Thursday 5 November 2009

Belanda Masih Jauh

Dia melotot ngotot menatapku.
"Terus?"
"Apanya yang terus?"
"Ya, terus lanjutannya gimana?"
"Ya, nggak ada terus-terus."
"Ihhh...lo ini keterlaluan! Gue ude gregetan banget!"
Dan matanya semakin melotot kearahku.
"Lah kenapa lo yang gregetan?"
Aku menggeser posisi dudukku mendekat padanya.
"Soalnya lo nggak jelas ceritanya!"
"Idih, sante dong.... Belanda masih jauh non."
Kusedot Es Teh manis didepanku tanpa perasaan bersalah.
"Muke lo! Gue ajah yang ude punya pacar tapi belom dinikahin sampe detik ini ngerasa ude kaya kebakaran jenggot! Lah elu, belom punya bokin masih bisa bilang Belanda masih jauh?"
Dan kali ini matanya semakin melotot sejadi-jadinya.
"Nanaku sayang Nanaku malang. Gue yakin saat itu akan dateng. Dan itu akan indah pada waktunya. Jadi kenapa kudu khawatir sih? Lebay lo ah."
Bibir Nana persis menirukan dua kalimat tengah yang tadi kuucapkan.
"Gue ampe apal luar kepala kalimat sakti lo itu. Maksud gue, cowok yang kemaren dinner ma elo kan beda Ra! Beda!"
"Terus?"
"Lah, kenapa jadi lo yang gantian nanya terus ke gue? Gue yang nanya. Terus, menurut lo gimana? Masak lo nggak ada respon lebih sih say..."
"Ini cuma makan malam biasa Nana."
"Biasa gimana?"
"Ya biasa, kaya kita sekarang deh. Pergi bareng, laper, masuk resto, mesen, makan minum, ngobrol. Biasa bukan?"
"Elonya ajah kali yang kurang sensitif!"
"Emang gue lagi dapet, sensitif kate lo?"
"Duh, maksud gue, emang dia nggak ada ngomong apa-apa gitu? Atau ngajak jalan lagi kapan tau gitu?"
"Gue kan ude bilang ya... Itu kemarin cuma makan malam biasa Nana. "
"Gue sangsi ama definisi biasa lo itu."
Aku mengangkat bahu. Suara musik top 40 yang hadir ditengah keramaian restoran junk food ini cukup menghibur. Membuat aku menggoyang-goyangkan kakiku mengikuti temponya. Dan tentu saja bernyanyi -nyanyi kecil, sedikit tidak fokus dengan berondongan pertanyaan sahabatku.
"Aku serius nih Ra..."
"Lah, lo pikir gue nggak serius daritadi njawab pertanyaan lo?"
"Dia ada memuji lo?"
"Memuji?"
"Iya memuji, apa kek, bilang lo cantik malam ni, ato baju lo bagus, ato rambut lo bagus?"
"Mmmm..."
Aku mencoba mengingat-ngingat.
"Ada kan?"
"Mmmm..."
"Rara!"
"Apa sih non...Kan gue lagi berusaha nginget-nginget nih. Sabar... Belanda masih jauh!"
Kali ini bukan hanya matanya yang melotot, tangannya ikut mengguncang-guncang badanku.
"Rara...........!"
"Oke, oke, "
"Yes, dia bilang apa ma lo?"

::

First date with him

Malam ini aku memilih mengenakan blouse dengan motif bunga-bunga. Mungkin sedikit membantu aku terlihat lebih feminim dari biasanya. Kusemprotkan parfum kesukaanku di pergelangan tanganku tepat pada letak urat nadi. Wanginya akan lebih tahan lama, begitu kata tips majalah wanita yang kubaca beberapa waktu yang lalu tentang penggunaan parfum. Aku berkaca sekali lagi, memastikan penampilanku rapi dan setidaknya mengesankan untuk makan malam pertama dengan lelaki ini.

Sorot lampu mobil memasuki carport pekarangan rumahku. Dia sudah menjemput. Cukup punya nyali juga lelaki ini. Padahal kami baru intens berSMS ria dua minggu terakhir. Menurut Nana, dia lelaki baik dan sedang mencari tambatan hati sebagai pendamping hidup. Tidak ada salahnya mengenal dia secara face to face, itu yang ada dipikiranku. Sambil merapikan rambutku aku berlari ke arah pintu yang sudah dibel berulang kali olehnya.

"Hai."
"Iwan."
Dia menyodorkan tangannya untuk menjabatku.
"Ratu."
"Nama yang bagus dari pertama dengernya. Dan lebih luar biasa ketika kamu ucapkan sendiri."
"Terimakasih, tapi kamu bisa panggil aku Rara."
"Well, Rara juga bagus."
Apalah arti sebuah nama, bukan begitu? Namanya tidak terlalu sesuai dengan wajahnya, itu penilaianku ketika pertama melihat fotonya melalui facebook. Dan ketika bertemu langsung ada penilaian lain lagi yang muncul dipikiranku. Iwan seorang yang santun tapi sedikit gombal dengan pujiannya soal nama diawal pertemuan.
"Kita langsung aja?"
Pertanyaannya membuyarkan pikiranku.
"Boleh."
"Ibumu dimana?"
"Ada di dalem, aku ambil tas dulu ya."
"Aku boleh masuk kan, untuk pamit dulu ke Ibu?"
Aku terdiam beberapa saat dan mengangguk.

Sedikit sekali kutemukan teman laki-laki yang memperlakukan perempuan sedemikian rupa. Ini baru permulaan, semoga tidak ada kejutan-kejutan manner lagi. Aku tak terbiasa diperlakukan lebih istimewa terkait genderku.

*
"Iwan, tante."
"Ow iya nak Iwan silahkan."
Mama menyambutnya dengan ramah. Astaga, aku seperti anak ABG rasanya. Malu sekali. Memperkenalkan seorang laki-laki ke orang tuanya. Mama tidak tahu malam ini aku akan keluar dengan laki-laki hanya untuk makan malam.
"Pamit ya Mam."
Aku mencium tangan dan pipi Mama.
"Hati-hati ya."
"Mari tante. Rara pasti pulang sebelum jam 10."
"Makasih nak Iwan."
Pikiranku semakin bermain-main dengan asyiknya setelah melalui beberapa kejadian sejak aku membuka pintu untuknya. Dia bahkan berjanji ke Mama memulangkan aku kurang dari jam 10. Biasanya jam segitu aku masih berada di coffeshop dengan sahabat-sahabatku. Hanya sekedar membahas hal yang tidak penting.

*
"Kita makan di Mall aja ya. Banyak pilihan, sekalian aku mau ke toko buku."
Pertanyaanku memecah kesunyian.
"Boleh."
Dan mobil ini kembali hening. Hanya suara penyiar radio yang asyik berceloteh mengenai makna malam minggu bagi muda-mudi sekarang. Ingin rasanya aku menelpon radio itu dan mengatakan malam minggu adalah sabtu malam. Titik. Aku cukup lama tidak keluar di malam minggu khusus untuk makan malam dengan seseorang seperti sekarang. Jadi bagiku semua malam sama saja. Dan tidak perlu menunggu malam minggu untuk menghabiskan waktu spesial dengan seseorang yang spesial juga.

Mobil mulai memasuki pelataran Mall ramai di sudut kota bagian selatan ini. Semua orang nampaknya punya satu tujuan yang sama, menghabiskan malam panjang dengan orang-orang terkasihnya di Mall. Tidak, aku tidak satu tujuan dengan mereka. Aku ke Mall untuk makan malam biasa dengan orang yang direkomendasikan rekan Nana. Alasan pertama, melegakan hati Nana. Kedua, aku sedang butuh untuk ke Mall memebeli buku. Ketiga, aku berjanji akan menemui Iwan bila lemburanku minggu ini tidak diperpanjang. Ya ini perayaan kerjaanku yang selesai lebih awal dari target.
"Kita parkir diatas aja ya."
"Oke."

::

"See...dia memuji lo?"
"Menurut lo?"
"Iya lah, jelas gitu baru nyebut nama aja ude maut kata-katanye!"
"Lebay lo"
"Terus, pas uda masuk resto, mesen makan, makan, ngobrol apalagih Ra...???"
Aku sibuk mengunyah burger. Masih terbayang burger yang sama di malam kemarin.
"Ra!"
"Mmm.."
Tanganku mengisyaratkan ke Nana untuk bisa lebih bersabar mendengarkan kelanjutan ceritaku karena aku sedang mengunyah.
"Huh, nggiling ajah lama bener seh...! Pokoknya ya ni Ra, menurut gue seh Iwan mah cihuy! Nggak salah deh dia buat elo! Gue nyesel juga baru keinget dia setelah sekian lama lo menjomblo Ra..."
Kali ini gantian aku yang meolot sambil berusaha menelan makananku.
"Hehehe.."
"Terimakasih Nona Nana."
Aku meledek.
"Sama-sama Ratu." Nana melanjutkan kalimatnya "Jadi, ada cerita apa selama makannya?"
"Nggak ada cerita apa-apa"
"Ih, kumat deh...! Apa kek, dia tanya-tanya apa? Ato apalah yang kalian obrolin"
"Ya, standar pertemuan perdana Na. "
"Contohnya??"
"Sekolah, kuliah, pekerjaan, keluarga, hobi, kisah cinta"
"Nah! Yang terakhir itu bisa lo bilang bukan cerita apa-apa?"
"Lebay, apa yang istimewa dari sebuah cerita percintaan?"
"Itu topik yang menandakan sesuatu donk!"
"Rumus lo!"
"Iya lah, menurut lo?"
"Standar. 1+1=2. Tapi kalo dalam cinta 1+1 bisa jadi sama dengan 2 bisa jadi tidak sama dengan dua."
"Nggak ngerti."
"Ya lo nggak bisa menyimpulkan dengan topik kisah cinta itu pertanda bahwa pertemanan gue dan Iwan akan sedashyat yang lo pikirin Na.."
"Kenapa?"
"Karena Belanda masih jauh noni Nana..."

::

No comments:

Post a Comment