"Oke Putra, saya duluan ya."
Aku berpamitan dengannya saat berjalan mendekati pengambilan bagasi. Aku tak membawa barang banyak jadi tak ada yang kutitipkan di bagasi pesawat.
"Eh mbak, entar dulu. Sama siapa ke rumahnya?"
"Naik taksi, atau naik trans Jogja."
"Bareng saja. Saya dijemput denganteman saya kok. Yang kakaknya akan saya poto buat nikahannya."
"Ah, nggak usah , rumah saya deket kok hanya di Condong Catur situ."
"Mbak Ratu entar nyasar lho. Kan uda lama nggak pulang tho?"
Dia mencoba meledekku.
"Enggaklah. Makasih banyak Put. Nanti kalau aku mantep untuk acara foto-foto aku telpon ya."
Langkah kami sudah mencapai teras tempat para penjemput penumpang menunggu.
"Eh, mbak, kenalin dulu itu teman saya. Yuk."
Dia menarik tanganku cepat.
"Risa, kenalin nih, mbak Ratu. Dulu bos gue pas gue magang di kantor media itu."
"Ow, mbak Ratu. Risa mbak."
"Ratu." Aku menjabat tangan Risa. Gadis ini manis sekali. Kulitnya putih, senyumnya manis. Wajahnya mirip dengan saudara perempuan Dimas. Ah, tapi perasaanku saja. Pandanganku aku mungkin sudah lelah karena tidur hanya sebentar dan mata ini masih sembab.
"Saya duluan ya." Aku sekali lagi berpamitan.
"Lho, mbak nggak bareng aja ma kita?". Risa menawarkan diri.
"Enggak usah Ris. "
"Tanggung mbak. Bareng aja."
"Enggak usah ya, kayanya nih dijemput di depan, tadi kakakku sms." Aku mencoba berkelit.
Putra menatapku heran. Ups, tadi aku bilang mau naik taksi ya?
"Iya, smsnya baru masuk nih." Aku mencoba mengajukan alasan lebih masuk akal.
"Ya udah, sampai jumpa lagi ya mbak Ratu, ditunggu telponnya." Putra berpamitan.
"Oke."
Aku berjalan menuju pelataran taksi mengantri untuk mengantarkan penumpangnya. Kami berpisah. Putra, mengesankan. Masih tak habis pikir mengapa dia menawariku yang bukan model profesional untuk difoto dalam acara hunting lusa. Tawaran menarik. Aku bisa melupakan penatku. Iya itu tujuanku ke Jogja bukan? Selain untuk Ibu.
*
Sugeng Rawuh, begitu kata billboard di depanku. Taksi ini sudah membawaku keluar dari area bandara. Kalau saja badan ini tidak terlalu capek aku pasti memilih belok kanan dan berhenti di candi Prambanan. Sekedar duduk-duduk atau jalan-jalan. Prambanan pasti mengobatiku. ah, tapi Ibu lebih menunggu. Emm, tidak menunggu sih, karena aku belum memberitahu. Semoga Ibu sehat dan ada dirumah. Meski sudah berusia 66 tahun, Ibu masih aktif. Alhamdulillah, itu kata yang selalu kuucapkan.
Taksi ini sudah memasuki ring road. Mobil-mobil melaju dengan kecepatan ekstra bila sedang berada di jalur ini. Jogjakarta memiliki arteri yang biasa disebut ring road. Jalan raya yang dua kali lebih lebar dari jalan kota. terdiri dari 6 jalur. 3 Jalur untuk masing-masing sisi. 2 jalur untuk kendaraan beroda lebih dari dua, sedangkan satu jalur lambat khusus untuk kendaraan tak bermesin dan roda dua.
Matahari sudah mulai meninggi. Biasanya dipagi hari, jalur lambat akan dipenuhi sepeda onthel yang dikendarai oleh orang-orang dari arah Prambanan dan Kalasan. Ya, mereka mungkin berprofesi sebagai kuli bangunan yang berbondong-bondong memasuki kota Jogja untuk mencari nafkah. Itu pemandangan yang hampir sama bila kita berada di Jalan Gatot Subroto di pagi hari. Semua kendaraan memenuhi lajur dari arah Bekasi menuju kota Jakarta. Semua memiliki tujuan sama, berangkat bekerja.
Tak terasa taksi sudah memasuki jalan menuju rumahku.
"Depan lagi pak, depan sekolah itu persis."
"Iya Mbak."
"Yak, disini saja Pak."
Taksi ini berhenti tepat memenuhi perintahku. Tepat di samping halaman rumah.
"Makasih pak."
Aku membayar dan segera turun dari taksi.
Rumah ini selalu tetap sama menurutku setiap aku baru saja tiba kembali ke rumah. Asri penuh dengan tanaman. Ibu selalu merawat tanamannya dengan baik. Dan aku selalu membuat salah satunya mati setiap bulannya karena lupa menyiraminya dengan rutin. Tabiat yang kontras sekali dengan Ibu.
Kudorong pagar hitam ini. Dan selalu menimbulkan bunyi yang khas. Kemudian, bel rumah ini yang tiada dua, hanya lonceng dari tanah liat yang digantu Bapak tepat diatas kanopi carport. Persis di depan pintu garasi. Cara membunyikannya gampang, tinggal menarik tali yang sengaja dipasang Bapak disitu.
Klinting..klinting..klinting
Bel itu berbunyi. Sedikit berat tidak nyaring.
"Sapa?"
Seperti biasa, Ibu selalu mengecek dengan bertanya pada tamu-tamunya. Aku menahan tawa.
"Assalamualaikum!"
"Walaikumsalan, sinten nggih?"
"Kulo..."
Aku masih berusaha menahan tawa. Kualatkah sedikit membuat kejutan untuk Ibu.
"Sinten?"
"Kulo..."
Terdengar suara tapak kaki dari arah dalam mendekati pintu garasi.
"Kulo sinten?"
Dan Ibu masih melontarkan pertanyaan
Dan pintu pun terbuka , lagi-lagi dengan suara khasnya yang sedikit berderit.
"Kulonuwun Bu..."
Aku menyapa iseng ke Ibu.
"Owalah....Nduk...Nduk...!"
Aku tertawa, spontan meraih tangannya, menjabat mencium pungung telapak tangannya, mencium kedua pipinya dan memeluknya. Erat.
*
"Ada apa kok tiba-tiba pulang?"
Pertanyaan Ibu menghentikan tawaku yang sedari tadi membahana di ruang makan. Cangkir teh panas ini kuletakkan perlahan. Rasanya gorengan tempe dihadapanku menjadi dingin seketika. Bahkan seisi ruang ini. Aku terdiam, memandang Ibu.
"Kok malah diem, wong Ibu nanya lho."
Kuhela nafas panjang. Tujuan utamaku pulang karena ingin bercerita dengan ibu.
"Dimas, Bu."
"Ada apa lagi?"
"Dimas akan menikah."
Mataku mulai berkaca-kaca. Aku merutuki diriku sendiri. Mengapa harus ada air mata? Bahkan aku tak tahu apa arti air mata ini? Sedih, terluka, kecewa, atau senang, ikut berbahagia, terharu? Ibu hanya tersenyum dan mengelus punggungku. Hal yang sama dilakukan oleh Nana malam kemarin.
Ibu beranjak dari duduk menuju ke meja telepon. Mengambil sesuatu dan kembali duduk di meja makan. Kali ini Ibu duduk di sampingku.
"Ini undangannya."
Tuhan, ternyata Ibu sudah tahu sebelum aku bercerita. Ternyata Dimas juga mengirimkan undangan ke Bapak Ibu. Apa artinya ini semua?
Aku terisak, memandangi undangan dengan warna coklat keemasan ini. Warna kesukaanku.
"Nduk"
Ibu bersuara lembut.
"Ikhlas yo...Ibu ngerti nggak mudah buat kowe. Tapi Ibu yakin Gusti Allah yang ngatur semuanya."
Aku semakin sesenggukan mendengar kalimat Ibu. Sentuhan tangannya di punggungku seakan-akan mengeluarkan semua gumpalan-gumpalan perasaan yang menyumbat hatiku sehingga tak dpaat berpikir jernih belakangan.
"Kowe yo yakin tho, karo Gusti Allah?"
Aku mengangguk. Ya, kita hanyalah kecil dihadapanNya. Ini adalah bagian dari ritme kehidupanku. Doa Dimas dikabulkan lebih cepat dari aku. Karen aku yakin kita sama-sama memanjatkan doa didekatkan dan dipertemukan dengan jodoh masing-masing.
"Jodoh itu yang ngatur Allah, Nduk."
Ibu seperti mengurai pikiranku.
"Dimas ndapetin kesempatan lebih dulu ketimbang kowe."
Aku menangguk. Tak sepatah kata yang bisa kuucapkan. Air mataku mulai mereda.
"Jadi, kowe yo sabar wae. Ikhlas Nduk. Allah kuwi Maha."
Aku memeluk Ibu.
"Maturnuwun nggih Bu."
"Iyo, inget Man purpose, but God disspose."
*
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment