"Lo nggak papa kan Ra?"
"Enggak kok mungkin uda capek aja kali ya. Ini uda jam 9 malem, uda nyaris 12 jam kita diluar rumah bukan?"
"Iya."
"Lagian lo besok juga kudu moto kan?"
"Iya, ke siramannya Dimas sepupunya Risa."
"Iya, jadi kita bisa pamit duluan kan ma temen-temen lain?" Aku sedikit tidak enak harus berpamitan lebih dulu meninggalkan makan malam bersama komunitas yang menyenangkan ini.
"Nggak masalah. Yok."
Kami berdiri dari tempat lesehan. Putra berpamitan dihadapan rekan-rekan lain. aku tersenyum dibelakang Putra dan melambaikan tangan kesemuanya.
Jogja dingin malam ini, setiap malamnya tepatnya. Diperjalanan aku kembali memulai adegan membisu. Kesenangan tiada tara di Ratu boko seakan hilang dalam sekejap saat melihat foto jepretan Putra dengan model Dimas dan wanita pilihannya.
::
Wanita pilihannya
"Apa ini?" pertanyaan retoris keluar dari mulutku saat dia menyodorkan sesuatu berwarna cokelat keemasan, yang sangat apik, berpita dengan tulisan 'Undangan' dihadapanku.
"Undangan Ra."
Rasanya aku tak ingin mengakhiri episode bisu. Aku hanya terdiam, bahkan tak menyentuh undangan tersebut.
"Ra, katakan sesuatu."
Aku memainkan jari-jariku, menunduk.
"Ra.."
Aku mencoba mengangkat wajahku memandangnya.
"Ra, maafkan aku."
Aku menengadahkan kepalaku, berusaha menahan airmata ini tidak menetes.
"Ra..."
Aku masih tak menjawabnya. Dimas gelisah. Dalam posisi kedua siku yang diletakkan dimeja memangku kepalanya, mengusap wajahnya sendiri, menghela nafas panjang dan menghentikan tangannya di keningnya. Dan aku masih membisu.
"Aku tahu Ra, ini berat untukmu. Aku mungkin patut dipersalahkan. Tapi aku ingin melihat kamu bahagia juga segera."
Aku meberanikan diri memandangnya yang masih menunduk. mencoba tersenyum.
"Aku nggak tahu harus ngomong apa."
Dimas mengalihkan pandangannya kearahku yang usdah mengeluarkan sbeuah kalimat.
"Ra, aku minta maaf."
"Untuk apa, nggak ada yang salah."
Dimas kembali menghela nafas panjang.
"Dia tidak sama dengan kamu."
Apa aku meminta penjelasan? Mengapa dimas bertutur mengenai calonnya? Aku belum siap untuk mendengar ini. Aku berharap nana segera datang dan aku akan meninggalkan drama paling menyedihkan ini segera.
"Hei!"
Suara nana tiba-tiba terdengar jelas. Aku terselamatkan dari uraian mata kuliah siapa dia ala Dimas. Belum lagi aku selesai menata hati dari 4 bulan silam, Dimas sudha memberiku ujian tengah semester dengan undangannya ini.
"Hai, Na. Sudah?"
Aku bertanya basa-basi berharap nana segera paham maksudku.
"Sudah, dan ini undangan siapa?"
"Aku, Na." Dima smenjawab lirih.
"What?"
Nana tak dapat menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
"Ow oke, selamat ya Dimas. Ini buat kami berdua kan undangannya?"
Dimas mengangguk lemah.
"Emmm, gue tadi sebenrnya masih ditungguin lagi gitu ma temen gue, kita cabut sekarang yuk Ra. Nggak papa kan mas? lo tadi mo ngasih undangan ini ajah kan?"
nana berkata panjang lebar berusaha membawa aku lari dari keadaan yang serba kilat tak mengenakkan ini.
"Nggak masalah Na. Hati-hati ya kalian."
"Yuk Ra."
Nana dengan cepat mengambil undangan Dimas, dan menjabat tangan dimas. Aku berdiri dari dudukku dan turut menjabat tangan Dimas beberapa saat setelah nana lebih dulu berjalan menuju pintu coffeshop.
"maafkan aku, Ra."
Aku tak menjawab. Aku mengalihkan pandanganku ke jalan raya. Dimana semua kendaraan memadatinya. Lampu-lampunya nampak indah dilihat dari coffeshop ini. Diluar ada keramaian dan kepadatan. Mungkin lebih baik aku ditengah sana, tidak di meja ini, berhadapan dengan Dimas yang menyampaikan tentang wanita pilihannya.
::
Wednesday, 25 November 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment