Sunday 8 November 2009

Morning Blues

Aku masih menangis. Baru menangis tepatnya. Nana hanya diam memandangiku. Diam tidak berkata apa-apa. Tangannya mengelus-elus punggungku. Mencoba menyampaikan 'Rara...yang ikhlas ya. Lo pasti bisa melewati semua ini'

"Gue tadi nggak nangis Na..., kenapa baru sekarang gue nangis?"
Nana masih diam.
"Kenapa... tadi gue nggak mengeluarkan.... air... mata atau sumpah serapah... dihadapan..nya? Kenapa... Na...?!"
Aku masih terbata-bata ditengah isakku. Dan Nana masih tak menjawab.
"Gue, nggak tahu... ku...du bahagia... atau kudu ber...sedih. Perasaan gue ... campur... aduk. Gue kaget, Na. Kaget. Gue... nggak... siap denger ini. Nggak siap... Na. Be...lom ...siap."
Kalimat yang keluar dari mulutku masih terbata-bata. air mata aku masih terus mengalir. Hati ini rasanya tak terdeskripsikan dengan kata-kata. Tak cukup dengan kata-kata.

Nana masih diam, tangannya belum berhenti menenangkanku. Mengelus punggungku yang terisak tertelungkup di kasurku ditemani bantal. Rasanya nafas ku tersengal-sengal. Ingin berteriak tapi tak kuasa. Berceloteh panjang lebar hanya Nana yang mendengar. Emosi aku masih tak stabil. Air mata ini masih mengalir.

::
Morning Blues

"Pagi Ratu-ku..."
Suara lembut Nana terdengar jelas di telingaku. Kupaksa membuka mata yang masih terasa berat ini. Cahaya pagi dari arah jendela menembus kedalam kamar. Cerah, seakan ingin mengajaku untuk tersenyum. Nana duduk disamping tempat tidurku. Dia masih tak banyak bicara hanya tersenyum.
"Jam berapa Na?
"Jam 7 pagi sayang. Lo mau ngantor nggak?"
Aku menggeleng.
"Oke, gue cabut dulu. Ntar gue telpon lo siangan."
Aku mengangguk.
"Oya, tadi gue buatin roti bakar, tuh. Dimakan ye cin."
Aku mengangguk tersenyum padanya.
"Daaa nek..."

Pandanganku masih menerawang keluar jendela. Memandangi jalan depan rumah ini yang penuh dengan kendaraan. Suasana pagi hari yang sangat penuh dan ramai. Bertolak belakang dengan perasaanku. Kosong, sepi.

Seharusnya aku tidak boleh menangis! Mengapa aku menjadi cengeng? Bukankah aku sudah melalui catrurwulan pertama tanpanya. Itu berarti hidupku baik-baik saja tanpanya. Dan memang tak ada yang bisa diperjuangkan atau dipertahankan. Ini keputusannya untuk segera mengakhiri masa lajangnya. Aku harus berbesar hati menerima. Seperti saat aku menerima keputusan untuk tak lagi merajut mimpi membangun mahligai bersamanya.

Kupandangi undangan berwarna coklat keemasan itu. Bahkan aku tak pernah tahu siapa calon istrinya.
'Ya Tuhan....'
Akhirnya aku menyebut namaNya, menghela nafas sejenak.
'Doanya sudah Engkau kabulkan. Lebih awal dari aku, dan lebih awal dari yang kukira. Bahagiakan dia Tuhan. Ini yang terbaik untuknya, dan tentu untukku.'
Aku melirih, mengembalikan pada kehendakNya. Aku harus bisa menjalani semuanya ini. Ikhlaskan. Satu kata yang akan kucari tau persis seperti apa definisinya.

Kuambil handphoneku.
"Pagi Ni, bisa disambungkan dengan Bu Putri? Iya ini saya Ratu. Oke Makasih"
Terdengar nada sambung ke ekstension Bu Putri, manajer HRD kantorku.
"Pagi."
"Pagi Bu Putri."
"Iya, ada apa Ratu."
"Maaf, saya harus ambil cuti 3 hari. Kerabat saya ada yang sakit di Jogja. Saya harus pulang. Maaf Bu, mendadak."
"Mmm.. its ok. Kamu belum pernah mengambil jatah cutimu sama sekali. Silahkan. Nanti kita urus administrasinya sepulang kamu dari Jogja ya."
"Terimakasih bu."
"Berangkat jam berapa?"
"Secepatnya, saya akan langsung ke bandara saja."
"Oke Ratu, Hati-hati. "
"Terimakasih Bu."

Pulang ke Jogja karena kerabat sakit? Alasan yang sangat beresiko ketika Tuhan murka dan bisa saja mengabulkan kebohonganku! Aku butuh Ibu. Kangen rumah. Sangat. Raut wajah ibu langsung membayangiku saat aku mulai bersiap mandi.

*
Bayangan rumah tercinta sudah didepan mata. Ibu , aku pulang...ijinkan aku bercerita dalam pelukmu.

"Panggilan ditujukan kepada penumpang Air Asia tujuan Jogjakarta dengan nomor penerbangan QZ 7340. Dipersilahkan menuju pesawat melalui pintu B.Terimakasih"

No comments:

Post a Comment