kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur nan empuk. Penat sebenarnya seharian bersama Putra dan teman-temannya. Kelelahan ini tak terasa sampai tadi tiba-tiba aku menemukan foto pre wedding Dimas di dalam kamera Putra. Tubuh ini rasanya langsung lemas seketika, tulang-tulang dan persendian sekujur tubuh rasanya ingin rontok, kepala berat dan berputar-putar, oleh karena itu kuputuskan untuk segera mengajak Putra mengantarkanku pulang.
Aku sudah berberes, membersihkan tubuh, mengenakan pakaian tidur, membuat secangkir teh hangat, memoles masker malam, semua rutinitasku sebelum melelapkan diri dalam mimpi. Masih berbaring menatap langit-langit kamar yang putih. Meski putih, tetap saja tak sepenuhnya putih. Ada bercak hitam disana-sini. Pikiran ini masih melayang kepada hari besar Dimas. Bahkan aku belum merespon apapun tentang undangannya.
Drrttt drrttt
Hanphoneku berbunyi.
Dimas Calling
Aku tekejut, masih mengenggam handphone tanpa mennekan tombol hijau untuk mengangkat telponnya. Apa yang dilakukan Dimas? Menelponku? Ini malam sehari sebelum hari besarnya! Dan ini hampir mendekati pukul 12 malam! Aku masih memandangi layar handphone dengan nama Dimas disana.
Getaran dan ringtone berhenti.
1 missed call.
Aku menghela nafas. Apa yang Dimas lakukan? Menelponku di tengah malam?
Drrrt..drt..
Dimas Calling
Sekali lagi, dia menelpon harus kuangkatkah? Oke, aku harus mengangkat dan mengucapkan selamat. Aku harus berbahagia untuknya. Harus. Hati ini, akan menyesuaikan nantinya. Aku yakin, aku bisa melewati ini.
"Hallo."
"Emm, hallo, Ra."
"Ya."
"Sudah tidur?"
"Hampir."
"Mmm..."
Sesaat hening. Aku tak berani berkata-kata
"Ra,"
"Ya?"
"Maafkan aku, Ra."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. "
"Ra, aku mohon kamu mengerti posisi aku."
"Dimas, aku rasa tak ada yang perlu dibahas lagi."
"Aku tahu kamu di Jogja kan?"
"Darimana kamu tahu?"
"Risa, sepupuku."
"oh, dia. Ya, aku disini, tapi bukan untuk undanganmu. Bahkan aku nggak tau kalau acara pernikahanmu diselenggarakan di Jogja dan pada akhir pekan ini. Aku pulang untuk menemui Ibu."
"Untuk apa , Ra?"
"Bukan urusanmu untuk tahu untuk apa aku menemui Ibu, Mas. Udah deh. AKu minta maaf, aku nggak bisa hadir. Karena Minggu pagi aku sudah harus berangkat ke Jakarta lagi. Dan tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, aku baik-baik saja. Sama baiknya saat 4 bulan yang lalu kita memtuskan untuk berjalan sendiri-sendiri."
"Aku tidak memaksa kamu untuk datang, Ra. Aku bis amengerti itu. Tapi tolong jangan hakimi aku dengan sikapmu."
"Menghakimi seperti apa,Mas?"
"Sikapmu ,Ra"
"Aku harus seperti apa? Rasanya aku haru shilang saja dari bumi ini? Gitu menurutmu?"
"Bukan..., Ra..tolong mengertilah."
"Aku nggak paham arah pembicaraanmu. Kamu takut dipersalahkan semua teman-teman karena punya keputusan tidak lagi denganku dan secepat ini menikah dengan yang lain kan?"
Aku terlalu frontal nampaknya. Dan aku mulai menangis.
"Ra..."
"Udalah , Mas. Cukup, tidak usah kita bahas lagi perasaan ini seperti apa. karena besok adalah hari besar kamu. Hadapi dan jalani itu. Jangan lagi ada pembahasan ini kedepan. Karena aku menjaga perasaan istrimu kelak."
Dimas terdiam.
"Ayu, Ra. Namanya Ayu."
Aku bahkan tak peduli siapa nama claon istrinya. Yang ada di kepalaku hanya segera menghapus masker malam yang sudah rusak karena aku berbicara dengan semangat. dan menyalakan laptop untuk menulis dan menyibukkan diri untuk melupakan percakapan malam ini.
"Ra,"
"Ada lagi?"
"Sekali lagi aku minta maaf. Aku doakan kamu segera mendapatkan yang terbaik dan bahagia. Aku ingin melihat kamu bahagia."
Aku menangis sejadi-jadinya. Dan hanya sanggup mengucapkan "Ya."
Lalu kumatikan handphoneku.
*
Sunday, 29 November 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment