelapin keringat gue..." Putra menjawab polos.
Risa tertawa mendengar jawaban spontan Putra. Dan lagi-lagi aku dibuat merah padam oleh Putra. Kali ini didepan Risa. Aku tak menanggapi hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
Risa kembali ke tempat duduknya diawal meninggalkan aku dan Putra. Putra menggeser duduknya mendekati aku lagi.
"Put, boleh lihat nggak foto yang tadi di Ratu Boko?"
"Dengan senang hati Ratu. Ntar ya."
Putra mengeluarkan kameranya dari dalam tas. Dan menyodorkannya dalam posisi display view untukku.
"Kalo mo lihat foto yang lain, geser yang sebelah ini. Kalau sebaliknya , yang ini."
Putra menjelaskan padaku.
"Oke."
Kamera itu sudah digenggamanku. Dan aku memencet tombolnya untuk melihat satu demi satui foto yang sudah dijepret oleh Putra. Bagus semua. Nyaris sempurna. Semua sudut pandang yang disajikan dari foto-foto Putra mengesankan aku. Banyak juga foto-foto ini. Aku terus memencet ke arah next. Hingga sampai ke foto pertama saat kami tiba di ratu boko.
Next
Ada banyak angle dalam hitungan kurang dari 1 menit yang berhasil Putra abadikan saat itu.
Next
siluetku dalam megahnya gapura.
Next
Megah tapi hampa
Next
Aku terpaku. Memandangi dengan seksama display view dilayar kamera ini. Ini , Dimas. Dibalut kemeja putih dan jeans casual di tengah hamparan sawah bersama seorang perempuan. Ini foto prewed. Ini foto prewed Dimas dan calonnya.
*
Impressive Ratu Boko-2
Aku terpaku memandang gerbang atau gapura utama candi ini. Putra sudah sibuk menyiapkan kameranya. Aku berjalan menaiki tangga menjauh dari Putra.
"Put, gue nggak salah banget nerima ajakan lo buat difoto kesini!"
aku berteriak padanya, Putra tersenyum sambil memasang lensa pada kameranya.
"Temen-temen lo mana?" Aku berteriak lagi pada Putra.
"Sudah dekat, sebentar lagi sampai. Barusan mereka sms!"
"Ow.."
Aku terus berjalan menuju gapura utama dari Putra sambil memperhatikan sekeliling. Pintu gerbang istana ini mengarahkan kita menuju ke bagian tengah kompleks candi bagian depan, yaitu bagian utama. Dimana terdapat dua buah gapura tinggi, yang terdiri dari dua lapis. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5 pintu. Aku tak terlalu mengambil pusing dengan belum hadirnya teman-teman komunitas fotografi Putra. Aku menikmati tempat ini. Sangat menikmati. Keindahan yang sangat luar biasa, Tuhan memang Maha. Kerajaan waktu itu seperti apa bis amembangun kawasan seperti ini ya?
"Ra!"
Aku menoleh kearah Putra memanggilku lantang. Dengan sigap dia menjepret kameranya beberapa kali.
"Ye..hebat banget ya fotografer satu ini!" aku merasa kecolongan.
Putra tertawa dari kejauhan.
"Bilang donk kalo mo moto, gue kan bisa pasang senyum biar manis dikit hasilnya!"
Putra berjalan mendekat kearahku yang sudah berada persis di gapura.
"Nggak usah senyum lo uda manis." Putra berkata polos dengan senyumnya saat sudah berada di hadapanku. Mungkin wajahku merah padam.
"Heheehee" dan aku hanya tertawa konyol.
"Nih lihat". Putra menunjukan display dari kameranya hasil jepretan beberapa saat yang lalu.
"Waw!"
"Aduh Ra, jangan tereak gitu."
"Sory-sory...abis gue kaget. Bagus banget ya?"
aku masih terkagum-kagum melihat hasil jepretan Putra, gapura terlihat sangat megah, dan aku tampak hanya seperti bayangan gelap yang berdiri di tengah kekosongan. Dia luar biasa sekali!
Putra tersenyum "Ayok kita ke jalan lagi."
Setelah melewati gapura utama, kakiku menginjak hamparan rumput luas. Bisa dikatakan ini seperti alun-alun. Sekitar 45 meter dari gapura kedua, di sisi kiri alun-alun terdapat bangunan seperti candi yang berbahan dasar batu putih.
"Put, itu apa?" Aku menunjuk
"Itu Candi Batu Putih. Soalnya bahan dasarnya dari batu putih Ra."
Tak jauh dari situ terdapat bangunan berbentuk bujur sangkar dengan dua teras.
"Kalau yang itu?"
"Itu Candi pembakaran Ra. ukurannya kurang lebih 26 x 26 meter. Sesuai namanya candi itu konon digunakan untuk upacara pembakaran jenasah. "
"O...ada apa lagi selain dua bangunan ini disini?"
"Banyak sih Ra, tapi yang paling deket disana, ada batu berumpak dan kolam."
Tiba-tiba Putra menjepret kameranya lagi saat aku masih terpana dengan sekeliling aku. Suasana di keraton candi ratu boko ini gersang. Rumputnya kekuning-kuningan. Dan seperti y ang tertangkap kamera, megah tapi ada kehampaan disini.
*
"Put, gue nggak salah banget nerima ajakan lo buat difoto kesini!"
aku berteriak padanya, Putra tersenyum sambil memasang lensa pada kameranya.
"Temen-temen lo mana?" Aku berteriak lagi pada Putra.
"Sudah dekat, sebentar lagi sampai. Barusan mereka sms!"
"Ow.."
Aku terus berjalan menuju gapura utama dari Putra sambil memperhatikan sekeliling. Pintu gerbang istana ini mengarahkan kita menuju ke bagian tengah kompleks candi bagian depan, yaitu bagian utama. Dimana terdapat dua buah gapura tinggi, yang terdiri dari dua lapis. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5 pintu. Aku tak terlalu mengambil pusing dengan belum hadirnya teman-teman komunitas fotografi Putra. Aku menikmati tempat ini. Sangat menikmati. Keindahan yang sangat luar biasa, Tuhan memang Maha. Kerajaan waktu itu seperti apa bis amembangun kawasan seperti ini ya?
"Ra!"
Aku menoleh kearah Putra memanggilku lantang. Dengan sigap dia menjepret kameranya beberapa kali.
"Ye..hebat banget ya fotografer satu ini!" aku merasa kecolongan.
Putra tertawa dari kejauhan.
"Bilang donk kalo mo moto, gue kan bisa pasang senyum biar manis dikit hasilnya!"
Putra berjalan mendekat kearahku yang sudah berada persis di gapura.
"Nggak usah senyum lo uda manis." Putra berkata polos dengan senyumnya saat sudah berada di hadapanku. Mungkin wajahku merah padam.
"Heheehee" dan aku hanya tertawa konyol.
"Nih lihat". Putra menunjukan display dari kameranya hasil jepretan beberapa saat yang lalu.
"Waw!"
"Aduh Ra, jangan tereak gitu."
"Sory-sory...abis gue kaget. Bagus banget ya?"
aku masih terkagum-kagum melihat hasil jepretan Putra, gapura terlihat sangat megah, dan aku tampak hanya seperti bayangan gelap yang berdiri di tengah kekosongan. Dia luar biasa sekali!
Putra tersenyum "Ayok kita ke jalan lagi."
Setelah melewati gapura utama, kakiku menginjak hamparan rumput luas. Bisa dikatakan ini seperti alun-alun. Sekitar 45 meter dari gapura kedua, di sisi kiri alun-alun terdapat bangunan seperti candi yang berbahan dasar batu putih.
"Put, itu apa?" Aku menunjuk
"Itu Candi Batu Putih. Soalnya bahan dasarnya dari batu putih Ra."
Tak jauh dari situ terdapat bangunan berbentuk bujur sangkar dengan dua teras.
"Kalau yang itu?"
"Itu Candi pembakaran Ra. ukurannya kurang lebih 26 x 26 meter. Sesuai namanya candi itu konon digunakan untuk upacara pembakaran jenasah. "
"O...ada apa lagi selain dua bangunan ini disini?"
"Banyak sih Ra, tapi yang paling deket disana, ada batu berumpak dan kolam."
Tiba-tiba Putra menjepret kameranya lagi saat aku masih terpana dengan sekeliling aku. Suasana di keraton candi ratu boko ini gersang. Rumputnya kekuning-kuningan. Dan seperti y ang tertangkap kamera, megah tapi ada kehampaan disini.
*
Saturday, 21 November 2009
Impressive Ratu Boko-1
Nona Nana, Jakarta menunggumu sore ini bukan? Jangan lupa pesananku ya! Empek-empek spesial :)
Kukirimkan pesan singkat ke Nana. Udara pagi Jogja yang sangat dingin membuatku enggan segera meninggalkan kasur maupun keluar dari dalam selimut ini. Bila tak ingat punya janji dengan Putra aku memilih unuk bermalas-malasan seperti hari kemarin.
Kubuka jendela kamarku membiarkan udara dingin memenuhi ruangan kamarku. Suara kokok ayam di halaman belakang tetangga terdengar jelas. Mana pernah di Jakarta mendengar suara kokok ayam? Yang ada suara kendaraan lalu lalang ketika matahari mulai menampakkan diri.
*
"Hai, Putra... Masuk dulu.."
"Iya mbak Ratu."
Aku tersenyum dengan panggilan yang selalu diucapkan Putra padaku.
"Kamu sudah sarapan belom?"
"Sudah kok mbak."
"Yah, padahal aku pengen ngajakin makan nasi gudeg deket batas kota itu."
"Sarapan dua kali nggak papa kan?"
Aku tertawa mendengar jawabannya.
"Yok kita berangkat. Ibu, aku pamit..."
Ibu muncul dari dapur.
"Wah, katanya mau foto-foto ya Nak?"
"Iya bu, Mbak Ratu ini bakat modelnya terpendam, jadi saya mau bantu ngeluarin Bu"
"Yah Putra bisa aja.. nggak bu, ini cum aiseng-iseng berhadiah kok.."
Aku berkilah.
Ibu tersenyum "yo wis, ati-ati yo"
*
Kami meninggalkan rumahku menuju batas kota untuk mengganjal perut dengan nasi gudeg favoritku. Sepanjang perjalanan Putra banyak bercerita tentang aktivitas fotografinya. Dan aku selalu tertarik dnegan yang namanya fotografi. Meski tak pernah belajar khusus namun teman-teman banyak yang mengatakan aku punya sense ketika mengambil gambar meski hanya dengan kamera pocket biasa.
Perjalanan menuju batas kota melewati ruas jalan solo yang membelah kota jogja dari timur ke barat. Aku masih ingat ketika tahun 1998, sepanjang jalan besar ini tak menampilkan fasade seramah sekarang, melainkan suasana mencekam layaknya sedang terjadi perang besar.
Jalanan ini sangat tak berbentuk ketika itu. Lampu pengatur lalu lintas semua dalam keadaan rusak. Ban-ban yang dibakar memenuhi jalan. Toko-toko di sepanjang jalan ini pun turut menjadi korban. pecahan kaca dimana-mana. Masa reformasi saat itu sangat mencekam kota Jogja. Mahasiswa memenuhi jalan berunjuk rasa dan memenuhi sel-sel kantor polisi. Sungguh pemandangan mengerikan di kala itu.
Dan tak terasa kami sudah tiba di tempat langgananku menyantap sarapan nasi gudeg di daerah batas kota.
*
"Jadi ini karena dalam rangka kampanye UNESCO Put?"
"Iya, karena Candi Ratu Boko sudah masuk dalam otorita khusus pemerintah. Dan termasuk dalam daftar warisan dunia UNESCO mbak Ratu."
"Menarik banget. Lo kenapa baru cerita sekarang?"
"Ya ini juga cerita. Abis kemaren pas di pesawat kayanya mbak Ratu lagi nggak bagus moodnya buat diajakin cerita."
"Sok tahu deh lo."
Putra tertawa sambil menghabiskan sisa nasi gudeg di piringnya.
"Terus ini komunitas fotografernya berapa orang Put?"
"Emm mbak ratu liat aja sendiri ntar ya."
"Pakai rahasia-rahasiaan lo ah..."
"Banyak mbak. Gue juga nggak tahu deh."
Putra kembali tertawa
"Bentuk kampanyenya gimana, Put?"
"Jadi mbak nanti foto-foto ini bakal dipajang, dipamerin gitu. Pameran fotonya sekitar bulan depan. "
"Masih lama juga, kantor bisa ngeliput donk."
"Sangat bisa Mbak. Bisa kerjasama media partner juga deh."
Aku menghabiskan teh hangatku.
"Dan artinya, mbak Ratu berarti harus ke Jogja lagi bulan depan..."
"Bisa aja kamu.., Kalau difoto lagi sih mau..."
"Buat Mbak Ratu apa sih yang enggak..."
Kami tertawa nyaris membuat semua orang di warung nasi gudeg ini menoleh. Cukup menarik perhatian ternyata.
"Jangan panggil gue mbak donk Put."
"Lah jadi apa? Tante? Ntar mbak Ratu tersinggung."
"Reseh lo. Ratu aja atau Rara gituh"
"Baik Ratu Rara..."
*
Pemandangan deretan pegunungan selatan sudah terlihat di depan mata. Kami sudah bergerak menuju timur. Candi Ratu Boko terletak kira-kira 3 km di sebelah selatan dari komplek Candi Prambanan. Sekitar 18 km sebelah timur kota Jogja.
Masih lekat di ingatannku saat gempa mengguncang kota Jogja dan sekitar di tahun 2006. Sepanjang jalan raya yang tengah kulewati ini luluh lantah. Nyaris rata dengan tanah. Miris sekali mengingat ketiadaan kita ketika berhadapan dengan bukti kekuasaan Tuhan yang begitu Maha.
Lewat tiga tahun kondisi sepanjang jalan ini telah kembali normal. Aktivitas ekonomi sangat baik sekali. mengingat ini adalah jalan propinsi. yang menghubungkan kota Jogja dan Solo dan terus membentang ke arah timur untuk mencapai Kota Surabaya.
"Ra, lo ud pernah belum ke Ratu Boko ini?"
Putra bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
"Hehehe belum."
"Pantesan."
"Pantesan apa?"
"Kethok ndesone..."
"Hu sial lo ah..."
Putra tertawa lagi. Sedari tadi kami hanya tertawa dan bercerita. Membuatkan benar-benar bersemangat, tak lagi seperti dua hari yang lalu.
"Oke kalau gitu Putra, bisa anda jelaskan ke saya sejarah Candi Ratu Boko ini?"
"Dengan senang hati Ratu Rara..."
Aku tersenyum geli dan siap mendengarkan putra bercerita
"Diperkirakan candi ini dibangun sekitar abad 9 M oleh Dinasti Syailendra, yang kelak mengambil alih Mataram Hindu. Reruntuhan Keraton Ratu Boko ini ditemukan pertama kali oleh Van Boeckholtz pada tahun 1790."
"Wah, bangsa penjajah?"
"Iya lah Ra. Bangsa kita kayanya belum ngeh sama peninggalan sejarah waktu dijajah."
"Terus-terus?"
"Terus, setelah seabad dari penemuan Van Boeckholtz, sekitar tahun 1890, FDK Bosch mengadakan riset arkeologis tentang peninggalan kepurbakalaan di selatan Candi Prambanan dalam laporannya yang dinamai Kraton Van Ratoe Boko."
"Keraton?"
"Iya keraton. Sampai sekarang sebenarnya masih belum ada fakta yang emnjelaskan dengan pasti sebenarnya fungsi Candi Ratu Boko ini apa. Para ahli masih sulit mengindentifikasikan, apakah ia merupakan taman kerajaan, istana, benteng, atau candi."
"Mmm begitu ya?"
"Tapi atribut yang ditemukan mengacu pada sebuah wilayah perkampungan. "
"Terus kenapa namanya Boko ya?"
"Ratu Boko secara harafiah artinya adalah raja bangau. "
"mmm gituh."
"Lengkapnya untuk tata ruangnya tentang candi ratu boko, bisa Rtau rara lihat sendiri nanti."
Mobil kami memasuki kompleks candi yang menanjak ke atas. Ya letak kompleks candi Ratu boko terletak diatas bukit yang merupakan cabang dari pegunungan selatan Jogja.
*
Kukirimkan pesan singkat ke Nana. Udara pagi Jogja yang sangat dingin membuatku enggan segera meninggalkan kasur maupun keluar dari dalam selimut ini. Bila tak ingat punya janji dengan Putra aku memilih unuk bermalas-malasan seperti hari kemarin.
Kubuka jendela kamarku membiarkan udara dingin memenuhi ruangan kamarku. Suara kokok ayam di halaman belakang tetangga terdengar jelas. Mana pernah di Jakarta mendengar suara kokok ayam? Yang ada suara kendaraan lalu lalang ketika matahari mulai menampakkan diri.
*
"Hai, Putra... Masuk dulu.."
"Iya mbak Ratu."
Aku tersenyum dengan panggilan yang selalu diucapkan Putra padaku.
"Kamu sudah sarapan belom?"
"Sudah kok mbak."
"Yah, padahal aku pengen ngajakin makan nasi gudeg deket batas kota itu."
"Sarapan dua kali nggak papa kan?"
Aku tertawa mendengar jawabannya.
"Yok kita berangkat. Ibu, aku pamit..."
Ibu muncul dari dapur.
"Wah, katanya mau foto-foto ya Nak?"
"Iya bu, Mbak Ratu ini bakat modelnya terpendam, jadi saya mau bantu ngeluarin Bu"
"Yah Putra bisa aja.. nggak bu, ini cum aiseng-iseng berhadiah kok.."
Aku berkilah.
Ibu tersenyum "yo wis, ati-ati yo"
*
Kami meninggalkan rumahku menuju batas kota untuk mengganjal perut dengan nasi gudeg favoritku. Sepanjang perjalanan Putra banyak bercerita tentang aktivitas fotografinya. Dan aku selalu tertarik dnegan yang namanya fotografi. Meski tak pernah belajar khusus namun teman-teman banyak yang mengatakan aku punya sense ketika mengambil gambar meski hanya dengan kamera pocket biasa.
Perjalanan menuju batas kota melewati ruas jalan solo yang membelah kota jogja dari timur ke barat. Aku masih ingat ketika tahun 1998, sepanjang jalan besar ini tak menampilkan fasade seramah sekarang, melainkan suasana mencekam layaknya sedang terjadi perang besar.
Jalanan ini sangat tak berbentuk ketika itu. Lampu pengatur lalu lintas semua dalam keadaan rusak. Ban-ban yang dibakar memenuhi jalan. Toko-toko di sepanjang jalan ini pun turut menjadi korban. pecahan kaca dimana-mana. Masa reformasi saat itu sangat mencekam kota Jogja. Mahasiswa memenuhi jalan berunjuk rasa dan memenuhi sel-sel kantor polisi. Sungguh pemandangan mengerikan di kala itu.
Dan tak terasa kami sudah tiba di tempat langgananku menyantap sarapan nasi gudeg di daerah batas kota.
*
"Jadi ini karena dalam rangka kampanye UNESCO Put?"
"Iya, karena Candi Ratu Boko sudah masuk dalam otorita khusus pemerintah. Dan termasuk dalam daftar warisan dunia UNESCO mbak Ratu."
"Menarik banget. Lo kenapa baru cerita sekarang?"
"Ya ini juga cerita. Abis kemaren pas di pesawat kayanya mbak Ratu lagi nggak bagus moodnya buat diajakin cerita."
"Sok tahu deh lo."
Putra tertawa sambil menghabiskan sisa nasi gudeg di piringnya.
"Terus ini komunitas fotografernya berapa orang Put?"
"Emm mbak ratu liat aja sendiri ntar ya."
"Pakai rahasia-rahasiaan lo ah..."
"Banyak mbak. Gue juga nggak tahu deh."
Putra kembali tertawa
"Bentuk kampanyenya gimana, Put?"
"Jadi mbak nanti foto-foto ini bakal dipajang, dipamerin gitu. Pameran fotonya sekitar bulan depan. "
"Masih lama juga, kantor bisa ngeliput donk."
"Sangat bisa Mbak. Bisa kerjasama media partner juga deh."
Aku menghabiskan teh hangatku.
"Dan artinya, mbak Ratu berarti harus ke Jogja lagi bulan depan..."
"Bisa aja kamu.., Kalau difoto lagi sih mau..."
"Buat Mbak Ratu apa sih yang enggak..."
Kami tertawa nyaris membuat semua orang di warung nasi gudeg ini menoleh. Cukup menarik perhatian ternyata.
"Jangan panggil gue mbak donk Put."
"Lah jadi apa? Tante? Ntar mbak Ratu tersinggung."
"Reseh lo. Ratu aja atau Rara gituh"
"Baik Ratu Rara..."
*
Pemandangan deretan pegunungan selatan sudah terlihat di depan mata. Kami sudah bergerak menuju timur. Candi Ratu Boko terletak kira-kira 3 km di sebelah selatan dari komplek Candi Prambanan. Sekitar 18 km sebelah timur kota Jogja.
Masih lekat di ingatannku saat gempa mengguncang kota Jogja dan sekitar di tahun 2006. Sepanjang jalan raya yang tengah kulewati ini luluh lantah. Nyaris rata dengan tanah. Miris sekali mengingat ketiadaan kita ketika berhadapan dengan bukti kekuasaan Tuhan yang begitu Maha.
Lewat tiga tahun kondisi sepanjang jalan ini telah kembali normal. Aktivitas ekonomi sangat baik sekali. mengingat ini adalah jalan propinsi. yang menghubungkan kota Jogja dan Solo dan terus membentang ke arah timur untuk mencapai Kota Surabaya.
"Ra, lo ud pernah belum ke Ratu Boko ini?"
Putra bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
"Hehehe belum."
"Pantesan."
"Pantesan apa?"
"Kethok ndesone..."
"Hu sial lo ah..."
Putra tertawa lagi. Sedari tadi kami hanya tertawa dan bercerita. Membuatkan benar-benar bersemangat, tak lagi seperti dua hari yang lalu.
"Oke kalau gitu Putra, bisa anda jelaskan ke saya sejarah Candi Ratu Boko ini?"
"Dengan senang hati Ratu Rara..."
Aku tersenyum geli dan siap mendengarkan putra bercerita
"Diperkirakan candi ini dibangun sekitar abad 9 M oleh Dinasti Syailendra, yang kelak mengambil alih Mataram Hindu. Reruntuhan Keraton Ratu Boko ini ditemukan pertama kali oleh Van Boeckholtz pada tahun 1790."
"Wah, bangsa penjajah?"
"Iya lah Ra. Bangsa kita kayanya belum ngeh sama peninggalan sejarah waktu dijajah."
"Terus-terus?"
"Terus, setelah seabad dari penemuan Van Boeckholtz, sekitar tahun 1890, FDK Bosch mengadakan riset arkeologis tentang peninggalan kepurbakalaan di selatan Candi Prambanan dalam laporannya yang dinamai Kraton Van Ratoe Boko."
"Keraton?"
"Iya keraton. Sampai sekarang sebenarnya masih belum ada fakta yang emnjelaskan dengan pasti sebenarnya fungsi Candi Ratu Boko ini apa. Para ahli masih sulit mengindentifikasikan, apakah ia merupakan taman kerajaan, istana, benteng, atau candi."
"Mmm begitu ya?"
"Tapi atribut yang ditemukan mengacu pada sebuah wilayah perkampungan. "
"Terus kenapa namanya Boko ya?"
"Ratu Boko secara harafiah artinya adalah raja bangau. "
"mmm gituh."
"Lengkapnya untuk tata ruangnya tentang candi ratu boko, bisa Rtau rara lihat sendiri nanti."
Mobil kami memasuki kompleks candi yang menanjak ke atas. Ya letak kompleks candi Ratu boko terletak diatas bukit yang merupakan cabang dari pegunungan selatan Jogja.
*
Subscribe to:
Posts (Atom)