Friday 20 November 2009

Lovely Bangka-3

Drrtt..drrrtt

1 Message Received My Azzam

Honey, sudah nyampe belom?

Azzam, sudah menanyakanku ketika kunyalakan handphone sesampainya di bandara Depati Amir. Baru saja kuketik pesan singkat untuk balasan handphoneku sudah berbunyi, dengan ringtone khusus yang menandakan Azzam menghubungiku.

"Ya..."
"Honey, daritadi dihubungi kok baru bisa sih?"
"Yampun, baru juga landing beyb..."
"O..pantesan nggak aktif."
"Ya iyalah, kaya nggak pernah naik pesawat ajah kamu tuh."
Dia tertawa di seberang sana.
"Oiya Zam, lupa bilang.. desainnya undangan ditunggu ma percetakannya besok. Biar Senin uda fix. Selasa uda bisa dicetak. Kamu sempetin mampir ya kesana pulang kerja."
"Ow...aku usahain ya. Soalnya mendadak kudu keluar kota nih ntar sore."
"Ha? Kemana?"
"Mmm.. ke Bandung ada traning mendadak. Gantiin temen gitu. "
"Ow, ya udah. Sampe kapan?"
"mmmm sampai minggu sore gitu."
"Ya udah, entar kita urus bareng ajah pulangnya aku dari Bangka. atau aku sendiri, kan lusa udah pulang Jakarta."
"Oke deh, hati-hati ya honey.."
"Oke, You too"
"Bye.."
Tut.

Segera kuambil koper dan berjalan menuju sopir perusahaan yang sudah mennantiku di loby depan ruang kedatangan.

*
Pikiranku menerawang melayang-layang memikirkan Azzam di Jakarta. Sikapnya agak berlebihan belakangan. Tapi semoga ini pertanda baik, dia semakin menghargai aku sebagai calon istrinya. Aku berusaha mengesampingkan dugaan-dugaan negatifku. Kebanyakan dari majalah wanita yang kubaca adalah setiap lelaki bersikap super manis dari biasanya itu tandanya dia baru saja melakukan suatu kesalahan, sehingga berusaha menebusnya ke pasangannya. Semoga t idak berlaku pada hubunganku dan Azzam

Mobil ini melaju langsung menuju kantor cabang perusahaanku. Aku berusaha memulihkan pikiran bekerjaku sebelum tiba di kantor perwakilan. Siang ini aku harus langsung mengambil dokumen kantor Bangka. Tentu saja disertai meeting progress.

*
"Siang Bu Naily.."
"Ow, siang Pak Brata. Maaf Pak Ali tidak bisa hadir."
"Iya, saya sudah dapat kabar tadi dari beliau. Silahkan Pak Hadi sudah menunggu."
Brata adalah bagian keuangan yang memiliki posisi sama denganku. bedanya dia membawahi kantor perwakilan di Bangka ini. Sedangkan aku di Jakarta. Usianya pun tak jauh beda denganku. Dia baru ditempatkan disini dua bulan terakhir. Menggantikan Ibu Reni yang mendadak sakit keras dan meninggal dunia.

Kami bercakap sepanjang perjalanan menuju ruang pertemuan. Brata sosok yang mirip dengan Azzam. Meski umurnya kurasa jauh lebih muda dari Azzam, pemikirannya jauh lebih dewasa dibandingkan Azzam. Iya, ini yang kutakutkan ketika berada di Bangka. Aku selalu membandingkan Brata dan Azzam.

Senyum Pak Hadi menyambutku ramah. Setelah berjabat tangan, rapat pun dimulai. Dan pikiranku sedikit tak fokus. Bukan hanya karena efek baru saja naik pesawat, tetapi posisi duduk Brata yang tepat dihadapanku membuatku sedikit salah tingkah. Beberapa kali pandangannya tertangkap olehku sedang mengamatiku. Padahal yang sedang berbicara Pak Hadi. Aku sedikit tak nyaman untuk rapat kali ini.

*
"Pak Brata, ini semua dokumen pusat ada di CD ini."
Setelah rapat ditutup aku menghampiri Brata untuk menyerahkan Bundelan file dan soft copy dari kantor pusat.
"O, baik Bu Naily. Terimakasih."
"Saya pamit dulu ke Mess."
"Silahkan Bu, nanti saya hubungi lagi."
"Baik. Mari Pak."
Aku undur diri dan segera berjalan meninggalkan ruangan ini. Mencoba mengartikan kalimat terakhir Brata, 'Nanti saya hubungi lagi'. Maksudnya dia akan menghubungiku? Untuk urusan pekerjaan atau yang lain? Sekali lagi aku bermain-main dengan pikiranku. Ah entahlah, aku lelah. Rasanya ingin segera mandi dan istirahat. Bila berada di Bangka aku tak pernah kemana-mana kecuali diajak oleh orang kantor.

*
Kukeringkan sekujur badanku dengan handuk putih ini. Sedikit rileks setelah badan ini tersentuh air hangat selama beberapa lama di bathup. Bangka memang luar biasa. Bagiku beekrja kesini berarti juga liburan sesaat dari crowdednya jakarta. Kapan lagi aku bisa memanjakan diri berendam dan tak terjebak macet sperti ini.

Kukenakan baju santaiku kaos yang sedikit kebesaran, dan celana pendek kesukaanku. langit terang perlahan menjelma menjadi malam melalui senjanya. Kupandangi langit senja bangka yang selalu terlihat indah untukku.

Azzam sudah berangkat belum ya? Kucoba menghubunginya.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan . silahkan mencobanya beberapa saat lagi.

Mmm, aneh, handphonenya tak aktif. Kulihat jam dinding menunjukan pukul 6 sore. Bila sesuai jadwal Azzam harusnya sudha bergerak ke Bandung. Mungkin handphonenya sedang low bat. Kuletakkan handphoneku dan berganti memegang remote tv.

Kamar mess ini tidak terlalu besar, tapi sangat lebih dari cukup untuk satu orang. Satu bed besar, dengan tv di rak dihadapannya. Lemari pakaian yang build-in tepat disamping rak tv. dua buah kursi dan meja bundar di dekat jendela. dan tentu saja balkon tepat disamping kanan tempat tidur. Semua serba putih, hingga aku sempat menjuluki menginap di mess sam adengan opname di rumah sakit.

Ting tong.
Bell kamar berbunyi. Siapa yang bertamu? Apa pesuruh mess? Biasanya mereka mengingatkan makan malam melalui interkom.

Kubuka pintu kamar dan sedikit terkejut melihat siapa yang datang. Brata tersenyum sopan dihadapanku. Dia tampak lain dengan setelan casual seperti sekarang, bahkan menggunakan sandal jepit. Menarik.

"Eh Pak Brata, saya kira siapa."
Dia masih tersenyum memandangku. Aku salah tingkah tapi memutuskan untuk mempersilahkan dia masuk.
"Silahkan pak, masuk."
Brata melangkah dan mengucapkan terimakasih.

Tanpa diperintah kami otomatis memilih duduk di dua buah kursi di samping kiri kasur. Masih tak bersuara satu sama lain. Aku mencoba mencairkan suasana dengan membahas berita di tv yang sedang kutonton.
"Di Jakarta tadi siang ada dmeo lagi tuh Pak."
Brata tertawa.
"Kok pak Brata ketawa sih?"
"Jangan panggil saya pak donk kalo diluar kantor. Brata saja."
"Owalah, iya deh Pak, eh Brata."
Brata mengulurkan tangannya ke arahku, mengajak berjabat tangan. Aku menjabatnya dengan sedikit bingung.
"Saya Brata."
Aku pun menjawab kikuk, "Saya, Nana."
"oke, kita baru saja berkenalan lagi." Brata berkata jelas.
Aku tertawa.
"Jadi, Nana mau kemana malam ini? Kita makan ke pinggir pantai yok. Ada restoran seafood enak disana. Kamu pasti pernah kesana, tapi sama orang-orang kantor pas makan siang kayanya. kalau malem belom pernah kan? Gimana?"
Brata berkata panjang lebar tetapi jelas arahanya mengajaku keluar.
"Menarik. Kasi saya waktu untuk ganti baju ya Pak, eh Brata."
"Nggak usah, lo uda cantik kaya gini ajah. Ayok."
Brata tak memberiku kesempatan sama sekali, dan menarik tanganku.
Aku menurut dan berjalan disampingnya.

*
Angin malam ini sangat kencang, dan aku sedikit kedinginan dengan baju potongan pendek yang kukenakan. Hidangan seafood tarif kaki lima ini sangat enak. Aku tak henti-hentinya memuji Brata yang mengajaku ke tempat ini.
"Besok-besok kita kesini lagi ya Ta!"
Aku masih bersemangat menghabiskan udang asam manisku.
Brata tertawa, "Pastinya Nona Nana."
Aku sedikit terperanjat, dia memanggilku sama dengan Rara biasa memanggilku Nona bila sedang meledek. kebetulan yang sangat luar biasa batinku.

Kuteguk es tehku untuk terakhir kali. menandai berahirnya acara makan malam yang luar biasa ini. Selama aku berkali-kali ke Bangka, baru kali ini rasanya aku merasa istimewa, bisa menikmati pantai ditemani seseorang dan makan malam yang luar biasa enak dan murah.

"Sudah? Kita jalan kesana yok."
Brata menunjuk bibir pantai.
Aku mengangguk dan bergegas membersihkan tangan serta mulutku, lalu menggandengnya. Entah reflek atau apa, tapi iya aku menggandengnya.

*
Suara ombak mengisi kesunyian kami. Tadinya aku cerewet sekali banyak bercerita tapi setibanya di depan pantai ini, aku terduduk diam. Brata juga diam, pandangannya lepas tertuju pada laut dihadapannya.

Tangan kami masih tergenggam erat satu sama lain. Duduk bersila diatas pasir putih memandang laut lepas di depan. Langit sangat cerah, dihiasi bintang. pemandangan yang tak pernah kudapati di jakarta.

"Ta..."
aku membuka suara.
"Ya?"
"Lo tau nggak, di Jakarta gue nggak pernah bisa lihat bintang sebanyak ini."
"Iya."
"Lo tau kenapa?"
"Tau.."
Aku mulai tertarik dengan Brata, cara dia berkomunikasi denganku sedari tadi.
"Jelasin donk.."
Dia tertawa sebelum mebuka cerita
"Pernah dengar Bortle Dark-Sky Scale?"
Aku menggeleng
"Bortle Dark-Sky Scale adalah skala kegelapan langit dengan angka 1-9. Dimana skala tersebut mengklasifikasikan pada sejauh mana bintang dan langit dapat kita lihat dengan jelas dengan mata telanjang."
"oya?"
"Iya... Semakin terang langit karena cahaya buatan di suatu tempat, maka akan semakin besar angka skala yang diberikan untuk wilayah tersebut."
"Cahaya buatan?"
"Maksudnya pencahayaan buatan itu ya penerangan yang kita gunakan Na. Lampu kota, lampu baliho, lampu gedung dan seterusnya. Semuanya itu bisa kita sebut polusi cahaya."
"Mmm.."
"Oleh karenanya, jakarta susah sekali melihat bintang karena pantulan cahaya buatannya besar, sehingga skala kegelapan langit jakarta besar juga."
"Wah, menarik..."
"Kurangi penggunaan cahaya buatan Na, kelak anak cucumu nggak bisa lihat bintang lho."
"mmmm"
"Buat gue, langit gelap adalah inspirasi."
Aku terdiam memandang langit dan sadar bahwa Brata sedang memandangiku yang menatap langit.
"aku sangat suka dengan bintang juga." aku berkata dan memalingkan wajahku padanya.
Brata masih memandangku.

Kedua matanya menatap dua bola mataku, sangat dalam. Mengajakku memasuki dunianya. Tangan kami terlepas dari genggaman. Wajahnya mendekat, sangat dekat hingga bibir kami bersentuhan. Debur ombak menemani larutnya hasratku yang tiba-tiba memuncak dengan sentuhan tangannya yang memelukku erat tanpa melepas kecupannya. Dalam hitungan detik kami terbuai lalu terhenti dengan pelan saat aku menarik diri dari pelukannya.

Kami terdiam dan berjarak. Masing-masing kembali memandang laut lepas. Brata tak memaksaku untuk melanjutkan sensasi yang baru saja kami lalui. Tangannya pun tak lagi meraihku setelah aku menarik diri darinya.

Ada yang ganjil, ya, aku merasa ada yang ganjil. Aku bergeser mendekatinya lagi, menyenderkan kepalaku pada bahunya, melingkarkan tangan kananku pada pinggangnya yang masih terduduk tak bergerak memandang laut.

Serta merta tangannya meraih tanganku dan membuatnya semakin erat melingkar di badannya. Dikecupnya kepalaku yang bersender. Kecupan yang menyatakan 'kamu akan baik-baik saja Nana... bersamaku disini'

Kutengadahkan kepalaku hingga pandangan kami beradu kembali. Tangannya menuntun wajahku pelan mendekat kembali, berhadapan dan menyatu lagi dalam kecupan hangat. Nafasnya memeluk jiwaku erat, aku menuruti ritmenya sesekali mendesah. Langit dengan bintang menerangi kami yang berlarut dan tersesat.

*
"Aku mencintaimu Na."
Brata mengecup pipiku sekali lagi. Tanganku masih memeluknya erat tertutupi selimut putih di ruangan serba putih ini. Hawa panas dari badannya terasa jelas di kulitku yang sedari tadi bersentuhan tanpa perantara apapun. Detak jantungnya terasa jelas di tanganku yang berada tepat diatasnya.

Aku hanya terdiam. Aku menikmati malam ini. Sangat menikmati. Apa namanya ini? Tuhan, Aku berkhianat pada Azzam. Brata begitu magis menuntunku merasakan indahnya bercinta. Inikah yang dinamai cinta sebenarnya? Aku masih tak mengerti. Bahkan dengan kata cinta yang baru saja dituturkan Brata.

Aku masih memeluknya, diam. Brata masih mengelus rambutku lembut. Perlahan menurun menuju wajahku. Pelan dan penuh perasaan dan akhirnya tepat menyentuh titik sensitifku. Aku mengeluh lalu mendekatkan ragaku. Dan lagi kami terlarut mengisi heningnya malam dengan bersentuhan dalam jiwa yang menyatu.

*

No comments:

Post a Comment