Friday 6 November 2009

Luka Lama

Nana mungkin benar juga. Dia mengkhawatirkan aku, sahabatnya yang masih melajang hingga akan menggenapi seperempat abad usianya. Tapi terkadang dia berlebihan. Aku bukannya tidak mengkhawatirkan diri sendiri, hanya saja, akan menjadi beban pikiran yang berlebihan bila aku hanya memprioritaskan pemikiran soal hati , perasaan, yang didefinisikan orang sebagai cinta.

"Neng, ini ya jangan lupa segera dijadiin, besok kliennya dateng kita bakal miting. Oke?"
Aku bengong memandangi punggung wanita yang sudah menjauh dari kubikelku dengan meninggalkan sebundel dokumen diatas mejaku. Rasanya belum mood untuk menyentuh PR dari si Bos. Baru saja memikirkan soal definisi cinta, tiba-tiba sudah muncul PR didepan mata. Tuhan, mengapa bukan seorang Bos ganteng yang kau kirimkan untuk memberiku PR sih? mungkin itu sedikit membuatku bersemangat. Aku menghela napas, berdiri dan meninggalkan kubikelku. Tujuan utamaku adalah lavatory.

*
"Boook..males banget deh."
"Lagian elu..."
"Makanya gue kapok banget dyeh cin. Gue enggak-enggak lagi deh cari pacar yang jauh-jauh dari gue. Minimal Jabodetabek deh."
"Segitunya lo parno ma long distance relationship sekarang?"
"Ya gue pikir kemarin masih saatnya untuk bersenang-senang gitu deh.. ternyata pait bok!"
"Pait gimana?"
"Banyak hal deh. Kepercayaan kayanya nggak segampang itu dyeh cyin..."
"Trus?"
"Kebahagiaan. Gue nggak menemukan kebahagiaan seperti yang diajnjikannya diawal."
"Mmm..."
"Gue yakinlah. Ini yang terbaik buat gue."
"Yasutralah. Sabar jeng. Yuk, kita terusin sambil makan rumpinya. Ude ditunggu ma bidadari lain di kantin."
"Yuk lah."

Fuh, percakapan yang cukup menambah rusak mood hari ini. Girls talk on toilet. Selalu tidak jauh dari pembicaraan apapun. Toilet adalah tempat yang menyenangkan untuk bertukar cerita, sedikit lebih privasi ketimbang sekat-sekat kubikel dimana bos masih bisa menangkap radar dari radius tertentu.

Aku beranjak keluar dari bilik toilet tempat dimana aku mendengar perbincangan dua perempuan di dalamnya. Kupandangi wajahku di cermin. Kata kebanyakan orang aku mirip dengan Mamaku. Rambut tanggung sebahu, ikal berwarna sedikit kemerahan. Mata sedikit sipit. Kulit sawo matang. Tinggi badan 165cm, ideal sebagai model kata sebagian teman-temanku. Dan kebanyakan mereka menganggap fisik ini membuat lelaki tergila-gila padaku. Kenyataannya, salah besar. Sampai saat ini aku belum bisa mengobati luka lamaku. Persis seperti yang diperbincangkan kedua orang tadi. Masalah rasa, kebahagiaan yang tak seperti dijanjikan diawal.

::

We've been broke up
today

Ah, itu dia. Aku sedikit berlari untuk membuat kejutan untuknya dari belakang. Hup! Kututup kedua matanya menggunakan tanganku dari belakangnya. Membiarkan beberapa detik, dan melepasnya. Memunculkan senyum termanisku siang itu untuk menurunkan emosinya yang sempat kaget.
"Hai!"
Aku langsung mengambil posisi duduk dihadapannya sambil terus tersenyum.
Dia hanya memandangku tersenyum, tetapi tidak seperti biasa. Sudah hampir satu bulan kita tidak bertemu. Jarak memang memisahkan kita. Tapi apalah artinya jarak dengan teknologi sekarang? Itu pendapatku.
"Aku mau minum dong, Mas."
"Pesanlah."
Waitress datang membawakan menu.
"Lemon tea aja mas. Makasih." Singkat saja sebelum dia menjelaskan menu apa saja di booth food court ini." Udah lama nunggunya?Sory, tadi kena macet dikit di depan situ."
"Enggak juga."
"So, Mas mau bicara apa?"
Dia diam. Aku masih tersenyum-senyum senang memandang wajahnya. Wajah yang kurindukan satu bulan ini.
"Kook diem? Kemarin di telpon penting ada yang mau mas sampaikan ke aku?"
"Iya, Ra."
"Tell me... Im waiting..."
Pesananku tiba lebih cepat dari dugaanku.
"Minumlah dulu, Ra."
Aku segera memenuhi perintahnya, lagipula aku haus sekali. Metro mini dan hawa yang panas cukup membuat tenggorokan kering.
"Sudah. So?"
"Aku tidak tahu harus memulai darimana."
"Mmm.. memulai darimana aja deh. Kan Mas yang mau cerita."
"Ini berat untuk aku."
"Iya, trus?"
"Buat kamu juga pasti."
"Mm..."
"Dan yang pasti buat kita."
Apa arah pembicaraannya? Aku tak mengerti.
"Trus?"
"Tapi yakinlah ini pasti yang terbaik untuk kita, Ra."
"Apa?"
Senyumku memudar. Berganti raut bingung dengan kerutan di dahi. Aku mencoba menebak arah pembicaraan kami.
"Ra.., maaf."
Aku diam.
"Maaf, tapi aku harus menyampaikan ini."

Dia bertutur panjang sekali. Aku diam mematung memandanginya. Mencoba memahami semua yang diutarakannya. Ini sulit kumengerti. Tidak semudah 4 tahun yang lalu, dikala ia mengutarakan perasaannya padaku.

Dia masih meneruskan kalimat demi kalimat yang tak lagi kucerna dengan baik. Pandanganku beralih kepada gelas dihadapanku. Tanganku sibuk memainkan sedotan mengaduk-ngaduk minuman yang sudah jelas tercampur gulanya. Otak aku sudah tak sanggup menelaah satu persatu kalimat yang kudengar. Yang ada hanya air mata yang sudah tak terbendung di sudutnya. Akhirnya menetes, di kalimat terakhirnya.

"Awalnya aku memilih ini karena tidak ingin lihat kamu sedih, aku ingin kamu bahagia..."
"...."
"Tetapi ternyata aku harus mengakhiri seperti ini, dan ternyata aku malah menyakitimu"

::

Jam tanganku sudah menunjukkan lebih jam satu siang. Dan aku masih melamun dengan luka lamaku. Memandangi tumpukan PR dari Bos yang belum kujamah. Perut yang terasa lapar meski tak berselera, dan semua menumpuk menjadi satu. Memori kepala ini ingin kutukar dengan yang baru. Atau bisakah aku minta Tuhan untuk menformat ulang?

Ting!
Satu pesan singkat kuterima

Apa Kabar, Ra? Maaf sebelumnya, aku ingin menyampaikan sesuatu. Bisa kita bertemu pulang kantor? Tempat biasa. Trims.


Baru saja aku minta Tuhan untuk menformat ulang memoriku. Mengapa sms dari dia yang masuk. Luka lama ini terkuak lagi. Sakit. Dan aku hanya terdiam, belum bereaksi untuk pesan yang kubaca berulang kali ini.

::

No comments:

Post a Comment