Wednesday, 18 November 2009

Dia Mamamu, Nduk

Aku termenung, menatap langit yang dihiasi bintang. Pemandangan yang langka yang tak pernah kudapati bila berada di Jakarta. Aku bermain-main dengan kata hatiku, pikiranku sambil memain-mainkan rambutku.

Baru saja malam Minggu kemarin aku menemui Iwan teman lama Nana yang direkomendasikannya padaku. Masih ingat bagaimana Iwan bersikap sangat baik dihadapan Mama. Aku sengaja memintanya untuk menjemputku di rumah Mama daripada di kontrakan. Salah satu alasannya aku ingin melihat sikapnya sebagai laki-laki. Ternyata, dia memperlakukan aku selayaknya perempuan bahkan seperti putri raja. Perlakuannya mengingatkanku pada Dimas. Ya, hanya seorang Dimas yang selalu memperlakukan aku layaknya perempuan selama kami menjalin hubungan.


Waktu memang rahasia Ilahi. Saat baru memulai minggu dengan aktivitas padat di hari Senin, aku justru mendapatkan bonus berita bahagia dari Dimas. Ya, di malam berikutnya, Dimas tak lagi memperlakukanku layaknya perempuan yang pernah menjalin hubungan dengannya. Dia memberiku undangan dan kabar bahagia itu seolah-olah aku wonder woman. Yang sangat kuat secara fisik dan perasaan untuk menerima kabar bahagia secepat itu. Aku belum bisa merespon berita ini sebahagia mereka yang membagikannya. Ya mereka, Dimas dan calon pengantinnya. Bahkan undangan itu belum aku buka sama sekali, aku letakkan begitu saja di kamarku di Jakarta. Begitu juga undangan yang tiba dirumah Ibu di Jogja.

Malam ini aku berada di Jogja untuk alasan lain. Bercerita pada Ibu. Bahkan Mama belum kuberitahu tentang kepulanganku ke Jogja yang sangat mendadak ini.

Kuambil handphoneku dan mencoba menghubungi Mama.
Tuuutt... tuuut....
"Halo nak..."
Suara Mama terdengar tenang diseberang sana.
"Iya Mam. Lagi ngapain?"
"Nonton tivi aja. Ada apa? Kamu mau pulang kerumah?"
"Emm, enggak mam. AKu mau ngasi tau aku lagi dirumah Ibu."
"Lho, kapan berangkat ke Jogja?"
"Tadi pagi."
"Mendadak sekali, ada apa? Ibu sakit?"
"Enggak Mam. Ibu sehat kok."
"Terus? Kenapa kamu kok ndadak banget nak ke Jogja?"
"Nggak papa Mam. Cuma kangen ma Ibu."
"Ada apa to Nak?"
Mama terdengar khawatir, meski bukan ibu kandungku beliau sangat memperhatikan aku.
"Aku sedang pengen pulang aja Mam."
"Ya sudah, kalau kamu sudah siap cerita alasannya, telpon Mama ya."
Mama selalu pengertian, untuk tidak memaksaku.
"Iya Mam."
"Hati-hati disana, salam untuk Ibu."
"Iya. Mama juga. Da Mama..."
Tut.

Semua teman aku nyaris tak percaya aku bisa menerima dan rukun dengan keberadaan ibu tiri yang kupanggil Mama.

::
Dia Mamamu, Nduk

"Ibu guru bilang Ratu punya Bapak!"
"Jangan berteriak Ratu..."
Ibu bertutur halus menghadapiku yang sudah berkeringat dengan muka memerah karena amarah yang tak terkendali.
"Ibu! Ibu jangan bohong sama aku!"
"Ra...duduk dulu. Ibu akan bercerita."
Ibu menggiringku ke meja makan. Baju seragam putih abu-abuku masih melekat lengkap di badanku. Aku basah kuyup, tapi ibu mendekapku erat. Hujan deras diluar kuterobos demi mendapat jawaban sesegera mungkin dari Ibu tentang apa yang kudengar dari seorang guru siang ini.

*
"Ratu Pandria itu punya bapak tho, tinggal di Jakarta. Yang jadi donatur paling besar di sekolah ini."
"Lah iyo, hanya saja kita tidak boleh membocorkannya Bu. Itu pesan ayahnya Ratu."
"Iyo, Pak. Saya paham. "

Braakkk!
Seketika setumpuk buku latihan yang tengah kupegang terlepas dari peganganku. Jatuh berhamburan didepanku. Tepat di depan pintu ruang Kepala Sekolah.
Aku mendengar semuanya jelas. Dengan telingaku sendiri. Kutinggalkan ruangan tersebut berlari sekencang mungkin. Aku tak peduli pada hujan yang tengah mengguyur bumi ini.

Yang aku tahu hanya sampai dirumah dan bertanya pada Ibu tentang apa yang kudengar.
*

"Oo, i tu yang membuat kamu bertanya dengan keras pada Ibu tadi?"
Aku mengangguk. Kali ini aku sudah mereda. Sama seperti hujan yang telah berubah menjadi gerimis.
"Semua orang terlahir di dunia ini jelas punya Bapak dan punya Ibu. Ibu minta maaf, karena belum saatnya ibu bercerita apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga kita."
Aku menyeka air mata yang masih meleleh di pipiku sambil menyimak ibu. Aku masih menunduk, tak berani menatap Ibu.
"Kamu sudah gede nduk, sudah duduk di bangku menengah. Sebentar lagi kamu akan kuliah. Ibu menilai kamu sudah mengerti dan siap dengan apa yang akan Ibu ceritakan padamu."

*
"Aku bertanggung jawab Lik. Percaya tho."
"Nikahi aku Mas...", aku berkata lirih disela tangisku.
"Iyo. Besok aku akan mengurusnya dengan Pakde."
"Ibu Bapakmu nggak merestui kita, aku kudu piye?" Aku masih melirih sambil mengelus perut bagian bawahku yang semakin membesar.
"Lilik, dengerin aku tho. Kowe kudu percoyo karo aku. Aku nggak akan menyia-nyiakan kamu dan anak kita!"
Mas Rahmat menatapku tegas. Apa yang dikatakannya jelas sekali dan tak tampak keragu-raguan sedikitpun.
*

"Lalu?"
Aku bertanya pada Ibu yang memandangi langit luar melalui jendela.
"Akhirnya ibu menikah dengan Bapak. Kakek Nenekmu sudah tidak ada Ra. Jadi Ibu dinikahkan oleh Pakde, Kakaknya Kakekmu."
Aku terdiam
"Kami melakukan kesalahan besar. Tapi Bapakmu bertanggungjawab menikahi Ibu. Dan kita hidup mandiri tanpa direstui oleh Kakek Nenekmu dari Bapak. Untung Bapak sudah bekerja. Meski penghasilan pas-pasan bapak bisa membiayai hidup kita bertiga. Samapi kamu berusia dua tahun Ra."
"Lalu?"
"Hingga satu saat, takdir memisahkan kita."

*
Ini sudah genap hari ke30 setiap malam, aku menunggu di depan teras rumah. Mas Rahmat tak jua datang. Aku gelisah menggendong si mungil yang kami namai Ratu Pandria ini. Kekhawatiranku semakin memuncak.

Mas rahmat berjanji hanya keluar kota selama 5 hari. Tapi hingga malam ini, dirinya tak lagi menemaniku merajut mimpi hingga tiba pagi.

"Bulek..."
Suara Totok anak tetangga terdengar jelas.
"Iyo, Le..."
"Bulek, ini tadi siang ada orang menitipkan surat buat Bulek."
"O, maturnuwun yo Le."

Kubaca amplop putih Untuk Lilik Pandria. Segera kubuka dan kubaca.

Lilik,
Maafkan aku. Aku dipaksa untuk menikah dengan seorang gadis bernama Tri.
Aku dijemput oleh orang suruhan Ibu saat berada di Jakarta untuk keperluan dinas tempo hari.
Tri sangat mengerti cerita kita. Maafkan aku harus membuat kamu hidup sendiri. Aku akan selalu menafkahimu dan Ratu. Rawat dia hingga sekolah menengah. Aku ingin dia sekolah di perguruan tinggi di Jakarta nantinya.
Salam, Mas Rahmat.

Aku lemas. Kulipat lembaran kertas ini. Hubungan segitiga, Apa namanya ini? Aku diselingkuhikah? Bukan. Dia menikah lagi, Iya. Apa namanya ini? Aku menjerit dalam hati.

Aku menangis, segera menangis dalam sujudku. Menuju sepertiga malam terakhir kupanjatkan doaku. Kupinta Tuhan mendengarku, menguatkanku.

Kupandangi wajah mungil Ratu. Aku berdoa, dia akan menjadi orang besar kelak. Dan diperlakukan baik oleh lelaki.

*

"Jadi Ratu, Bapak adalah seorang Bapak yang baik. Menghidupimu dengan harta. Meski kamu haus kasih sayangnya. Saatnya sudah tiba, kamu akan segera ke Jakarta. Hidup bersama mereka. Secepatnya setelah pengumuman kelulusan."
Ibu bertutur halus.
Aku menangis. Terbayang olehku kehidupan mengerikan bersama Ibu tiri dan Bapak yang aku tak pernah ingat wajahnya. Bahkan tak tahu! Aku akan disiksa, wanita itu pasti hanya mencintai Bapakku. Tidak aku!
Ibu berjalan ke kamar dan kembali dengan selembar foto di tangannya.
Tangannya memelukku dan menunjukkan gambar di foto itu seraya berkata pelan,
"Ra, ini Mamamu nduk."

::

No comments:

Post a Comment