kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur nan empuk. Penat sebenarnya seharian bersama Putra dan teman-temannya. Kelelahan ini tak terasa sampai tadi tiba-tiba aku menemukan foto pre wedding Dimas di dalam kamera Putra. Tubuh ini rasanya langsung lemas seketika, tulang-tulang dan persendian sekujur tubuh rasanya ingin rontok, kepala berat dan berputar-putar, oleh karena itu kuputuskan untuk segera mengajak Putra mengantarkanku pulang.
Aku sudah berberes, membersihkan tubuh, mengenakan pakaian tidur, membuat secangkir teh hangat, memoles masker malam, semua rutinitasku sebelum melelapkan diri dalam mimpi. Masih berbaring menatap langit-langit kamar yang putih. Meski putih, tetap saja tak sepenuhnya putih. Ada bercak hitam disana-sini. Pikiran ini masih melayang kepada hari besar Dimas. Bahkan aku belum merespon apapun tentang undangannya.
Drrttt drrttt
Hanphoneku berbunyi.
Dimas Calling
Aku tekejut, masih mengenggam handphone tanpa mennekan tombol hijau untuk mengangkat telponnya. Apa yang dilakukan Dimas? Menelponku? Ini malam sehari sebelum hari besarnya! Dan ini hampir mendekati pukul 12 malam! Aku masih memandangi layar handphone dengan nama Dimas disana.
Getaran dan ringtone berhenti.
1 missed call.
Aku menghela nafas. Apa yang Dimas lakukan? Menelponku di tengah malam?
Drrrt..drt..
Dimas Calling
Sekali lagi, dia menelpon harus kuangkatkah? Oke, aku harus mengangkat dan mengucapkan selamat. Aku harus berbahagia untuknya. Harus. Hati ini, akan menyesuaikan nantinya. Aku yakin, aku bisa melewati ini.
"Hallo."
"Emm, hallo, Ra."
"Ya."
"Sudah tidur?"
"Hampir."
"Mmm..."
Sesaat hening. Aku tak berani berkata-kata
"Ra,"
"Ya?"
"Maafkan aku, Ra."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. "
"Ra, aku mohon kamu mengerti posisi aku."
"Dimas, aku rasa tak ada yang perlu dibahas lagi."
"Aku tahu kamu di Jogja kan?"
"Darimana kamu tahu?"
"Risa, sepupuku."
"oh, dia. Ya, aku disini, tapi bukan untuk undanganmu. Bahkan aku nggak tau kalau acara pernikahanmu diselenggarakan di Jogja dan pada akhir pekan ini. Aku pulang untuk menemui Ibu."
"Untuk apa , Ra?"
"Bukan urusanmu untuk tahu untuk apa aku menemui Ibu, Mas. Udah deh. AKu minta maaf, aku nggak bisa hadir. Karena Minggu pagi aku sudah harus berangkat ke Jakarta lagi. Dan tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, aku baik-baik saja. Sama baiknya saat 4 bulan yang lalu kita memtuskan untuk berjalan sendiri-sendiri."
"Aku tidak memaksa kamu untuk datang, Ra. Aku bis amengerti itu. Tapi tolong jangan hakimi aku dengan sikapmu."
"Menghakimi seperti apa,Mas?"
"Sikapmu ,Ra"
"Aku harus seperti apa? Rasanya aku haru shilang saja dari bumi ini? Gitu menurutmu?"
"Bukan..., Ra..tolong mengertilah."
"Aku nggak paham arah pembicaraanmu. Kamu takut dipersalahkan semua teman-teman karena punya keputusan tidak lagi denganku dan secepat ini menikah dengan yang lain kan?"
Aku terlalu frontal nampaknya. Dan aku mulai menangis.
"Ra..."
"Udalah , Mas. Cukup, tidak usah kita bahas lagi perasaan ini seperti apa. karena besok adalah hari besar kamu. Hadapi dan jalani itu. Jangan lagi ada pembahasan ini kedepan. Karena aku menjaga perasaan istrimu kelak."
Dimas terdiam.
"Ayu, Ra. Namanya Ayu."
Aku bahkan tak peduli siapa nama claon istrinya. Yang ada di kepalaku hanya segera menghapus masker malam yang sudah rusak karena aku berbicara dengan semangat. dan menyalakan laptop untuk menulis dan menyibukkan diri untuk melupakan percakapan malam ini.
"Ra,"
"Ada lagi?"
"Sekali lagi aku minta maaf. Aku doakan kamu segera mendapatkan yang terbaik dan bahagia. Aku ingin melihat kamu bahagia."
Aku menangis sejadi-jadinya. Dan hanya sanggup mengucapkan "Ya."
Lalu kumatikan handphoneku.
*
Sunday, 29 November 2009
Wednesday, 25 November 2009
Wanita Pilihannya
"Lo nggak papa kan Ra?"
"Enggak kok mungkin uda capek aja kali ya. Ini uda jam 9 malem, uda nyaris 12 jam kita diluar rumah bukan?"
"Iya."
"Lagian lo besok juga kudu moto kan?"
"Iya, ke siramannya Dimas sepupunya Risa."
"Iya, jadi kita bisa pamit duluan kan ma temen-temen lain?" Aku sedikit tidak enak harus berpamitan lebih dulu meninggalkan makan malam bersama komunitas yang menyenangkan ini.
"Nggak masalah. Yok."
Kami berdiri dari tempat lesehan. Putra berpamitan dihadapan rekan-rekan lain. aku tersenyum dibelakang Putra dan melambaikan tangan kesemuanya.
Jogja dingin malam ini, setiap malamnya tepatnya. Diperjalanan aku kembali memulai adegan membisu. Kesenangan tiada tara di Ratu boko seakan hilang dalam sekejap saat melihat foto jepretan Putra dengan model Dimas dan wanita pilihannya.
::
Wanita pilihannya
"Apa ini?" pertanyaan retoris keluar dari mulutku saat dia menyodorkan sesuatu berwarna cokelat keemasan, yang sangat apik, berpita dengan tulisan 'Undangan' dihadapanku.
"Undangan Ra."
Rasanya aku tak ingin mengakhiri episode bisu. Aku hanya terdiam, bahkan tak menyentuh undangan tersebut.
"Ra, katakan sesuatu."
Aku memainkan jari-jariku, menunduk.
"Ra.."
Aku mencoba mengangkat wajahku memandangnya.
"Ra, maafkan aku."
Aku menengadahkan kepalaku, berusaha menahan airmata ini tidak menetes.
"Ra..."
Aku masih tak menjawabnya. Dimas gelisah. Dalam posisi kedua siku yang diletakkan dimeja memangku kepalanya, mengusap wajahnya sendiri, menghela nafas panjang dan menghentikan tangannya di keningnya. Dan aku masih membisu.
"Aku tahu Ra, ini berat untukmu. Aku mungkin patut dipersalahkan. Tapi aku ingin melihat kamu bahagia juga segera."
Aku meberanikan diri memandangnya yang masih menunduk. mencoba tersenyum.
"Aku nggak tahu harus ngomong apa."
Dimas mengalihkan pandangannya kearahku yang usdah mengeluarkan sbeuah kalimat.
"Ra, aku minta maaf."
"Untuk apa, nggak ada yang salah."
Dimas kembali menghela nafas panjang.
"Dia tidak sama dengan kamu."
Apa aku meminta penjelasan? Mengapa dimas bertutur mengenai calonnya? Aku belum siap untuk mendengar ini. Aku berharap nana segera datang dan aku akan meninggalkan drama paling menyedihkan ini segera.
"Hei!"
Suara nana tiba-tiba terdengar jelas. Aku terselamatkan dari uraian mata kuliah siapa dia ala Dimas. Belum lagi aku selesai menata hati dari 4 bulan silam, Dimas sudha memberiku ujian tengah semester dengan undangannya ini.
"Hai, Na. Sudah?"
Aku bertanya basa-basi berharap nana segera paham maksudku.
"Sudah, dan ini undangan siapa?"
"Aku, Na." Dima smenjawab lirih.
"What?"
Nana tak dapat menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
"Ow oke, selamat ya Dimas. Ini buat kami berdua kan undangannya?"
Dimas mengangguk lemah.
"Emmm, gue tadi sebenrnya masih ditungguin lagi gitu ma temen gue, kita cabut sekarang yuk Ra. Nggak papa kan mas? lo tadi mo ngasih undangan ini ajah kan?"
nana berkata panjang lebar berusaha membawa aku lari dari keadaan yang serba kilat tak mengenakkan ini.
"Nggak masalah Na. Hati-hati ya kalian."
"Yuk Ra."
Nana dengan cepat mengambil undangan Dimas, dan menjabat tangan dimas. Aku berdiri dari dudukku dan turut menjabat tangan Dimas beberapa saat setelah nana lebih dulu berjalan menuju pintu coffeshop.
"maafkan aku, Ra."
Aku tak menjawab. Aku mengalihkan pandanganku ke jalan raya. Dimana semua kendaraan memadatinya. Lampu-lampunya nampak indah dilihat dari coffeshop ini. Diluar ada keramaian dan kepadatan. Mungkin lebih baik aku ditengah sana, tidak di meja ini, berhadapan dengan Dimas yang menyampaikan tentang wanita pilihannya.
::
"Enggak kok mungkin uda capek aja kali ya. Ini uda jam 9 malem, uda nyaris 12 jam kita diluar rumah bukan?"
"Iya."
"Lagian lo besok juga kudu moto kan?"
"Iya, ke siramannya Dimas sepupunya Risa."
"Iya, jadi kita bisa pamit duluan kan ma temen-temen lain?" Aku sedikit tidak enak harus berpamitan lebih dulu meninggalkan makan malam bersama komunitas yang menyenangkan ini.
"Nggak masalah. Yok."
Kami berdiri dari tempat lesehan. Putra berpamitan dihadapan rekan-rekan lain. aku tersenyum dibelakang Putra dan melambaikan tangan kesemuanya.
Jogja dingin malam ini, setiap malamnya tepatnya. Diperjalanan aku kembali memulai adegan membisu. Kesenangan tiada tara di Ratu boko seakan hilang dalam sekejap saat melihat foto jepretan Putra dengan model Dimas dan wanita pilihannya.
::
Wanita pilihannya
"Apa ini?" pertanyaan retoris keluar dari mulutku saat dia menyodorkan sesuatu berwarna cokelat keemasan, yang sangat apik, berpita dengan tulisan 'Undangan' dihadapanku.
"Undangan Ra."
Rasanya aku tak ingin mengakhiri episode bisu. Aku hanya terdiam, bahkan tak menyentuh undangan tersebut.
"Ra, katakan sesuatu."
Aku memainkan jari-jariku, menunduk.
"Ra.."
Aku mencoba mengangkat wajahku memandangnya.
"Ra, maafkan aku."
Aku menengadahkan kepalaku, berusaha menahan airmata ini tidak menetes.
"Ra..."
Aku masih tak menjawabnya. Dimas gelisah. Dalam posisi kedua siku yang diletakkan dimeja memangku kepalanya, mengusap wajahnya sendiri, menghela nafas panjang dan menghentikan tangannya di keningnya. Dan aku masih membisu.
"Aku tahu Ra, ini berat untukmu. Aku mungkin patut dipersalahkan. Tapi aku ingin melihat kamu bahagia juga segera."
Aku meberanikan diri memandangnya yang masih menunduk. mencoba tersenyum.
"Aku nggak tahu harus ngomong apa."
Dimas mengalihkan pandangannya kearahku yang usdah mengeluarkan sbeuah kalimat.
"Ra, aku minta maaf."
"Untuk apa, nggak ada yang salah."
Dimas kembali menghela nafas panjang.
"Dia tidak sama dengan kamu."
Apa aku meminta penjelasan? Mengapa dimas bertutur mengenai calonnya? Aku belum siap untuk mendengar ini. Aku berharap nana segera datang dan aku akan meninggalkan drama paling menyedihkan ini segera.
"Hei!"
Suara nana tiba-tiba terdengar jelas. Aku terselamatkan dari uraian mata kuliah siapa dia ala Dimas. Belum lagi aku selesai menata hati dari 4 bulan silam, Dimas sudha memberiku ujian tengah semester dengan undangannya ini.
"Hai, Na. Sudah?"
Aku bertanya basa-basi berharap nana segera paham maksudku.
"Sudah, dan ini undangan siapa?"
"Aku, Na." Dima smenjawab lirih.
"What?"
Nana tak dapat menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
"Ow oke, selamat ya Dimas. Ini buat kami berdua kan undangannya?"
Dimas mengangguk lemah.
"Emmm, gue tadi sebenrnya masih ditungguin lagi gitu ma temen gue, kita cabut sekarang yuk Ra. Nggak papa kan mas? lo tadi mo ngasih undangan ini ajah kan?"
nana berkata panjang lebar berusaha membawa aku lari dari keadaan yang serba kilat tak mengenakkan ini.
"Nggak masalah Na. Hati-hati ya kalian."
"Yuk Ra."
Nana dengan cepat mengambil undangan Dimas, dan menjabat tangan dimas. Aku berdiri dari dudukku dan turut menjabat tangan Dimas beberapa saat setelah nana lebih dulu berjalan menuju pintu coffeshop.
"maafkan aku, Ra."
Aku tak menjawab. Aku mengalihkan pandanganku ke jalan raya. Dimana semua kendaraan memadatinya. Lampu-lampunya nampak indah dilihat dari coffeshop ini. Diluar ada keramaian dan kepadatan. Mungkin lebih baik aku ditengah sana, tidak di meja ini, berhadapan dengan Dimas yang menyampaikan tentang wanita pilihannya.
::
Tuesday, 24 November 2009
Impressive Ratu Boko-3
Gue akan take off sebentar lagi.. Empek-empek sudah di tangan.
Lo balik Jakarta Minggu?
Pesan singkat dari Nana. Lama juga baru dibalas sedari pagi. Tidak masalah, lagipula aku tadi sedang terlarut dengan acara foto-foto bersama teman-teman baru ini.
"Ra, nambah lagi dong.."
Putra menyodorkan bakul nasi kearahku.
"Kenyang Put.. Makasih"
Aku masih fokus dengan hape yang ada di tanganku, meski disekelilingku ramai. Iya, kami sedang santap malam bersama. Hari yang melelahkan tapi sangat menyenangkan bersama lebih dari 15 fotografer handal ini.
"Sibuk amat dengan hape"
"Baru juga megang nih. Sms dari Nana, sahabat aku di Jakarta."
"Ada kabar apa?"
"Enggak sih, cuma dia lagi on the way balik ke Jakarta."
"Darimana?"
"Bangka."
"Wah, kita harus ke Bangka juga Ra..disana sangat-sangat indah."
"Serius lo Put?"
Aku memang sering sekali diceritakan Nana. tapi kali ini yang berbicara adalah seorang fotografer. yang pastinya memiliki penilaian yang bisa dipertanggung jawabkan. Putra mengangguk-angguk.
"Someday, kita kesana ya Put!" Aku hanya asal bicara.
"Pasti." Jawabnya singkat.
Aku terkejut dalam hati, yakin sekali dia kita berdua akan berangkat kesa Bangka suatu saat.
"Terus, lo jadi balik hari Minggu?"
"Sepertinya."
"Sudah dapat tiket?"
"Belum." aku tertawa konyol menertawai jawabanku sendiri.
"Balik bareng gue aja Ra."
"Emang lo balik kapan?"
"Minggu siang, ada tiket nganggur. Temen gue mau tinggal di Jogja dulu."
Aku tak menjawab.
"Eh Put" Risa teman Putra yang tempo hari bertemu aku di bandara tiba-tiba mendekat.
"Iya Ris, kenapa?"
"Maap ya mbak Ratu, mau ngorbol bentar ma Putra."
"Silahkan..." aku bergeser sedikit memberi tempat pada Risa untuk duduk disamping Putra.
"Put, besok lo bisa datang lebih awal kan ya? kakak sepupu gue mau pra-prosesi siramannya ada candid-candidnya geto. Ya sekitar makan siang gitu dirumah calon pengantin."
"Nggak ada masalah sih ris. fine."
"Sip. Mas Dimas baru lihat hasil foto prewed yang digedein buat di resepsi. Dia suka. Dia nitip salam buat kamu."
"Salam balik deh. Emang dimas kapan sampai Jogja?"
"Kemarin Selasa."
Dimas? Aku setengah menguping perbincangan Risa dan Putra. Calon pengantin Pria yang akan diabadikan oleh kamera Putra bernama Dimas. Dunia kok dipenuhi orang bernama Dimas yang akan menikah sih? Aku jadi teringat lagi bahwa Dimas akan menghitung hari menuju hari pernikahan. Tapi kapan ya Dima smenikah. Bahkan aku belum pernah membaca undanganya.
"Ratu."
Aku terkejut dari lamunanku."Iya Put"
"Lo ikut ya acara nikahan besok di siramannya Dimas."
"Iya mbak dateng aja." Risa menimpali
"Ah becanda, gue kan nggak kenal. Enggak lah, lagian put, lo kan kerja moto-moto, entar gue ngapain?"
"Ngelapin keringat gue..." Putra menjawab polos.
Risa tertawa mendengar jawaban spontan Putra. Dan lagi-lagi aku dibuat merah padam oleh Putra. Kali ini didepan Risa. Aku tak menanggapi hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
Risa kembali ke tempat duduknya diawal meninggalkan aku dan Putra. Putra menggeser duduknya mendekati aku lagi.
"Put, boleh lihat nggak foto yang tadi di Ratu Boko?"
"Dengan senang hati Ratu. Ntar ya."
Putra mengeluarkan kameranya dari dalam tas. Dan menyodorkannya dalam posisi display view untukku.
"Kalo mo lihat foto yang lain, geser yang sebelah ini. Kalau sebaliknya , yang ini."
Putra menjelaskan padaku.
"Oke."
Kamera itu sudah digenggamanku. Dan aku memencet tombolnya untuk melihat satu demi satui foto yang sudah dijepret oleh Putra. Bagus semua. Nyaris sempurna. Semua sudut pandang yang disajikan dari foto-foto Putra mengesankan aku. Banyak juga foto-foto ini. Aku terus memencet ke arah next. Hingga sampai ke foto pertama saat kami tiba di ratu boko.
Next
Ada banyak angle dalam hitungan kurang dari 1 menit yang berhasil Putra abadikan saat itu.
Next
siluetku dalam megahnya gapura.
Next
Megah tapi hampa
Next
Aku terpaku. Memandangi dengan seksama display view dilayar kamera ini. Ini , Dimas. Dibalut kemeja putih dan jeans casual di tengah hamparan sawah bersama seorang perempuan. Ini foto prewed. Ini foto prewed Dimas dan calonnya.
*
Lo balik Jakarta Minggu?
Pesan singkat dari Nana. Lama juga baru dibalas sedari pagi. Tidak masalah, lagipula aku tadi sedang terlarut dengan acara foto-foto bersama teman-teman baru ini.
"Ra, nambah lagi dong.."
Putra menyodorkan bakul nasi kearahku.
"Kenyang Put.. Makasih"
Aku masih fokus dengan hape yang ada di tanganku, meski disekelilingku ramai. Iya, kami sedang santap malam bersama. Hari yang melelahkan tapi sangat menyenangkan bersama lebih dari 15 fotografer handal ini.
"Sibuk amat dengan hape"
"Baru juga megang nih. Sms dari Nana, sahabat aku di Jakarta."
"Ada kabar apa?"
"Enggak sih, cuma dia lagi on the way balik ke Jakarta."
"Darimana?"
"Bangka."
"Wah, kita harus ke Bangka juga Ra..disana sangat-sangat indah."
"Serius lo Put?"
Aku memang sering sekali diceritakan Nana. tapi kali ini yang berbicara adalah seorang fotografer. yang pastinya memiliki penilaian yang bisa dipertanggung jawabkan. Putra mengangguk-angguk.
"Someday, kita kesana ya Put!" Aku hanya asal bicara.
"Pasti." Jawabnya singkat.
Aku terkejut dalam hati, yakin sekali dia kita berdua akan berangkat kesa Bangka suatu saat.
"Terus, lo jadi balik hari Minggu?"
"Sepertinya."
"Sudah dapat tiket?"
"Belum." aku tertawa konyol menertawai jawabanku sendiri.
"Balik bareng gue aja Ra."
"Emang lo balik kapan?"
"Minggu siang, ada tiket nganggur. Temen gue mau tinggal di Jogja dulu."
Aku tak menjawab.
"Eh Put" Risa teman Putra yang tempo hari bertemu aku di bandara tiba-tiba mendekat.
"Iya Ris, kenapa?"
"Maap ya mbak Ratu, mau ngorbol bentar ma Putra."
"Silahkan..." aku bergeser sedikit memberi tempat pada Risa untuk duduk disamping Putra.
"Put, besok lo bisa datang lebih awal kan ya? kakak sepupu gue mau pra-prosesi siramannya ada candid-candidnya geto. Ya sekitar makan siang gitu dirumah calon pengantin."
"Nggak ada masalah sih ris. fine."
"Sip. Mas Dimas baru lihat hasil foto prewed yang digedein buat di resepsi. Dia suka. Dia nitip salam buat kamu."
"Salam balik deh. Emang dimas kapan sampai Jogja?"
"Kemarin Selasa."
Dimas? Aku setengah menguping perbincangan Risa dan Putra. Calon pengantin Pria yang akan diabadikan oleh kamera Putra bernama Dimas. Dunia kok dipenuhi orang bernama Dimas yang akan menikah sih? Aku jadi teringat lagi bahwa Dimas akan menghitung hari menuju hari pernikahan. Tapi kapan ya Dima smenikah. Bahkan aku belum pernah membaca undanganya.
"Ratu."
Aku terkejut dari lamunanku."Iya Put"
"Lo ikut ya acara nikahan besok di siramannya Dimas."
"Iya mbak dateng aja." Risa menimpali
"Ah becanda, gue kan nggak kenal. Enggak lah, lagian put, lo kan kerja moto-moto, entar gue ngapain?"
"Ngelapin keringat gue..." Putra menjawab polos.
Risa tertawa mendengar jawaban spontan Putra. Dan lagi-lagi aku dibuat merah padam oleh Putra. Kali ini didepan Risa. Aku tak menanggapi hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
Risa kembali ke tempat duduknya diawal meninggalkan aku dan Putra. Putra menggeser duduknya mendekati aku lagi.
"Put, boleh lihat nggak foto yang tadi di Ratu Boko?"
"Dengan senang hati Ratu. Ntar ya."
Putra mengeluarkan kameranya dari dalam tas. Dan menyodorkannya dalam posisi display view untukku.
"Kalo mo lihat foto yang lain, geser yang sebelah ini. Kalau sebaliknya , yang ini."
Putra menjelaskan padaku.
"Oke."
Kamera itu sudah digenggamanku. Dan aku memencet tombolnya untuk melihat satu demi satui foto yang sudah dijepret oleh Putra. Bagus semua. Nyaris sempurna. Semua sudut pandang yang disajikan dari foto-foto Putra mengesankan aku. Banyak juga foto-foto ini. Aku terus memencet ke arah next. Hingga sampai ke foto pertama saat kami tiba di ratu boko.
Next
Ada banyak angle dalam hitungan kurang dari 1 menit yang berhasil Putra abadikan saat itu.
Next
siluetku dalam megahnya gapura.
Next
Megah tapi hampa
Next
Aku terpaku. Memandangi dengan seksama display view dilayar kamera ini. Ini , Dimas. Dibalut kemeja putih dan jeans casual di tengah hamparan sawah bersama seorang perempuan. Ini foto prewed. Ini foto prewed Dimas dan calonnya.
*
Impressive Ratu Boko-2
Aku terpaku memandang gerbang atau gapura utama candi ini. Putra sudah sibuk menyiapkan kameranya. Aku berjalan menaiki tangga menjauh dari Putra.
"Put, gue nggak salah banget nerima ajakan lo buat difoto kesini!"
aku berteriak padanya, Putra tersenyum sambil memasang lensa pada kameranya.
"Temen-temen lo mana?" Aku berteriak lagi pada Putra.
"Sudah dekat, sebentar lagi sampai. Barusan mereka sms!"
"Ow.."
Aku terus berjalan menuju gapura utama dari Putra sambil memperhatikan sekeliling. Pintu gerbang istana ini mengarahkan kita menuju ke bagian tengah kompleks candi bagian depan, yaitu bagian utama. Dimana terdapat dua buah gapura tinggi, yang terdiri dari dua lapis. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5 pintu. Aku tak terlalu mengambil pusing dengan belum hadirnya teman-teman komunitas fotografi Putra. Aku menikmati tempat ini. Sangat menikmati. Keindahan yang sangat luar biasa, Tuhan memang Maha. Kerajaan waktu itu seperti apa bis amembangun kawasan seperti ini ya?
"Ra!"
Aku menoleh kearah Putra memanggilku lantang. Dengan sigap dia menjepret kameranya beberapa kali.
"Ye..hebat banget ya fotografer satu ini!" aku merasa kecolongan.
Putra tertawa dari kejauhan.
"Bilang donk kalo mo moto, gue kan bisa pasang senyum biar manis dikit hasilnya!"
Putra berjalan mendekat kearahku yang sudah berada persis di gapura.
"Nggak usah senyum lo uda manis." Putra berkata polos dengan senyumnya saat sudah berada di hadapanku. Mungkin wajahku merah padam.
"Heheehee" dan aku hanya tertawa konyol.
"Nih lihat". Putra menunjukan display dari kameranya hasil jepretan beberapa saat yang lalu.
"Waw!"
"Aduh Ra, jangan tereak gitu."
"Sory-sory...abis gue kaget. Bagus banget ya?"
aku masih terkagum-kagum melihat hasil jepretan Putra, gapura terlihat sangat megah, dan aku tampak hanya seperti bayangan gelap yang berdiri di tengah kekosongan. Dia luar biasa sekali!
Putra tersenyum "Ayok kita ke jalan lagi."
Setelah melewati gapura utama, kakiku menginjak hamparan rumput luas. Bisa dikatakan ini seperti alun-alun. Sekitar 45 meter dari gapura kedua, di sisi kiri alun-alun terdapat bangunan seperti candi yang berbahan dasar batu putih.
"Put, itu apa?" Aku menunjuk
"Itu Candi Batu Putih. Soalnya bahan dasarnya dari batu putih Ra."
Tak jauh dari situ terdapat bangunan berbentuk bujur sangkar dengan dua teras.
"Kalau yang itu?"
"Itu Candi pembakaran Ra. ukurannya kurang lebih 26 x 26 meter. Sesuai namanya candi itu konon digunakan untuk upacara pembakaran jenasah. "
"O...ada apa lagi selain dua bangunan ini disini?"
"Banyak sih Ra, tapi yang paling deket disana, ada batu berumpak dan kolam."
Tiba-tiba Putra menjepret kameranya lagi saat aku masih terpana dengan sekeliling aku. Suasana di keraton candi ratu boko ini gersang. Rumputnya kekuning-kuningan. Dan seperti y ang tertangkap kamera, megah tapi ada kehampaan disini.
*
"Put, gue nggak salah banget nerima ajakan lo buat difoto kesini!"
aku berteriak padanya, Putra tersenyum sambil memasang lensa pada kameranya.
"Temen-temen lo mana?" Aku berteriak lagi pada Putra.
"Sudah dekat, sebentar lagi sampai. Barusan mereka sms!"
"Ow.."
Aku terus berjalan menuju gapura utama dari Putra sambil memperhatikan sekeliling. Pintu gerbang istana ini mengarahkan kita menuju ke bagian tengah kompleks candi bagian depan, yaitu bagian utama. Dimana terdapat dua buah gapura tinggi, yang terdiri dari dua lapis. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5 pintu. Aku tak terlalu mengambil pusing dengan belum hadirnya teman-teman komunitas fotografi Putra. Aku menikmati tempat ini. Sangat menikmati. Keindahan yang sangat luar biasa, Tuhan memang Maha. Kerajaan waktu itu seperti apa bis amembangun kawasan seperti ini ya?
"Ra!"
Aku menoleh kearah Putra memanggilku lantang. Dengan sigap dia menjepret kameranya beberapa kali.
"Ye..hebat banget ya fotografer satu ini!" aku merasa kecolongan.
Putra tertawa dari kejauhan.
"Bilang donk kalo mo moto, gue kan bisa pasang senyum biar manis dikit hasilnya!"
Putra berjalan mendekat kearahku yang sudah berada persis di gapura.
"Nggak usah senyum lo uda manis." Putra berkata polos dengan senyumnya saat sudah berada di hadapanku. Mungkin wajahku merah padam.
"Heheehee" dan aku hanya tertawa konyol.
"Nih lihat". Putra menunjukan display dari kameranya hasil jepretan beberapa saat yang lalu.
"Waw!"
"Aduh Ra, jangan tereak gitu."
"Sory-sory...abis gue kaget. Bagus banget ya?"
aku masih terkagum-kagum melihat hasil jepretan Putra, gapura terlihat sangat megah, dan aku tampak hanya seperti bayangan gelap yang berdiri di tengah kekosongan. Dia luar biasa sekali!
Putra tersenyum "Ayok kita ke jalan lagi."
Setelah melewati gapura utama, kakiku menginjak hamparan rumput luas. Bisa dikatakan ini seperti alun-alun. Sekitar 45 meter dari gapura kedua, di sisi kiri alun-alun terdapat bangunan seperti candi yang berbahan dasar batu putih.
"Put, itu apa?" Aku menunjuk
"Itu Candi Batu Putih. Soalnya bahan dasarnya dari batu putih Ra."
Tak jauh dari situ terdapat bangunan berbentuk bujur sangkar dengan dua teras.
"Kalau yang itu?"
"Itu Candi pembakaran Ra. ukurannya kurang lebih 26 x 26 meter. Sesuai namanya candi itu konon digunakan untuk upacara pembakaran jenasah. "
"O...ada apa lagi selain dua bangunan ini disini?"
"Banyak sih Ra, tapi yang paling deket disana, ada batu berumpak dan kolam."
Tiba-tiba Putra menjepret kameranya lagi saat aku masih terpana dengan sekeliling aku. Suasana di keraton candi ratu boko ini gersang. Rumputnya kekuning-kuningan. Dan seperti y ang tertangkap kamera, megah tapi ada kehampaan disini.
*
Saturday, 21 November 2009
Impressive Ratu Boko-1
Nona Nana, Jakarta menunggumu sore ini bukan? Jangan lupa pesananku ya! Empek-empek spesial :)
Kukirimkan pesan singkat ke Nana. Udara pagi Jogja yang sangat dingin membuatku enggan segera meninggalkan kasur maupun keluar dari dalam selimut ini. Bila tak ingat punya janji dengan Putra aku memilih unuk bermalas-malasan seperti hari kemarin.
Kubuka jendela kamarku membiarkan udara dingin memenuhi ruangan kamarku. Suara kokok ayam di halaman belakang tetangga terdengar jelas. Mana pernah di Jakarta mendengar suara kokok ayam? Yang ada suara kendaraan lalu lalang ketika matahari mulai menampakkan diri.
*
"Hai, Putra... Masuk dulu.."
"Iya mbak Ratu."
Aku tersenyum dengan panggilan yang selalu diucapkan Putra padaku.
"Kamu sudah sarapan belom?"
"Sudah kok mbak."
"Yah, padahal aku pengen ngajakin makan nasi gudeg deket batas kota itu."
"Sarapan dua kali nggak papa kan?"
Aku tertawa mendengar jawabannya.
"Yok kita berangkat. Ibu, aku pamit..."
Ibu muncul dari dapur.
"Wah, katanya mau foto-foto ya Nak?"
"Iya bu, Mbak Ratu ini bakat modelnya terpendam, jadi saya mau bantu ngeluarin Bu"
"Yah Putra bisa aja.. nggak bu, ini cum aiseng-iseng berhadiah kok.."
Aku berkilah.
Ibu tersenyum "yo wis, ati-ati yo"
*
Kami meninggalkan rumahku menuju batas kota untuk mengganjal perut dengan nasi gudeg favoritku. Sepanjang perjalanan Putra banyak bercerita tentang aktivitas fotografinya. Dan aku selalu tertarik dnegan yang namanya fotografi. Meski tak pernah belajar khusus namun teman-teman banyak yang mengatakan aku punya sense ketika mengambil gambar meski hanya dengan kamera pocket biasa.
Perjalanan menuju batas kota melewati ruas jalan solo yang membelah kota jogja dari timur ke barat. Aku masih ingat ketika tahun 1998, sepanjang jalan besar ini tak menampilkan fasade seramah sekarang, melainkan suasana mencekam layaknya sedang terjadi perang besar.
Jalanan ini sangat tak berbentuk ketika itu. Lampu pengatur lalu lintas semua dalam keadaan rusak. Ban-ban yang dibakar memenuhi jalan. Toko-toko di sepanjang jalan ini pun turut menjadi korban. pecahan kaca dimana-mana. Masa reformasi saat itu sangat mencekam kota Jogja. Mahasiswa memenuhi jalan berunjuk rasa dan memenuhi sel-sel kantor polisi. Sungguh pemandangan mengerikan di kala itu.
Dan tak terasa kami sudah tiba di tempat langgananku menyantap sarapan nasi gudeg di daerah batas kota.
*
"Jadi ini karena dalam rangka kampanye UNESCO Put?"
"Iya, karena Candi Ratu Boko sudah masuk dalam otorita khusus pemerintah. Dan termasuk dalam daftar warisan dunia UNESCO mbak Ratu."
"Menarik banget. Lo kenapa baru cerita sekarang?"
"Ya ini juga cerita. Abis kemaren pas di pesawat kayanya mbak Ratu lagi nggak bagus moodnya buat diajakin cerita."
"Sok tahu deh lo."
Putra tertawa sambil menghabiskan sisa nasi gudeg di piringnya.
"Terus ini komunitas fotografernya berapa orang Put?"
"Emm mbak ratu liat aja sendiri ntar ya."
"Pakai rahasia-rahasiaan lo ah..."
"Banyak mbak. Gue juga nggak tahu deh."
Putra kembali tertawa
"Bentuk kampanyenya gimana, Put?"
"Jadi mbak nanti foto-foto ini bakal dipajang, dipamerin gitu. Pameran fotonya sekitar bulan depan. "
"Masih lama juga, kantor bisa ngeliput donk."
"Sangat bisa Mbak. Bisa kerjasama media partner juga deh."
Aku menghabiskan teh hangatku.
"Dan artinya, mbak Ratu berarti harus ke Jogja lagi bulan depan..."
"Bisa aja kamu.., Kalau difoto lagi sih mau..."
"Buat Mbak Ratu apa sih yang enggak..."
Kami tertawa nyaris membuat semua orang di warung nasi gudeg ini menoleh. Cukup menarik perhatian ternyata.
"Jangan panggil gue mbak donk Put."
"Lah jadi apa? Tante? Ntar mbak Ratu tersinggung."
"Reseh lo. Ratu aja atau Rara gituh"
"Baik Ratu Rara..."
*
Pemandangan deretan pegunungan selatan sudah terlihat di depan mata. Kami sudah bergerak menuju timur. Candi Ratu Boko terletak kira-kira 3 km di sebelah selatan dari komplek Candi Prambanan. Sekitar 18 km sebelah timur kota Jogja.
Masih lekat di ingatannku saat gempa mengguncang kota Jogja dan sekitar di tahun 2006. Sepanjang jalan raya yang tengah kulewati ini luluh lantah. Nyaris rata dengan tanah. Miris sekali mengingat ketiadaan kita ketika berhadapan dengan bukti kekuasaan Tuhan yang begitu Maha.
Lewat tiga tahun kondisi sepanjang jalan ini telah kembali normal. Aktivitas ekonomi sangat baik sekali. mengingat ini adalah jalan propinsi. yang menghubungkan kota Jogja dan Solo dan terus membentang ke arah timur untuk mencapai Kota Surabaya.
"Ra, lo ud pernah belum ke Ratu Boko ini?"
Putra bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
"Hehehe belum."
"Pantesan."
"Pantesan apa?"
"Kethok ndesone..."
"Hu sial lo ah..."
Putra tertawa lagi. Sedari tadi kami hanya tertawa dan bercerita. Membuatkan benar-benar bersemangat, tak lagi seperti dua hari yang lalu.
"Oke kalau gitu Putra, bisa anda jelaskan ke saya sejarah Candi Ratu Boko ini?"
"Dengan senang hati Ratu Rara..."
Aku tersenyum geli dan siap mendengarkan putra bercerita
"Diperkirakan candi ini dibangun sekitar abad 9 M oleh Dinasti Syailendra, yang kelak mengambil alih Mataram Hindu. Reruntuhan Keraton Ratu Boko ini ditemukan pertama kali oleh Van Boeckholtz pada tahun 1790."
"Wah, bangsa penjajah?"
"Iya lah Ra. Bangsa kita kayanya belum ngeh sama peninggalan sejarah waktu dijajah."
"Terus-terus?"
"Terus, setelah seabad dari penemuan Van Boeckholtz, sekitar tahun 1890, FDK Bosch mengadakan riset arkeologis tentang peninggalan kepurbakalaan di selatan Candi Prambanan dalam laporannya yang dinamai Kraton Van Ratoe Boko."
"Keraton?"
"Iya keraton. Sampai sekarang sebenarnya masih belum ada fakta yang emnjelaskan dengan pasti sebenarnya fungsi Candi Ratu Boko ini apa. Para ahli masih sulit mengindentifikasikan, apakah ia merupakan taman kerajaan, istana, benteng, atau candi."
"Mmm begitu ya?"
"Tapi atribut yang ditemukan mengacu pada sebuah wilayah perkampungan. "
"Terus kenapa namanya Boko ya?"
"Ratu Boko secara harafiah artinya adalah raja bangau. "
"mmm gituh."
"Lengkapnya untuk tata ruangnya tentang candi ratu boko, bisa Rtau rara lihat sendiri nanti."
Mobil kami memasuki kompleks candi yang menanjak ke atas. Ya letak kompleks candi Ratu boko terletak diatas bukit yang merupakan cabang dari pegunungan selatan Jogja.
*
Kukirimkan pesan singkat ke Nana. Udara pagi Jogja yang sangat dingin membuatku enggan segera meninggalkan kasur maupun keluar dari dalam selimut ini. Bila tak ingat punya janji dengan Putra aku memilih unuk bermalas-malasan seperti hari kemarin.
Kubuka jendela kamarku membiarkan udara dingin memenuhi ruangan kamarku. Suara kokok ayam di halaman belakang tetangga terdengar jelas. Mana pernah di Jakarta mendengar suara kokok ayam? Yang ada suara kendaraan lalu lalang ketika matahari mulai menampakkan diri.
*
"Hai, Putra... Masuk dulu.."
"Iya mbak Ratu."
Aku tersenyum dengan panggilan yang selalu diucapkan Putra padaku.
"Kamu sudah sarapan belom?"
"Sudah kok mbak."
"Yah, padahal aku pengen ngajakin makan nasi gudeg deket batas kota itu."
"Sarapan dua kali nggak papa kan?"
Aku tertawa mendengar jawabannya.
"Yok kita berangkat. Ibu, aku pamit..."
Ibu muncul dari dapur.
"Wah, katanya mau foto-foto ya Nak?"
"Iya bu, Mbak Ratu ini bakat modelnya terpendam, jadi saya mau bantu ngeluarin Bu"
"Yah Putra bisa aja.. nggak bu, ini cum aiseng-iseng berhadiah kok.."
Aku berkilah.
Ibu tersenyum "yo wis, ati-ati yo"
*
Kami meninggalkan rumahku menuju batas kota untuk mengganjal perut dengan nasi gudeg favoritku. Sepanjang perjalanan Putra banyak bercerita tentang aktivitas fotografinya. Dan aku selalu tertarik dnegan yang namanya fotografi. Meski tak pernah belajar khusus namun teman-teman banyak yang mengatakan aku punya sense ketika mengambil gambar meski hanya dengan kamera pocket biasa.
Perjalanan menuju batas kota melewati ruas jalan solo yang membelah kota jogja dari timur ke barat. Aku masih ingat ketika tahun 1998, sepanjang jalan besar ini tak menampilkan fasade seramah sekarang, melainkan suasana mencekam layaknya sedang terjadi perang besar.
Jalanan ini sangat tak berbentuk ketika itu. Lampu pengatur lalu lintas semua dalam keadaan rusak. Ban-ban yang dibakar memenuhi jalan. Toko-toko di sepanjang jalan ini pun turut menjadi korban. pecahan kaca dimana-mana. Masa reformasi saat itu sangat mencekam kota Jogja. Mahasiswa memenuhi jalan berunjuk rasa dan memenuhi sel-sel kantor polisi. Sungguh pemandangan mengerikan di kala itu.
Dan tak terasa kami sudah tiba di tempat langgananku menyantap sarapan nasi gudeg di daerah batas kota.
*
"Jadi ini karena dalam rangka kampanye UNESCO Put?"
"Iya, karena Candi Ratu Boko sudah masuk dalam otorita khusus pemerintah. Dan termasuk dalam daftar warisan dunia UNESCO mbak Ratu."
"Menarik banget. Lo kenapa baru cerita sekarang?"
"Ya ini juga cerita. Abis kemaren pas di pesawat kayanya mbak Ratu lagi nggak bagus moodnya buat diajakin cerita."
"Sok tahu deh lo."
Putra tertawa sambil menghabiskan sisa nasi gudeg di piringnya.
"Terus ini komunitas fotografernya berapa orang Put?"
"Emm mbak ratu liat aja sendiri ntar ya."
"Pakai rahasia-rahasiaan lo ah..."
"Banyak mbak. Gue juga nggak tahu deh."
Putra kembali tertawa
"Bentuk kampanyenya gimana, Put?"
"Jadi mbak nanti foto-foto ini bakal dipajang, dipamerin gitu. Pameran fotonya sekitar bulan depan. "
"Masih lama juga, kantor bisa ngeliput donk."
"Sangat bisa Mbak. Bisa kerjasama media partner juga deh."
Aku menghabiskan teh hangatku.
"Dan artinya, mbak Ratu berarti harus ke Jogja lagi bulan depan..."
"Bisa aja kamu.., Kalau difoto lagi sih mau..."
"Buat Mbak Ratu apa sih yang enggak..."
Kami tertawa nyaris membuat semua orang di warung nasi gudeg ini menoleh. Cukup menarik perhatian ternyata.
"Jangan panggil gue mbak donk Put."
"Lah jadi apa? Tante? Ntar mbak Ratu tersinggung."
"Reseh lo. Ratu aja atau Rara gituh"
"Baik Ratu Rara..."
*
Pemandangan deretan pegunungan selatan sudah terlihat di depan mata. Kami sudah bergerak menuju timur. Candi Ratu Boko terletak kira-kira 3 km di sebelah selatan dari komplek Candi Prambanan. Sekitar 18 km sebelah timur kota Jogja.
Masih lekat di ingatannku saat gempa mengguncang kota Jogja dan sekitar di tahun 2006. Sepanjang jalan raya yang tengah kulewati ini luluh lantah. Nyaris rata dengan tanah. Miris sekali mengingat ketiadaan kita ketika berhadapan dengan bukti kekuasaan Tuhan yang begitu Maha.
Lewat tiga tahun kondisi sepanjang jalan ini telah kembali normal. Aktivitas ekonomi sangat baik sekali. mengingat ini adalah jalan propinsi. yang menghubungkan kota Jogja dan Solo dan terus membentang ke arah timur untuk mencapai Kota Surabaya.
"Ra, lo ud pernah belum ke Ratu Boko ini?"
Putra bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
"Hehehe belum."
"Pantesan."
"Pantesan apa?"
"Kethok ndesone..."
"Hu sial lo ah..."
Putra tertawa lagi. Sedari tadi kami hanya tertawa dan bercerita. Membuatkan benar-benar bersemangat, tak lagi seperti dua hari yang lalu.
"Oke kalau gitu Putra, bisa anda jelaskan ke saya sejarah Candi Ratu Boko ini?"
"Dengan senang hati Ratu Rara..."
Aku tersenyum geli dan siap mendengarkan putra bercerita
"Diperkirakan candi ini dibangun sekitar abad 9 M oleh Dinasti Syailendra, yang kelak mengambil alih Mataram Hindu. Reruntuhan Keraton Ratu Boko ini ditemukan pertama kali oleh Van Boeckholtz pada tahun 1790."
"Wah, bangsa penjajah?"
"Iya lah Ra. Bangsa kita kayanya belum ngeh sama peninggalan sejarah waktu dijajah."
"Terus-terus?"
"Terus, setelah seabad dari penemuan Van Boeckholtz, sekitar tahun 1890, FDK Bosch mengadakan riset arkeologis tentang peninggalan kepurbakalaan di selatan Candi Prambanan dalam laporannya yang dinamai Kraton Van Ratoe Boko."
"Keraton?"
"Iya keraton. Sampai sekarang sebenarnya masih belum ada fakta yang emnjelaskan dengan pasti sebenarnya fungsi Candi Ratu Boko ini apa. Para ahli masih sulit mengindentifikasikan, apakah ia merupakan taman kerajaan, istana, benteng, atau candi."
"Mmm begitu ya?"
"Tapi atribut yang ditemukan mengacu pada sebuah wilayah perkampungan. "
"Terus kenapa namanya Boko ya?"
"Ratu Boko secara harafiah artinya adalah raja bangau. "
"mmm gituh."
"Lengkapnya untuk tata ruangnya tentang candi ratu boko, bisa Rtau rara lihat sendiri nanti."
Mobil kami memasuki kompleks candi yang menanjak ke atas. Ya letak kompleks candi Ratu boko terletak diatas bukit yang merupakan cabang dari pegunungan selatan Jogja.
*
Friday, 20 November 2009
Lovely Bangka-3
Drrtt..drrrtt
1 Message Received My Azzam
Honey, sudah nyampe belom?
Azzam, sudah menanyakanku ketika kunyalakan handphone sesampainya di bandara Depati Amir. Baru saja kuketik pesan singkat untuk balasan handphoneku sudah berbunyi, dengan ringtone khusus yang menandakan Azzam menghubungiku.
"Ya..."
"Honey, daritadi dihubungi kok baru bisa sih?"
"Yampun, baru juga landing beyb..."
"O..pantesan nggak aktif."
"Ya iyalah, kaya nggak pernah naik pesawat ajah kamu tuh."
Dia tertawa di seberang sana.
"Oiya Zam, lupa bilang.. desainnya undangan ditunggu ma percetakannya besok. Biar Senin uda fix. Selasa uda bisa dicetak. Kamu sempetin mampir ya kesana pulang kerja."
"Ow...aku usahain ya. Soalnya mendadak kudu keluar kota nih ntar sore."
"Ha? Kemana?"
"Mmm.. ke Bandung ada traning mendadak. Gantiin temen gitu. "
"Ow, ya udah. Sampe kapan?"
"mmmm sampai minggu sore gitu."
"Ya udah, entar kita urus bareng ajah pulangnya aku dari Bangka. atau aku sendiri, kan lusa udah pulang Jakarta."
"Oke deh, hati-hati ya honey.."
"Oke, You too"
"Bye.."
Tut.
Segera kuambil koper dan berjalan menuju sopir perusahaan yang sudah mennantiku di loby depan ruang kedatangan.
*
Pikiranku menerawang melayang-layang memikirkan Azzam di Jakarta. Sikapnya agak berlebihan belakangan. Tapi semoga ini pertanda baik, dia semakin menghargai aku sebagai calon istrinya. Aku berusaha mengesampingkan dugaan-dugaan negatifku. Kebanyakan dari majalah wanita yang kubaca adalah setiap lelaki bersikap super manis dari biasanya itu tandanya dia baru saja melakukan suatu kesalahan, sehingga berusaha menebusnya ke pasangannya. Semoga t idak berlaku pada hubunganku dan Azzam
Mobil ini melaju langsung menuju kantor cabang perusahaanku. Aku berusaha memulihkan pikiran bekerjaku sebelum tiba di kantor perwakilan. Siang ini aku harus langsung mengambil dokumen kantor Bangka. Tentu saja disertai meeting progress.
*
"Siang Bu Naily.."
"Ow, siang Pak Brata. Maaf Pak Ali tidak bisa hadir."
"Iya, saya sudah dapat kabar tadi dari beliau. Silahkan Pak Hadi sudah menunggu."
Brata adalah bagian keuangan yang memiliki posisi sama denganku. bedanya dia membawahi kantor perwakilan di Bangka ini. Sedangkan aku di Jakarta. Usianya pun tak jauh beda denganku. Dia baru ditempatkan disini dua bulan terakhir. Menggantikan Ibu Reni yang mendadak sakit keras dan meninggal dunia.
Kami bercakap sepanjang perjalanan menuju ruang pertemuan. Brata sosok yang mirip dengan Azzam. Meski umurnya kurasa jauh lebih muda dari Azzam, pemikirannya jauh lebih dewasa dibandingkan Azzam. Iya, ini yang kutakutkan ketika berada di Bangka. Aku selalu membandingkan Brata dan Azzam.
Senyum Pak Hadi menyambutku ramah. Setelah berjabat tangan, rapat pun dimulai. Dan pikiranku sedikit tak fokus. Bukan hanya karena efek baru saja naik pesawat, tetapi posisi duduk Brata yang tepat dihadapanku membuatku sedikit salah tingkah. Beberapa kali pandangannya tertangkap olehku sedang mengamatiku. Padahal yang sedang berbicara Pak Hadi. Aku sedikit tak nyaman untuk rapat kali ini.
*
"Pak Brata, ini semua dokumen pusat ada di CD ini."
Setelah rapat ditutup aku menghampiri Brata untuk menyerahkan Bundelan file dan soft copy dari kantor pusat.
"O, baik Bu Naily. Terimakasih."
"Saya pamit dulu ke Mess."
"Silahkan Bu, nanti saya hubungi lagi."
"Baik. Mari Pak."
Aku undur diri dan segera berjalan meninggalkan ruangan ini. Mencoba mengartikan kalimat terakhir Brata, 'Nanti saya hubungi lagi'. Maksudnya dia akan menghubungiku? Untuk urusan pekerjaan atau yang lain? Sekali lagi aku bermain-main dengan pikiranku. Ah entahlah, aku lelah. Rasanya ingin segera mandi dan istirahat. Bila berada di Bangka aku tak pernah kemana-mana kecuali diajak oleh orang kantor.
*
Kukeringkan sekujur badanku dengan handuk putih ini. Sedikit rileks setelah badan ini tersentuh air hangat selama beberapa lama di bathup. Bangka memang luar biasa. Bagiku beekrja kesini berarti juga liburan sesaat dari crowdednya jakarta. Kapan lagi aku bisa memanjakan diri berendam dan tak terjebak macet sperti ini.
Kukenakan baju santaiku kaos yang sedikit kebesaran, dan celana pendek kesukaanku. langit terang perlahan menjelma menjadi malam melalui senjanya. Kupandangi langit senja bangka yang selalu terlihat indah untukku.
Azzam sudah berangkat belum ya? Kucoba menghubunginya.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan . silahkan mencobanya beberapa saat lagi.
Mmm, aneh, handphonenya tak aktif. Kulihat jam dinding menunjukan pukul 6 sore. Bila sesuai jadwal Azzam harusnya sudha bergerak ke Bandung. Mungkin handphonenya sedang low bat. Kuletakkan handphoneku dan berganti memegang remote tv.
Kamar mess ini tidak terlalu besar, tapi sangat lebih dari cukup untuk satu orang. Satu bed besar, dengan tv di rak dihadapannya. Lemari pakaian yang build-in tepat disamping rak tv. dua buah kursi dan meja bundar di dekat jendela. dan tentu saja balkon tepat disamping kanan tempat tidur. Semua serba putih, hingga aku sempat menjuluki menginap di mess sam adengan opname di rumah sakit.
Ting tong.
Bell kamar berbunyi. Siapa yang bertamu? Apa pesuruh mess? Biasanya mereka mengingatkan makan malam melalui interkom.
Kubuka pintu kamar dan sedikit terkejut melihat siapa yang datang. Brata tersenyum sopan dihadapanku. Dia tampak lain dengan setelan casual seperti sekarang, bahkan menggunakan sandal jepit. Menarik.
"Eh Pak Brata, saya kira siapa."
Dia masih tersenyum memandangku. Aku salah tingkah tapi memutuskan untuk mempersilahkan dia masuk.
"Silahkan pak, masuk."
Brata melangkah dan mengucapkan terimakasih.
Tanpa diperintah kami otomatis memilih duduk di dua buah kursi di samping kiri kasur. Masih tak bersuara satu sama lain. Aku mencoba mencairkan suasana dengan membahas berita di tv yang sedang kutonton.
"Di Jakarta tadi siang ada dmeo lagi tuh Pak."
Brata tertawa.
"Kok pak Brata ketawa sih?"
"Jangan panggil saya pak donk kalo diluar kantor. Brata saja."
"Owalah, iya deh Pak, eh Brata."
Brata mengulurkan tangannya ke arahku, mengajak berjabat tangan. Aku menjabatnya dengan sedikit bingung.
"Saya Brata."
Aku pun menjawab kikuk, "Saya, Nana."
"oke, kita baru saja berkenalan lagi." Brata berkata jelas.
Aku tertawa.
"Jadi, Nana mau kemana malam ini? Kita makan ke pinggir pantai yok. Ada restoran seafood enak disana. Kamu pasti pernah kesana, tapi sama orang-orang kantor pas makan siang kayanya. kalau malem belom pernah kan? Gimana?"
Brata berkata panjang lebar tetapi jelas arahanya mengajaku keluar.
"Menarik. Kasi saya waktu untuk ganti baju ya Pak, eh Brata."
"Nggak usah, lo uda cantik kaya gini ajah. Ayok."
Brata tak memberiku kesempatan sama sekali, dan menarik tanganku.
Aku menurut dan berjalan disampingnya.
*
Angin malam ini sangat kencang, dan aku sedikit kedinginan dengan baju potongan pendek yang kukenakan. Hidangan seafood tarif kaki lima ini sangat enak. Aku tak henti-hentinya memuji Brata yang mengajaku ke tempat ini.
"Besok-besok kita kesini lagi ya Ta!"
Aku masih bersemangat menghabiskan udang asam manisku.
Brata tertawa, "Pastinya Nona Nana."
Aku sedikit terperanjat, dia memanggilku sama dengan Rara biasa memanggilku Nona bila sedang meledek. kebetulan yang sangat luar biasa batinku.
Kuteguk es tehku untuk terakhir kali. menandai berahirnya acara makan malam yang luar biasa ini. Selama aku berkali-kali ke Bangka, baru kali ini rasanya aku merasa istimewa, bisa menikmati pantai ditemani seseorang dan makan malam yang luar biasa enak dan murah.
"Sudah? Kita jalan kesana yok."
Brata menunjuk bibir pantai.
Aku mengangguk dan bergegas membersihkan tangan serta mulutku, lalu menggandengnya. Entah reflek atau apa, tapi iya aku menggandengnya.
*
Suara ombak mengisi kesunyian kami. Tadinya aku cerewet sekali banyak bercerita tapi setibanya di depan pantai ini, aku terduduk diam. Brata juga diam, pandangannya lepas tertuju pada laut dihadapannya.
Tangan kami masih tergenggam erat satu sama lain. Duduk bersila diatas pasir putih memandang laut lepas di depan. Langit sangat cerah, dihiasi bintang. pemandangan yang tak pernah kudapati di jakarta.
"Ta..."
aku membuka suara.
"Ya?"
"Lo tau nggak, di Jakarta gue nggak pernah bisa lihat bintang sebanyak ini."
"Iya."
"Lo tau kenapa?"
"Tau.."
Aku mulai tertarik dengan Brata, cara dia berkomunikasi denganku sedari tadi.
"Jelasin donk.."
Dia tertawa sebelum mebuka cerita
"Pernah dengar Bortle Dark-Sky Scale?"
Aku menggeleng
"Bortle Dark-Sky Scale adalah skala kegelapan langit dengan angka 1-9. Dimana skala tersebut mengklasifikasikan pada sejauh mana bintang dan langit dapat kita lihat dengan jelas dengan mata telanjang."
"oya?"
"Iya... Semakin terang langit karena cahaya buatan di suatu tempat, maka akan semakin besar angka skala yang diberikan untuk wilayah tersebut."
"Cahaya buatan?"
"Maksudnya pencahayaan buatan itu ya penerangan yang kita gunakan Na. Lampu kota, lampu baliho, lampu gedung dan seterusnya. Semuanya itu bisa kita sebut polusi cahaya."
"Mmm.."
"Oleh karenanya, jakarta susah sekali melihat bintang karena pantulan cahaya buatannya besar, sehingga skala kegelapan langit jakarta besar juga."
"Wah, menarik..."
"Kurangi penggunaan cahaya buatan Na, kelak anak cucumu nggak bisa lihat bintang lho."
"mmmm"
"Buat gue, langit gelap adalah inspirasi."
Aku terdiam memandang langit dan sadar bahwa Brata sedang memandangiku yang menatap langit.
"aku sangat suka dengan bintang juga." aku berkata dan memalingkan wajahku padanya.
Brata masih memandangku.
Kedua matanya menatap dua bola mataku, sangat dalam. Mengajakku memasuki dunianya. Tangan kami terlepas dari genggaman. Wajahnya mendekat, sangat dekat hingga bibir kami bersentuhan. Debur ombak menemani larutnya hasratku yang tiba-tiba memuncak dengan sentuhan tangannya yang memelukku erat tanpa melepas kecupannya. Dalam hitungan detik kami terbuai lalu terhenti dengan pelan saat aku menarik diri dari pelukannya.
Kami terdiam dan berjarak. Masing-masing kembali memandang laut lepas. Brata tak memaksaku untuk melanjutkan sensasi yang baru saja kami lalui. Tangannya pun tak lagi meraihku setelah aku menarik diri darinya.
Ada yang ganjil, ya, aku merasa ada yang ganjil. Aku bergeser mendekatinya lagi, menyenderkan kepalaku pada bahunya, melingkarkan tangan kananku pada pinggangnya yang masih terduduk tak bergerak memandang laut.
Serta merta tangannya meraih tanganku dan membuatnya semakin erat melingkar di badannya. Dikecupnya kepalaku yang bersender. Kecupan yang menyatakan 'kamu akan baik-baik saja Nana... bersamaku disini'
Kutengadahkan kepalaku hingga pandangan kami beradu kembali. Tangannya menuntun wajahku pelan mendekat kembali, berhadapan dan menyatu lagi dalam kecupan hangat. Nafasnya memeluk jiwaku erat, aku menuruti ritmenya sesekali mendesah. Langit dengan bintang menerangi kami yang berlarut dan tersesat.
*
"Aku mencintaimu Na."
Brata mengecup pipiku sekali lagi. Tanganku masih memeluknya erat tertutupi selimut putih di ruangan serba putih ini. Hawa panas dari badannya terasa jelas di kulitku yang sedari tadi bersentuhan tanpa perantara apapun. Detak jantungnya terasa jelas di tanganku yang berada tepat diatasnya.
Aku hanya terdiam. Aku menikmati malam ini. Sangat menikmati. Apa namanya ini? Tuhan, Aku berkhianat pada Azzam. Brata begitu magis menuntunku merasakan indahnya bercinta. Inikah yang dinamai cinta sebenarnya? Aku masih tak mengerti. Bahkan dengan kata cinta yang baru saja dituturkan Brata.
Aku masih memeluknya, diam. Brata masih mengelus rambutku lembut. Perlahan menurun menuju wajahku. Pelan dan penuh perasaan dan akhirnya tepat menyentuh titik sensitifku. Aku mengeluh lalu mendekatkan ragaku. Dan lagi kami terlarut mengisi heningnya malam dengan bersentuhan dalam jiwa yang menyatu.
*
1 Message Received My Azzam
Honey, sudah nyampe belom?
Azzam, sudah menanyakanku ketika kunyalakan handphone sesampainya di bandara Depati Amir. Baru saja kuketik pesan singkat untuk balasan handphoneku sudah berbunyi, dengan ringtone khusus yang menandakan Azzam menghubungiku.
"Ya..."
"Honey, daritadi dihubungi kok baru bisa sih?"
"Yampun, baru juga landing beyb..."
"O..pantesan nggak aktif."
"Ya iyalah, kaya nggak pernah naik pesawat ajah kamu tuh."
Dia tertawa di seberang sana.
"Oiya Zam, lupa bilang.. desainnya undangan ditunggu ma percetakannya besok. Biar Senin uda fix. Selasa uda bisa dicetak. Kamu sempetin mampir ya kesana pulang kerja."
"Ow...aku usahain ya. Soalnya mendadak kudu keluar kota nih ntar sore."
"Ha? Kemana?"
"Mmm.. ke Bandung ada traning mendadak. Gantiin temen gitu. "
"Ow, ya udah. Sampe kapan?"
"mmmm sampai minggu sore gitu."
"Ya udah, entar kita urus bareng ajah pulangnya aku dari Bangka. atau aku sendiri, kan lusa udah pulang Jakarta."
"Oke deh, hati-hati ya honey.."
"Oke, You too"
"Bye.."
Tut.
Segera kuambil koper dan berjalan menuju sopir perusahaan yang sudah mennantiku di loby depan ruang kedatangan.
*
Pikiranku menerawang melayang-layang memikirkan Azzam di Jakarta. Sikapnya agak berlebihan belakangan. Tapi semoga ini pertanda baik, dia semakin menghargai aku sebagai calon istrinya. Aku berusaha mengesampingkan dugaan-dugaan negatifku. Kebanyakan dari majalah wanita yang kubaca adalah setiap lelaki bersikap super manis dari biasanya itu tandanya dia baru saja melakukan suatu kesalahan, sehingga berusaha menebusnya ke pasangannya. Semoga t idak berlaku pada hubunganku dan Azzam
Mobil ini melaju langsung menuju kantor cabang perusahaanku. Aku berusaha memulihkan pikiran bekerjaku sebelum tiba di kantor perwakilan. Siang ini aku harus langsung mengambil dokumen kantor Bangka. Tentu saja disertai meeting progress.
*
"Siang Bu Naily.."
"Ow, siang Pak Brata. Maaf Pak Ali tidak bisa hadir."
"Iya, saya sudah dapat kabar tadi dari beliau. Silahkan Pak Hadi sudah menunggu."
Brata adalah bagian keuangan yang memiliki posisi sama denganku. bedanya dia membawahi kantor perwakilan di Bangka ini. Sedangkan aku di Jakarta. Usianya pun tak jauh beda denganku. Dia baru ditempatkan disini dua bulan terakhir. Menggantikan Ibu Reni yang mendadak sakit keras dan meninggal dunia.
Kami bercakap sepanjang perjalanan menuju ruang pertemuan. Brata sosok yang mirip dengan Azzam. Meski umurnya kurasa jauh lebih muda dari Azzam, pemikirannya jauh lebih dewasa dibandingkan Azzam. Iya, ini yang kutakutkan ketika berada di Bangka. Aku selalu membandingkan Brata dan Azzam.
Senyum Pak Hadi menyambutku ramah. Setelah berjabat tangan, rapat pun dimulai. Dan pikiranku sedikit tak fokus. Bukan hanya karena efek baru saja naik pesawat, tetapi posisi duduk Brata yang tepat dihadapanku membuatku sedikit salah tingkah. Beberapa kali pandangannya tertangkap olehku sedang mengamatiku. Padahal yang sedang berbicara Pak Hadi. Aku sedikit tak nyaman untuk rapat kali ini.
*
"Pak Brata, ini semua dokumen pusat ada di CD ini."
Setelah rapat ditutup aku menghampiri Brata untuk menyerahkan Bundelan file dan soft copy dari kantor pusat.
"O, baik Bu Naily. Terimakasih."
"Saya pamit dulu ke Mess."
"Silahkan Bu, nanti saya hubungi lagi."
"Baik. Mari Pak."
Aku undur diri dan segera berjalan meninggalkan ruangan ini. Mencoba mengartikan kalimat terakhir Brata, 'Nanti saya hubungi lagi'. Maksudnya dia akan menghubungiku? Untuk urusan pekerjaan atau yang lain? Sekali lagi aku bermain-main dengan pikiranku. Ah entahlah, aku lelah. Rasanya ingin segera mandi dan istirahat. Bila berada di Bangka aku tak pernah kemana-mana kecuali diajak oleh orang kantor.
*
Kukeringkan sekujur badanku dengan handuk putih ini. Sedikit rileks setelah badan ini tersentuh air hangat selama beberapa lama di bathup. Bangka memang luar biasa. Bagiku beekrja kesini berarti juga liburan sesaat dari crowdednya jakarta. Kapan lagi aku bisa memanjakan diri berendam dan tak terjebak macet sperti ini.
Kukenakan baju santaiku kaos yang sedikit kebesaran, dan celana pendek kesukaanku. langit terang perlahan menjelma menjadi malam melalui senjanya. Kupandangi langit senja bangka yang selalu terlihat indah untukku.
Azzam sudah berangkat belum ya? Kucoba menghubunginya.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan . silahkan mencobanya beberapa saat lagi.
Mmm, aneh, handphonenya tak aktif. Kulihat jam dinding menunjukan pukul 6 sore. Bila sesuai jadwal Azzam harusnya sudha bergerak ke Bandung. Mungkin handphonenya sedang low bat. Kuletakkan handphoneku dan berganti memegang remote tv.
Kamar mess ini tidak terlalu besar, tapi sangat lebih dari cukup untuk satu orang. Satu bed besar, dengan tv di rak dihadapannya. Lemari pakaian yang build-in tepat disamping rak tv. dua buah kursi dan meja bundar di dekat jendela. dan tentu saja balkon tepat disamping kanan tempat tidur. Semua serba putih, hingga aku sempat menjuluki menginap di mess sam adengan opname di rumah sakit.
Ting tong.
Bell kamar berbunyi. Siapa yang bertamu? Apa pesuruh mess? Biasanya mereka mengingatkan makan malam melalui interkom.
Kubuka pintu kamar dan sedikit terkejut melihat siapa yang datang. Brata tersenyum sopan dihadapanku. Dia tampak lain dengan setelan casual seperti sekarang, bahkan menggunakan sandal jepit. Menarik.
"Eh Pak Brata, saya kira siapa."
Dia masih tersenyum memandangku. Aku salah tingkah tapi memutuskan untuk mempersilahkan dia masuk.
"Silahkan pak, masuk."
Brata melangkah dan mengucapkan terimakasih.
Tanpa diperintah kami otomatis memilih duduk di dua buah kursi di samping kiri kasur. Masih tak bersuara satu sama lain. Aku mencoba mencairkan suasana dengan membahas berita di tv yang sedang kutonton.
"Di Jakarta tadi siang ada dmeo lagi tuh Pak."
Brata tertawa.
"Kok pak Brata ketawa sih?"
"Jangan panggil saya pak donk kalo diluar kantor. Brata saja."
"Owalah, iya deh Pak, eh Brata."
Brata mengulurkan tangannya ke arahku, mengajak berjabat tangan. Aku menjabatnya dengan sedikit bingung.
"Saya Brata."
Aku pun menjawab kikuk, "Saya, Nana."
"oke, kita baru saja berkenalan lagi." Brata berkata jelas.
Aku tertawa.
"Jadi, Nana mau kemana malam ini? Kita makan ke pinggir pantai yok. Ada restoran seafood enak disana. Kamu pasti pernah kesana, tapi sama orang-orang kantor pas makan siang kayanya. kalau malem belom pernah kan? Gimana?"
Brata berkata panjang lebar tetapi jelas arahanya mengajaku keluar.
"Menarik. Kasi saya waktu untuk ganti baju ya Pak, eh Brata."
"Nggak usah, lo uda cantik kaya gini ajah. Ayok."
Brata tak memberiku kesempatan sama sekali, dan menarik tanganku.
Aku menurut dan berjalan disampingnya.
*
Angin malam ini sangat kencang, dan aku sedikit kedinginan dengan baju potongan pendek yang kukenakan. Hidangan seafood tarif kaki lima ini sangat enak. Aku tak henti-hentinya memuji Brata yang mengajaku ke tempat ini.
"Besok-besok kita kesini lagi ya Ta!"
Aku masih bersemangat menghabiskan udang asam manisku.
Brata tertawa, "Pastinya Nona Nana."
Aku sedikit terperanjat, dia memanggilku sama dengan Rara biasa memanggilku Nona bila sedang meledek. kebetulan yang sangat luar biasa batinku.
Kuteguk es tehku untuk terakhir kali. menandai berahirnya acara makan malam yang luar biasa ini. Selama aku berkali-kali ke Bangka, baru kali ini rasanya aku merasa istimewa, bisa menikmati pantai ditemani seseorang dan makan malam yang luar biasa enak dan murah.
"Sudah? Kita jalan kesana yok."
Brata menunjuk bibir pantai.
Aku mengangguk dan bergegas membersihkan tangan serta mulutku, lalu menggandengnya. Entah reflek atau apa, tapi iya aku menggandengnya.
*
Suara ombak mengisi kesunyian kami. Tadinya aku cerewet sekali banyak bercerita tapi setibanya di depan pantai ini, aku terduduk diam. Brata juga diam, pandangannya lepas tertuju pada laut dihadapannya.
Tangan kami masih tergenggam erat satu sama lain. Duduk bersila diatas pasir putih memandang laut lepas di depan. Langit sangat cerah, dihiasi bintang. pemandangan yang tak pernah kudapati di jakarta.
"Ta..."
aku membuka suara.
"Ya?"
"Lo tau nggak, di Jakarta gue nggak pernah bisa lihat bintang sebanyak ini."
"Iya."
"Lo tau kenapa?"
"Tau.."
Aku mulai tertarik dengan Brata, cara dia berkomunikasi denganku sedari tadi.
"Jelasin donk.."
Dia tertawa sebelum mebuka cerita
"Pernah dengar Bortle Dark-Sky Scale?"
Aku menggeleng
"Bortle Dark-Sky Scale adalah skala kegelapan langit dengan angka 1-9. Dimana skala tersebut mengklasifikasikan pada sejauh mana bintang dan langit dapat kita lihat dengan jelas dengan mata telanjang."
"oya?"
"Iya... Semakin terang langit karena cahaya buatan di suatu tempat, maka akan semakin besar angka skala yang diberikan untuk wilayah tersebut."
"Cahaya buatan?"
"Maksudnya pencahayaan buatan itu ya penerangan yang kita gunakan Na. Lampu kota, lampu baliho, lampu gedung dan seterusnya. Semuanya itu bisa kita sebut polusi cahaya."
"Mmm.."
"Oleh karenanya, jakarta susah sekali melihat bintang karena pantulan cahaya buatannya besar, sehingga skala kegelapan langit jakarta besar juga."
"Wah, menarik..."
"Kurangi penggunaan cahaya buatan Na, kelak anak cucumu nggak bisa lihat bintang lho."
"mmmm"
"Buat gue, langit gelap adalah inspirasi."
Aku terdiam memandang langit dan sadar bahwa Brata sedang memandangiku yang menatap langit.
"aku sangat suka dengan bintang juga." aku berkata dan memalingkan wajahku padanya.
Brata masih memandangku.
Kedua matanya menatap dua bola mataku, sangat dalam. Mengajakku memasuki dunianya. Tangan kami terlepas dari genggaman. Wajahnya mendekat, sangat dekat hingga bibir kami bersentuhan. Debur ombak menemani larutnya hasratku yang tiba-tiba memuncak dengan sentuhan tangannya yang memelukku erat tanpa melepas kecupannya. Dalam hitungan detik kami terbuai lalu terhenti dengan pelan saat aku menarik diri dari pelukannya.
Kami terdiam dan berjarak. Masing-masing kembali memandang laut lepas. Brata tak memaksaku untuk melanjutkan sensasi yang baru saja kami lalui. Tangannya pun tak lagi meraihku setelah aku menarik diri darinya.
Ada yang ganjil, ya, aku merasa ada yang ganjil. Aku bergeser mendekatinya lagi, menyenderkan kepalaku pada bahunya, melingkarkan tangan kananku pada pinggangnya yang masih terduduk tak bergerak memandang laut.
Serta merta tangannya meraih tanganku dan membuatnya semakin erat melingkar di badannya. Dikecupnya kepalaku yang bersender. Kecupan yang menyatakan 'kamu akan baik-baik saja Nana... bersamaku disini'
Kutengadahkan kepalaku hingga pandangan kami beradu kembali. Tangannya menuntun wajahku pelan mendekat kembali, berhadapan dan menyatu lagi dalam kecupan hangat. Nafasnya memeluk jiwaku erat, aku menuruti ritmenya sesekali mendesah. Langit dengan bintang menerangi kami yang berlarut dan tersesat.
*
"Aku mencintaimu Na."
Brata mengecup pipiku sekali lagi. Tanganku masih memeluknya erat tertutupi selimut putih di ruangan serba putih ini. Hawa panas dari badannya terasa jelas di kulitku yang sedari tadi bersentuhan tanpa perantara apapun. Detak jantungnya terasa jelas di tanganku yang berada tepat diatasnya.
Aku hanya terdiam. Aku menikmati malam ini. Sangat menikmati. Apa namanya ini? Tuhan, Aku berkhianat pada Azzam. Brata begitu magis menuntunku merasakan indahnya bercinta. Inikah yang dinamai cinta sebenarnya? Aku masih tak mengerti. Bahkan dengan kata cinta yang baru saja dituturkan Brata.
Aku masih memeluknya, diam. Brata masih mengelus rambutku lembut. Perlahan menurun menuju wajahku. Pelan dan penuh perasaan dan akhirnya tepat menyentuh titik sensitifku. Aku mengeluh lalu mendekatkan ragaku. Dan lagi kami terlarut mengisi heningnya malam dengan bersentuhan dalam jiwa yang menyatu.
*
Thursday, 19 November 2009
Lovely Bangka-2
"Pagi Bu."
Security geudng memberi salam dan memeriksa tasku.
"Mau keluar kota Bu?"
"Iya."
"Silahkan Bu."
"Terimakasih."
Aku mengambil tasku dan berjalan menuju lift.
Pemeriksaan gedung ini cukup ketat memang. Terutama semenjak teror bom marak di Jakarta beberapa bulan yang lalu. Setiap orang yang akan masuk gedung diperiksa bawaannya, melalui detector juga. Sebelum masuk ke lift, ada gerbang lagi yang hanya bisa dibuka menggunakan kartu akses dari pengelola gedung. Begitu juga untuk akses per lantai di lift.
*
"Pagi Mbak Naily..."
OB kantor menyapa dengan ramah di pintu kantor.
"Pagi Gus."
"Mau sarapan nggak bu?"
"Enggak deh, tolong teh anget aja. Saya nanti mau ke Bangka jam 1. Ada yang diberesin dulu nih."
"Baik Bu."
Kunyalakan laptopku untuk segera menyiapkan dokumen yang belum siap untuk dibawa ke Bangka. Bekerja di BUMN memang menyenangkan sekaligus menyedihkan. Ah..akupun susah mau menjelaskannya seperti apa. Tapi ini pelajaran hidup bekerja di instansi negara dengan beraneka ragam tabiat pekerjanya.
Sengaja aku tak menyentuh YM dan laman-laman sosial networkingku. Aku terburu waktu. Aku memerlukan fokus.
"Nail,"
Aku menoleh. Sisi teman sederetku menegur.
"Ya Si?"
"Ini titipan Pak Ali. Beliau nggak ikut ke Bangka. Lo kudu nyampein semua ini ke kantor sana."
"Ampun! Gue sendiri? Apa enaknya ke Bangka sendiri?"
Sisi mengangkat bahu. tanda tak tahu.
"Sabar jeng..."
"Ya iyalah , mau gimana lagi Si."
Aku menerima bundelan file dan flashdisk dari Sisi.
"Makasih Si."
Sisi tersenyum dan mengacungkan jempolnya.
Kulanjutkan editan sana-sini sesuai dengan dokumen yang baru kuterima. Penyesuaian ini banyak sekali. Belum lagi ketika harus menyocokan dengan data di Bangka. Aku mulai menggerutu. Luntur semua semangat pagi dari azzam tadi pagi.
Drrt..drrtt...
1 Message Received
Ratu Pandria
Ow oke, Rara, semoga berita baik.
Morning Nona Nana...Love you, take care in Bangka ya!
Kubalas pesan singkat Rara
i will!! :-*
*
Tepat jam 12 aku sudah berada di terminal keberangkatan bandara Soekarno Hatta. Semoga hari ini aku mencapai targetku.
Security geudng memberi salam dan memeriksa tasku.
"Mau keluar kota Bu?"
"Iya."
"Silahkan Bu."
"Terimakasih."
Aku mengambil tasku dan berjalan menuju lift.
Pemeriksaan gedung ini cukup ketat memang. Terutama semenjak teror bom marak di Jakarta beberapa bulan yang lalu. Setiap orang yang akan masuk gedung diperiksa bawaannya, melalui detector juga. Sebelum masuk ke lift, ada gerbang lagi yang hanya bisa dibuka menggunakan kartu akses dari pengelola gedung. Begitu juga untuk akses per lantai di lift.
*
"Pagi Mbak Naily..."
OB kantor menyapa dengan ramah di pintu kantor.
"Pagi Gus."
"Mau sarapan nggak bu?"
"Enggak deh, tolong teh anget aja. Saya nanti mau ke Bangka jam 1. Ada yang diberesin dulu nih."
"Baik Bu."
Kunyalakan laptopku untuk segera menyiapkan dokumen yang belum siap untuk dibawa ke Bangka. Bekerja di BUMN memang menyenangkan sekaligus menyedihkan. Ah..akupun susah mau menjelaskannya seperti apa. Tapi ini pelajaran hidup bekerja di instansi negara dengan beraneka ragam tabiat pekerjanya.
Sengaja aku tak menyentuh YM dan laman-laman sosial networkingku. Aku terburu waktu. Aku memerlukan fokus.
"Nail,"
Aku menoleh. Sisi teman sederetku menegur.
"Ya Si?"
"Ini titipan Pak Ali. Beliau nggak ikut ke Bangka. Lo kudu nyampein semua ini ke kantor sana."
"Ampun! Gue sendiri? Apa enaknya ke Bangka sendiri?"
Sisi mengangkat bahu. tanda tak tahu.
"Sabar jeng..."
"Ya iyalah , mau gimana lagi Si."
Aku menerima bundelan file dan flashdisk dari Sisi.
"Makasih Si."
Sisi tersenyum dan mengacungkan jempolnya.
Kulanjutkan editan sana-sini sesuai dengan dokumen yang baru kuterima. Penyesuaian ini banyak sekali. Belum lagi ketika harus menyocokan dengan data di Bangka. Aku mulai menggerutu. Luntur semua semangat pagi dari azzam tadi pagi.
Drrt..drrtt...
1 Message Received
Ratu Pandria
Ow oke, Rara, semoga berita baik.
Morning Nona Nana...Love you, take care in Bangka ya!
Kubalas pesan singkat Rara
i will!! :-*
*
Tepat jam 12 aku sudah berada di terminal keberangkatan bandara Soekarno Hatta. Semoga hari ini aku mencapai targetku.
Lovely Bangka-1
"Waduh! Telat dah gue!"
Aku memaki diri sendiri saat melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Tergesa menuju kamar mandi untuk membasuh diri. Begini kelemahanku ketika tidak bersama Rara di rumah kontrakan. Untung saja barang-barangku sudah siap semalam. Bila tidak, bisa repot pagi hari ini.
Secepat kilat aku bersiap setelah selesai mandi. Tak berlama-lama di kamar mandi jika waktu sedang tidak bersahabat denganku. Segera kukenakan setelan krem yang sudah kusiapkan semalam. Berdandan sekenanya, emmm ralat, tidak juga sih. Tetap dengan foundation, bedak, eye shadow, eyeliner, maskara, blush on, dan diakhiri dengan sapuan lipstik. Hanya saja kali ini tidak terlalu detail. Minimal aku tak tampak pucat.
Handphoneku berbunyi. Ini bukan saat yang tepat untuk menjawab telpon. Kubaca nama penelpon, omay...My Azzam calling.
"Yes dear..."
"Nana..kok baru diangkat sih?"
"Baru selesai mandi..."
"Wah, bugil donk?"
"Duh...Zam, lagi buru-buru nih nggak bisa bercanda..."
"Hehehe..."
Dia tertawa terkekh diseberang.
"AKu di depan sayang..."
"Ha?"
Aku berteriak kaget berlari mendekati jendela kamar. Diluar Azzam melambaikan tangannya dari dalam mobilnya.
"Ya ampunn...kamu pas banget deh. Aku tadi telat bangun...dan harus buru-buru sampai kantor. Ada yang kudu disiapkan sebelum berangkat ke Bangka nanti jam 1."
Aku tersenyum sambil meracau dan meneruskan aktifitasku, kali ini memasukan semua barang ke tas kerjaku.
"Makanya aku disini honey. Bukain pintunya aku bantu angkat kopernya."
"Sip."
Tut.
Kugeret koper kecilku menuju pintu depan. Handphone masih kugenggam erat bersamaan dengan menjinjing tas kerja. Tak lupa blazer hitam juga memenuhi tangan ini. Masih tergesa aku mendekati pintu rumah.
Kubuka pintuu dan Azzam sudah berdiri di hadapanku.
"Pagi honey.."
Aku langsung memeluknya dan disambutnya dengan mencium kedua pipiku. Ini kejutan pagi yang selalu saja ada dari seorang Azzam. Diluar dugaanku. Meski aku tipikal cewek mandiri, Azzam masih memperlakukanku istimewa di moment-moment tertentu.
"Ini kopernya?"
"Iya. Yuk, buruan, sudah jam 8."
"Yakin cuma bawa ini?"
"Aduh Azzam, aku kan cuma satu malam disana."
"oke, oke..."
Azzam paham aku sudah ingin segera meninggalkan rumah menuju kantor.
"Kamu sama Dira?" tanyaku.
"Iya lah, tu anak mo sama sapa lagi kalo nggak berangkat ma abangnya?"
Dira adalah adik Azzam. Kebetulan kantor kami bertiga berdekatan. Dan di bialngan kawasan three in one. Jadi tak perlu menggunakan joki untuk tiba di kantor melewati pemeriksaan polisi.
*
Tak lama kami sudah melaju menuju kantor kami dibilangan pusat Jakarta. Rabu pagi bersahabat. Jalan tidak terlalu macet, dan kurang dari 45 menit aku sudah berada di loby gedung kantorku.
"Hati-hati ya honey ntar."
"You too babe..."
Aku turun dari mobil setelah mencium pipi Azzam.
" Dah Dira...."
"Iya mbak, jangan lupa oleh-oleh ya..."
Dira masuk ke dalam mobil menggantikan aku duduk disamping Azzam.
Mobil Azzam pun berlalu dari pandanganku. Pagi yang luar biasa. Sudah lama aku tak berangkat bersama Azzam seperti pagi ini. Ada yang lain dari matanya. Dia menatapku penuh cinta. aku bisa merasakannya itu. Terimakasih Tuhan, perasaan kami bertambah besar satu sama lain menjelang hari pernikahan kami.
*
Aku memaki diri sendiri saat melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Tergesa menuju kamar mandi untuk membasuh diri. Begini kelemahanku ketika tidak bersama Rara di rumah kontrakan. Untung saja barang-barangku sudah siap semalam. Bila tidak, bisa repot pagi hari ini.
Secepat kilat aku bersiap setelah selesai mandi. Tak berlama-lama di kamar mandi jika waktu sedang tidak bersahabat denganku. Segera kukenakan setelan krem yang sudah kusiapkan semalam. Berdandan sekenanya, emmm ralat, tidak juga sih. Tetap dengan foundation, bedak, eye shadow, eyeliner, maskara, blush on, dan diakhiri dengan sapuan lipstik. Hanya saja kali ini tidak terlalu detail. Minimal aku tak tampak pucat.
Handphoneku berbunyi. Ini bukan saat yang tepat untuk menjawab telpon. Kubaca nama penelpon, omay...My Azzam calling.
"Yes dear..."
"Nana..kok baru diangkat sih?"
"Baru selesai mandi..."
"Wah, bugil donk?"
"Duh...Zam, lagi buru-buru nih nggak bisa bercanda..."
"Hehehe..."
Dia tertawa terkekh diseberang.
"AKu di depan sayang..."
"Ha?"
Aku berteriak kaget berlari mendekati jendela kamar. Diluar Azzam melambaikan tangannya dari dalam mobilnya.
"Ya ampunn...kamu pas banget deh. Aku tadi telat bangun...dan harus buru-buru sampai kantor. Ada yang kudu disiapkan sebelum berangkat ke Bangka nanti jam 1."
Aku tersenyum sambil meracau dan meneruskan aktifitasku, kali ini memasukan semua barang ke tas kerjaku.
"Makanya aku disini honey. Bukain pintunya aku bantu angkat kopernya."
"Sip."
Tut.
Kugeret koper kecilku menuju pintu depan. Handphone masih kugenggam erat bersamaan dengan menjinjing tas kerja. Tak lupa blazer hitam juga memenuhi tangan ini. Masih tergesa aku mendekati pintu rumah.
Kubuka pintuu dan Azzam sudah berdiri di hadapanku.
"Pagi honey.."
Aku langsung memeluknya dan disambutnya dengan mencium kedua pipiku. Ini kejutan pagi yang selalu saja ada dari seorang Azzam. Diluar dugaanku. Meski aku tipikal cewek mandiri, Azzam masih memperlakukanku istimewa di moment-moment tertentu.
"Ini kopernya?"
"Iya. Yuk, buruan, sudah jam 8."
"Yakin cuma bawa ini?"
"Aduh Azzam, aku kan cuma satu malam disana."
"oke, oke..."
Azzam paham aku sudah ingin segera meninggalkan rumah menuju kantor.
"Kamu sama Dira?" tanyaku.
"Iya lah, tu anak mo sama sapa lagi kalo nggak berangkat ma abangnya?"
Dira adalah adik Azzam. Kebetulan kantor kami bertiga berdekatan. Dan di bialngan kawasan three in one. Jadi tak perlu menggunakan joki untuk tiba di kantor melewati pemeriksaan polisi.
*
Tak lama kami sudah melaju menuju kantor kami dibilangan pusat Jakarta. Rabu pagi bersahabat. Jalan tidak terlalu macet, dan kurang dari 45 menit aku sudah berada di loby gedung kantorku.
"Hati-hati ya honey ntar."
"You too babe..."
Aku turun dari mobil setelah mencium pipi Azzam.
" Dah Dira...."
"Iya mbak, jangan lupa oleh-oleh ya..."
Dira masuk ke dalam mobil menggantikan aku duduk disamping Azzam.
Mobil Azzam pun berlalu dari pandanganku. Pagi yang luar biasa. Sudah lama aku tak berangkat bersama Azzam seperti pagi ini. Ada yang lain dari matanya. Dia menatapku penuh cinta. aku bisa merasakannya itu. Terimakasih Tuhan, perasaan kami bertambah besar satu sama lain menjelang hari pernikahan kami.
*
Silent
Adzan Subuh berkumandang jelas membangunkanku dari lelapnya tidur. Alhamdulillah, aku masih berucap satu kata itu dikala membuka mata. Masih ada umurku hari ini. Kubergegas menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu.
Brrrrr...rasanya tak sudi berakrab-akrab dengan air di pagi hari kala berada di Jogja. Suhu pagi yang dingin menggigit membuatku merapatkan cardigan yang kupakai tidur dari semalam. Mendekapkan kedua tangan pada badanku sambil berlari kecil kembali ke kamar.
Setelah selesai dengan dua raka'atku. Aku akhirnya mengadu banyak padaNya. Sekali lagi dengan air mata. Aku tak berkata-kata. Hati ini yang berbicara denganNya. Aku menunduk. Semua peristiwa hidupku seakan muncul satu-persatu layaknya slide presentasi di hadapanku.
Tak henti rasanya ujian hidup mendera. Aku masih ingat persis perasaanku ketika tahu Ibu dikecewakan Bapak. Dan aku memiliki Mama sebagai ibu tiri. Tapi bagi Ibu, itu bukanlah suatu kesakitan perasaan. Beliau memandangnya sebagai ujian kenaikan tingkat menuju tingkatan hambaNya yang lebih tinggi.
Aku akhirnya hidup di segitiga antara dua ibu dan satu ayah. Aku mencoba memposisikan diriku seperti Ibu dalam kasusku. Dimas, ya, dia akn segera menikah. Dan aku harus menjalani proses ikhlas. Bantu aku untuk menemui arti sebenarnya ikhlas melalui pelajaran hidup ini Tuhan. Kehilangan Dimas sebagai seseorang yang selama ini menemani hari-hariku adalah hal yang berat. Tetapi sekaligus menyadarkanku bahwa Allah lah segalanya bagiku. Bukan cinta. Berita pernikahan Dimas, cukup tak berlama-lama membuat aku bersedih. Ya, aku meyakini Tuhan lebih dulu mengabulkan doanya, belum untuk doaku.
Apa doaku? Mmm... aku belum berdoa untuk segera menemukan pendamping hidup. Wajar saja, Dimas lebih dahulu menikah dengan pilihannya. Aku mengucap syukur, semua perjalanan hidup ini mendewasakanku. Kututup curahan hatiku padaNya dengan sujud syukur.
Aku menyalakan laptop, tulisan semalamku belum selesai. Segera kuketikkan penutup laraku untuk hari kemarin di fajar kali ini.
profile handphone gw masih di silent mode on
menemuinya untuk pertama kali setelah memasuki caturwulan pertama
menembus keramaian ibukota
bertemu dalam keheningan
ada satu yang tak cair disana
aku yang masih beku atau dia yang jadi kaku?
masih dengan profil silent
ada sekelebat cahaya yang terpantul dari arah jari tangan dia
masih dengan silent mode on
ada setumpuk pertanyaan di kepala
masih silent
sederetan kalimat yang dikeluarkan dan langsung kudengar cukup memecah kesunyian di hatiku
tetap dalam silent mode on
berusaha memahami keadaan ini
menerima ini
membesarkan hati sndiri
meyakinkan diri ini adalah yang terbaik
Allah mendengar doa dia
tapi belum merealisasikan doaku
bulan malam itu dikelilingi cincin
indah
seindah kondisi yang akan dia jalani esok dengan pilihannya
tapi gerimis ini
sama dengan hati
sedikit tapi cukup membasahi jiwa
aku bukan malaikat
beri aku ruang sejenak
Allah yang tau akan seperti apa aku besok, dan nanti
dengan dunia aku
tanpa nya
silent mode on
Catatan tengah bulan-Ratu Pandria
Kumatikan laptopku dan kembali memejamkan mata. Berharap mimpi indah hingga aku tak bangun dari tidurku.
Brrrrr...rasanya tak sudi berakrab-akrab dengan air di pagi hari kala berada di Jogja. Suhu pagi yang dingin menggigit membuatku merapatkan cardigan yang kupakai tidur dari semalam. Mendekapkan kedua tangan pada badanku sambil berlari kecil kembali ke kamar.
Setelah selesai dengan dua raka'atku. Aku akhirnya mengadu banyak padaNya. Sekali lagi dengan air mata. Aku tak berkata-kata. Hati ini yang berbicara denganNya. Aku menunduk. Semua peristiwa hidupku seakan muncul satu-persatu layaknya slide presentasi di hadapanku.
Tak henti rasanya ujian hidup mendera. Aku masih ingat persis perasaanku ketika tahu Ibu dikecewakan Bapak. Dan aku memiliki Mama sebagai ibu tiri. Tapi bagi Ibu, itu bukanlah suatu kesakitan perasaan. Beliau memandangnya sebagai ujian kenaikan tingkat menuju tingkatan hambaNya yang lebih tinggi.
Aku akhirnya hidup di segitiga antara dua ibu dan satu ayah. Aku mencoba memposisikan diriku seperti Ibu dalam kasusku. Dimas, ya, dia akn segera menikah. Dan aku harus menjalani proses ikhlas. Bantu aku untuk menemui arti sebenarnya ikhlas melalui pelajaran hidup ini Tuhan. Kehilangan Dimas sebagai seseorang yang selama ini menemani hari-hariku adalah hal yang berat. Tetapi sekaligus menyadarkanku bahwa Allah lah segalanya bagiku. Bukan cinta. Berita pernikahan Dimas, cukup tak berlama-lama membuat aku bersedih. Ya, aku meyakini Tuhan lebih dulu mengabulkan doanya, belum untuk doaku.
Apa doaku? Mmm... aku belum berdoa untuk segera menemukan pendamping hidup. Wajar saja, Dimas lebih dahulu menikah dengan pilihannya. Aku mengucap syukur, semua perjalanan hidup ini mendewasakanku. Kututup curahan hatiku padaNya dengan sujud syukur.
Aku menyalakan laptop, tulisan semalamku belum selesai. Segera kuketikkan penutup laraku untuk hari kemarin di fajar kali ini.
profile handphone gw masih di silent mode on
menemuinya untuk pertama kali setelah memasuki caturwulan pertama
menembus keramaian ibukota
bertemu dalam keheningan
ada satu yang tak cair disana
aku yang masih beku atau dia yang jadi kaku?
masih dengan profil silent
ada sekelebat cahaya yang terpantul dari arah jari tangan dia
masih dengan silent mode on
ada setumpuk pertanyaan di kepala
masih silent
sederetan kalimat yang dikeluarkan dan langsung kudengar cukup memecah kesunyian di hatiku
tetap dalam silent mode on
berusaha memahami keadaan ini
menerima ini
membesarkan hati sndiri
meyakinkan diri ini adalah yang terbaik
Allah mendengar doa dia
tapi belum merealisasikan doaku
bulan malam itu dikelilingi cincin
indah
seindah kondisi yang akan dia jalani esok dengan pilihannya
tapi gerimis ini
sama dengan hati
sedikit tapi cukup membasahi jiwa
aku bukan malaikat
beri aku ruang sejenak
Allah yang tau akan seperti apa aku besok, dan nanti
dengan dunia aku
tanpa nya
silent mode on
Catatan tengah bulan-Ratu Pandria
Kumatikan laptopku dan kembali memejamkan mata. Berharap mimpi indah hingga aku tak bangun dari tidurku.
Diary: Riweuh!
Setelah off 3 hari, hari ni gue sedikit balas dendam, nulis.
Mumpung nggak ngantor karena sakit. dan bosen di kasur, akhirnya ngadep laptop dan ngetik.
9,275 words so far...
Segitiga semakin rumit...
Dan menampakkan satu demi satu segitiga yang kumaksud.
Ratu Pandria masih berada di Jogja!
ayo.... nulis lagih...:)
Enjoy ya guys...
Mumpung nggak ngantor karena sakit. dan bosen di kasur, akhirnya ngadep laptop dan ngetik.
9,275 words so far...
Segitiga semakin rumit...
Dan menampakkan satu demi satu segitiga yang kumaksud.
Ratu Pandria masih berada di Jogja!
ayo.... nulis lagih...:)
Enjoy ya guys...
Wednesday, 18 November 2009
Raja Hutan dan Ratu Nirmala
Satu pesan di inbox FaceBook-ku.
Ratu Pandria November, 16 2009 at 5:26 pm
Hey Ja...!
Apa kabar lo? Masih inget gue kan? Ratu!
Sekarang lo dimana? Kayanya abroad ya?
Reply my message ya.. nice to meet u on facebook!
Regards, Ratu.
Send!
Sukma Eja Perdana November, 17 2009 at 10:03 pm
Hey my Queen...:)
Im totally missing you!
Nggak percaya bisa ketemu di FB gini.
Ya, gue lagi ngambil master nih. Gue di Jerman, Ra.
Doain cepet kelar biar bisa cepet balik Indo and nemuin lo my Queen...
Eja
Pesan singkat yang sarat makna. Disatu sisi aku terlonjak-lonjak senang, sekejap melupakan undangan Dimas. Sangat excited dengan pesannya Eja. Terakhir dia meninggalkan Jogja ke Kalimantan mengikuti Ayahnya yang bekerja disana. Dan itu belasan tahun yang lalu. Saat kami masih duduk di bangku sekolah dasar.
Kangen, ya aku lama sekali nggak kontak dengannya. Kontak terakhirku dengannya adalah mengabarkan kelulusan meninggalkan seragam abu-abu putih. Setelah aku pindah ke Jakarta hidup dengan Mama dan Bapak, Aku tak lagi mengontaknya. Bahkan Eja belum tahu ceritaku dengan ibu tiriku.
Aku harus dapetin akun messengernya. mmm, darimana ya, oke, coba kita lihat di laman profil FBnya.
Ding!
Eja wants you to add him on your list.
Ha, ini dia panjang umur sekali...! Permintaan untuk memasukkannya ke list YM-ku. Oke, segera kuapprove.
Ding!
Ratu_Q: Eja!!!
S.ep: Ratu... :)
Ratu_Q: Yampunnnn gila yaaa lama banget kita nggak tuker2 cerita...!!!
S.ep: Iya bener banget. kabar lo gimana Ra?
Ratu_Q: Baik...:)
Ratu_Q: mmmm, not to good exactly...:(
S.ep: Why?
Ratu_Q: Males ngebahasnya, ntr aja kapan2 gue crt.
Ratu-Q: Lo lagi ngapain?
S.ep: Sory Ra, gue kudu off. ni tadi lagi break siang. Gue ada kelas lagi.
Ratu_Q: :O Ini kan uda malam Eja!!
S.ep: Ratukuu.. kita kan selisih 6-7 jam sendiri...:( Gue masih siang disini...
Ratu_Q: ahhhahaha maaapp... gue lupa...
Ratu_Q: Oke, teker..besok2 chat lagi
S.ep: Sip. u too.. cu
S.ep sign out.
Aku masih memandangi foto kami berdua di layar laptopku. Raja Hutan dan Ratu Nirmala.
Ratu Pandria November, 16 2009 at 5:26 pm
Hey Ja...!
Apa kabar lo? Masih inget gue kan? Ratu!
Sekarang lo dimana? Kayanya abroad ya?
Reply my message ya.. nice to meet u on facebook!
Regards, Ratu.
Send!
Sukma Eja Perdana November, 17 2009 at 10:03 pm
Hey my Queen...:)
Im totally missing you!
Nggak percaya bisa ketemu di FB gini.
Ya, gue lagi ngambil master nih. Gue di Jerman, Ra.
Doain cepet kelar biar bisa cepet balik Indo and nemuin lo my Queen...
Eja
Pesan singkat yang sarat makna. Disatu sisi aku terlonjak-lonjak senang, sekejap melupakan undangan Dimas. Sangat excited dengan pesannya Eja. Terakhir dia meninggalkan Jogja ke Kalimantan mengikuti Ayahnya yang bekerja disana. Dan itu belasan tahun yang lalu. Saat kami masih duduk di bangku sekolah dasar.
Kangen, ya aku lama sekali nggak kontak dengannya. Kontak terakhirku dengannya adalah mengabarkan kelulusan meninggalkan seragam abu-abu putih. Setelah aku pindah ke Jakarta hidup dengan Mama dan Bapak, Aku tak lagi mengontaknya. Bahkan Eja belum tahu ceritaku dengan ibu tiriku.
Aku harus dapetin akun messengernya. mmm, darimana ya, oke, coba kita lihat di laman profil FBnya.
Ding!
Eja wants you to add him on your list.
Ha, ini dia panjang umur sekali...! Permintaan untuk memasukkannya ke list YM-ku. Oke, segera kuapprove.
Ding!
Ratu_Q: Eja!!!
S.ep: Ratu... :)
Ratu_Q: Yampunnnn gila yaaa lama banget kita nggak tuker2 cerita...!!!
S.ep: Iya bener banget. kabar lo gimana Ra?
Ratu_Q: Baik...:)
Ratu_Q: mmmm, not to good exactly...:(
S.ep: Why?
Ratu_Q: Males ngebahasnya, ntr aja kapan2 gue crt.
Ratu-Q: Lo lagi ngapain?
S.ep: Sory Ra, gue kudu off. ni tadi lagi break siang. Gue ada kelas lagi.
Ratu_Q: :O Ini kan uda malam Eja!!
S.ep: Ratukuu.. kita kan selisih 6-7 jam sendiri...:( Gue masih siang disini...
Ratu_Q: ahhhahaha maaapp... gue lupa...
Ratu_Q: Oke, teker..besok2 chat lagi
S.ep: Sip. u too.. cu
S.ep sign out.
Aku masih memandangi foto kami berdua di layar laptopku. Raja Hutan dan Ratu Nirmala.
He makes me Laugh
"Hallo Nana...!"
"Hey, Ra."
"Ada apa menelpon?"
"Mengkhawatirkan lo!"
"Mmm, tumben!"
"Hahahahah"
"Lebay lo ah...Uda balik?"
"Iye, justru karena gue ude di kontrakan makanya gue nelpon elo."
"Kesepian lo kan?hihihi"
"Sial, tau aja lo."
"Asal gak ketakutan aja..."
"Ra, gue jitak ya lo kalo make acara ngomongin dunia lain!"
"Hahahah, awas, pojok kamar...hihihi"
"Hah..nyesel gue nelpon elo!"
"oke oke...ganti topik."
"Gue lagi siap-siap nih.. besok berangkat ke Bangka."
"Lagi? Untung gue pulang ke Jogja."
"Itu die"
"Kalo enggak gue termehek-mehek sendirian ditinggal ke Bangka. Mana lagi so in blue gini"
"Iya, kemarin gue ude nyaris minta digantiin buat berangkat."
"Eh ternyata lo pulang ke Jogja."
Aku berjalan menuju kulkas dengan handphone masih menempel pada telingaku.
"Iya, gue ude feeling kayanya gue bakal ditinggal, mending gue pulang ke Ibu"
"Hahhaahhaha"
Aku tertawa lepas nyaris tak terkendali.
"Apaan sih Na, lo ngagetin gue!"
"Ini post it lo di kulkas enggak banget! 'Na, maap ya susu and coklatnya gue abisin, pagi-pagi laper banget. Secara semalam gue nggak inget laper sama sekali. Thx u.'. Pesen yang sangat-sangat manusiawi buat orang yang lagi patah hati."
"sial lo ah."
"Trus lo besok apa rencananya?"
"Oya gue kan jadi pemotretan geto..."
"Gaya banget lo ah, jadi model?!"
"Iya.."
Tuut...
"Eh, Na, ada telpon masuk, dari Putra. tunggu ya, hold on in a few minute!"
Tut.
"Hallo put!"
"Hey mbak Ratu.."
"Ada apa?"
"Aku cuma mo mastiin untuk lusa."
"Iya.."
"Mbak punya dress putih kan? Dibawa ya, biar dapet chic-nya gitu"
"Ah dasar lo put. Kirian apaan..."
Putra tertawa.
"Oke deh, besok pastiin lagi ya jam nya. Sekalian ingetin gue geto..."
"Oke mbak Ratu..."
"Bubye.."
Tut.
"Halo Na! Masih ada gak lo?"
"Masih cyin...lumayan dapet packing satu tas nunggu lo nelpon."
"Ih nggak selama itu kali."
"Lagi ngapain lo Ra?"
"Nggak sih, tadi gue lagi inget waktu SMA. termasuk awal mula gue ketemu Mama."
"Mmmm...."
"Dea apa kabar ya?"
"Gue rasa baik-baik lah dia."
"Kangen.."
"Melo amat!"
"Kangen ma mie goreng lo sebelum tidur.hahahahah"
"Yasud ya Ratuku, gue mo tidur. Besok sebelum ke Bangka gue mampir kantor dulu."
"Oke, Oleh-oleh ya..empek-empek!"
"Lo pulang kapan?"
"Mmm, Minggu insya Allah"
"Oke Good night Ratuku"
"Night nona Nana..."
Tut.
Thok..thok..thok..
Pintu kamarku digedor dari luar.
"Nduk.."
Ibu menyapaku dari blaik pintu.
"Iya Bu."
"Ngomong sama sapa?"
Ibu berjalan masuk ke dalam kamar mendekatiku yang duduk di atas kasur.
"Itu, tadi Nana nelpon, Bu"
"Apa kabar Nana? Kangen juga Ibu sama dia."
"Baik, besok dia mau ke Bangka. Biasa Bu, orang sibuk!"
"Kamu bisa saja. Kamu sendiri emangnya nggak sibuk? Ngalah-ngalahi presiden biasane."
"Wah Ibu, itu kalo lagi banyak deadline emang gitu."
"Nana masih sama Azzam?"
"Ya masih tho yo Bu. Kan bentar lagi nikah. Lagi ngurus undangannya tuh kemarin."
"Yo wis, cepet bubuk. Wis mbengi."
"Iya, bentar mau ngecek email dulu."
Ibu beranjak meninggalkanku.
Kunyalakan laptopku. Meski tak membawa baju sama sekali, tapi barang yang satu ini tak pernah ketinggalan. Aku harus menulis, biasanya kita sangat produktif dikala sakit maupun patah hati.
Kubuka laman blogku. Dan mulai mengetik. Air mata sudah habis. Aku masih saja memikirkan berita bahagia Dimas bila sendiri. Aku menunagkan semuanya ke dalam tulisan. Ketika tidak meneruskan untuk melanjutkan mimpi membangun bahtera rumah tangga denganny asaja aku nyaris tak percaya, etrnyata aku mampu melaluinya 4 bulan terakhir.
Dan kali ini, berita yang belum siap aku terima sudah jelas didepanku. Kulirik undangannya diatas meja kacaku. Bahkan aku belum membacanya. Jariku terus mengetikkan kalimat-kalimat panjang.
Memasuki paragraf ke tiga, pikiranku terpecah oleh notifikasi dari Facebook yang muncul di kanan bawah layar laptopku.
Sukma Eja Perdana tagged a photo of you.
about 2 seconds ago
Sukma Eja Perdana commented on a photo of you.
about 3 seconds ago
Wah, foto apa yang ditag? Komentar apa si Eja? Segera kuklik notifikasi tersebut.
Dan foto karnaval yang tempo hari kutunjukkan pada Nana muncul jelas dihadapanku. Eja menggunakan kostum Tarzan semntara aku menggunakan kostum Putri Nirmala dan tongkat ajaibnya. Kami berdua terlihat lucu sekali. Aku tersenyum geli, teringat komentar Nana mengatakan gue menggemaskan di foto ini.
Aku tertawa. Tawa paling lepas sejak menangis semalam. Eja makes me laugh.
"Hey, Ra."
"Ada apa menelpon?"
"Mengkhawatirkan lo!"
"Mmm, tumben!"
"Hahahahah"
"Lebay lo ah...Uda balik?"
"Iye, justru karena gue ude di kontrakan makanya gue nelpon elo."
"Kesepian lo kan?hihihi"
"Sial, tau aja lo."
"Asal gak ketakutan aja..."
"Ra, gue jitak ya lo kalo make acara ngomongin dunia lain!"
"Hahahah, awas, pojok kamar...hihihi"
"Hah..nyesel gue nelpon elo!"
"oke oke...ganti topik."
"Gue lagi siap-siap nih.. besok berangkat ke Bangka."
"Lagi? Untung gue pulang ke Jogja."
"Itu die"
"Kalo enggak gue termehek-mehek sendirian ditinggal ke Bangka. Mana lagi so in blue gini"
"Iya, kemarin gue ude nyaris minta digantiin buat berangkat."
"Eh ternyata lo pulang ke Jogja."
Aku berjalan menuju kulkas dengan handphone masih menempel pada telingaku.
"Iya, gue ude feeling kayanya gue bakal ditinggal, mending gue pulang ke Ibu"
"Hahhaahhaha"
Aku tertawa lepas nyaris tak terkendali.
"Apaan sih Na, lo ngagetin gue!"
"Ini post it lo di kulkas enggak banget! 'Na, maap ya susu and coklatnya gue abisin, pagi-pagi laper banget. Secara semalam gue nggak inget laper sama sekali. Thx u.'. Pesen yang sangat-sangat manusiawi buat orang yang lagi patah hati."
"sial lo ah."
"Trus lo besok apa rencananya?"
"Oya gue kan jadi pemotretan geto..."
"Gaya banget lo ah, jadi model?!"
"Iya.."
Tuut...
"Eh, Na, ada telpon masuk, dari Putra. tunggu ya, hold on in a few minute!"
Tut.
"Hallo put!"
"Hey mbak Ratu.."
"Ada apa?"
"Aku cuma mo mastiin untuk lusa."
"Iya.."
"Mbak punya dress putih kan? Dibawa ya, biar dapet chic-nya gitu"
"Ah dasar lo put. Kirian apaan..."
Putra tertawa.
"Oke deh, besok pastiin lagi ya jam nya. Sekalian ingetin gue geto..."
"Oke mbak Ratu..."
"Bubye.."
Tut.
"Halo Na! Masih ada gak lo?"
"Masih cyin...lumayan dapet packing satu tas nunggu lo nelpon."
"Ih nggak selama itu kali."
"Lagi ngapain lo Ra?"
"Nggak sih, tadi gue lagi inget waktu SMA. termasuk awal mula gue ketemu Mama."
"Mmmm...."
"Dea apa kabar ya?"
"Gue rasa baik-baik lah dia."
"Kangen.."
"Melo amat!"
"Kangen ma mie goreng lo sebelum tidur.hahahahah"
"Yasud ya Ratuku, gue mo tidur. Besok sebelum ke Bangka gue mampir kantor dulu."
"Oke, Oleh-oleh ya..empek-empek!"
"Lo pulang kapan?"
"Mmm, Minggu insya Allah"
"Oke Good night Ratuku"
"Night nona Nana..."
Tut.
Thok..thok..thok..
Pintu kamarku digedor dari luar.
"Nduk.."
Ibu menyapaku dari blaik pintu.
"Iya Bu."
"Ngomong sama sapa?"
Ibu berjalan masuk ke dalam kamar mendekatiku yang duduk di atas kasur.
"Itu, tadi Nana nelpon, Bu"
"Apa kabar Nana? Kangen juga Ibu sama dia."
"Baik, besok dia mau ke Bangka. Biasa Bu, orang sibuk!"
"Kamu bisa saja. Kamu sendiri emangnya nggak sibuk? Ngalah-ngalahi presiden biasane."
"Wah Ibu, itu kalo lagi banyak deadline emang gitu."
"Nana masih sama Azzam?"
"Ya masih tho yo Bu. Kan bentar lagi nikah. Lagi ngurus undangannya tuh kemarin."
"Yo wis, cepet bubuk. Wis mbengi."
"Iya, bentar mau ngecek email dulu."
Ibu beranjak meninggalkanku.
Kunyalakan laptopku. Meski tak membawa baju sama sekali, tapi barang yang satu ini tak pernah ketinggalan. Aku harus menulis, biasanya kita sangat produktif dikala sakit maupun patah hati.
Kubuka laman blogku. Dan mulai mengetik. Air mata sudah habis. Aku masih saja memikirkan berita bahagia Dimas bila sendiri. Aku menunagkan semuanya ke dalam tulisan. Ketika tidak meneruskan untuk melanjutkan mimpi membangun bahtera rumah tangga denganny asaja aku nyaris tak percaya, etrnyata aku mampu melaluinya 4 bulan terakhir.
Dan kali ini, berita yang belum siap aku terima sudah jelas didepanku. Kulirik undangannya diatas meja kacaku. Bahkan aku belum membacanya. Jariku terus mengetikkan kalimat-kalimat panjang.
Memasuki paragraf ke tiga, pikiranku terpecah oleh notifikasi dari Facebook yang muncul di kanan bawah layar laptopku.
Sukma Eja Perdana tagged a photo of you.
about 2 seconds ago
Sukma Eja Perdana commented on a photo of you.
about 3 seconds ago
Wah, foto apa yang ditag? Komentar apa si Eja? Segera kuklik notifikasi tersebut.
Dan foto karnaval yang tempo hari kutunjukkan pada Nana muncul jelas dihadapanku. Eja menggunakan kostum Tarzan semntara aku menggunakan kostum Putri Nirmala dan tongkat ajaibnya. Kami berdua terlihat lucu sekali. Aku tersenyum geli, teringat komentar Nana mengatakan gue menggemaskan di foto ini.
Aku tertawa. Tawa paling lepas sejak menangis semalam. Eja makes me laugh.
Dia Mamamu, Nduk
Aku termenung, menatap langit yang dihiasi bintang. Pemandangan yang langka yang tak pernah kudapati bila berada di Jakarta. Aku bermain-main dengan kata hatiku, pikiranku sambil memain-mainkan rambutku.
Baru saja malam Minggu kemarin aku menemui Iwan teman lama Nana yang direkomendasikannya padaku. Masih ingat bagaimana Iwan bersikap sangat baik dihadapan Mama. Aku sengaja memintanya untuk menjemputku di rumah Mama daripada di kontrakan. Salah satu alasannya aku ingin melihat sikapnya sebagai laki-laki. Ternyata, dia memperlakukan aku selayaknya perempuan bahkan seperti putri raja. Perlakuannya mengingatkanku pada Dimas. Ya, hanya seorang Dimas yang selalu memperlakukan aku layaknya perempuan selama kami menjalin hubungan.
Waktu memang rahasia Ilahi. Saat baru memulai minggu dengan aktivitas padat di hari Senin, aku justru mendapatkan bonus berita bahagia dari Dimas. Ya, di malam berikutnya, Dimas tak lagi memperlakukanku layaknya perempuan yang pernah menjalin hubungan dengannya. Dia memberiku undangan dan kabar bahagia itu seolah-olah aku wonder woman. Yang sangat kuat secara fisik dan perasaan untuk menerima kabar bahagia secepat itu. Aku belum bisa merespon berita ini sebahagia mereka yang membagikannya. Ya mereka, Dimas dan calon pengantinnya. Bahkan undangan itu belum aku buka sama sekali, aku letakkan begitu saja di kamarku di Jakarta. Begitu juga undangan yang tiba dirumah Ibu di Jogja.
Malam ini aku berada di Jogja untuk alasan lain. Bercerita pada Ibu. Bahkan Mama belum kuberitahu tentang kepulanganku ke Jogja yang sangat mendadak ini.
Kuambil handphoneku dan mencoba menghubungi Mama.
Tuuutt... tuuut....
"Halo nak..."
Suara Mama terdengar tenang diseberang sana.
"Iya Mam. Lagi ngapain?"
"Nonton tivi aja. Ada apa? Kamu mau pulang kerumah?"
"Emm, enggak mam. AKu mau ngasi tau aku lagi dirumah Ibu."
"Lho, kapan berangkat ke Jogja?"
"Tadi pagi."
"Mendadak sekali, ada apa? Ibu sakit?"
"Enggak Mam. Ibu sehat kok."
"Terus? Kenapa kamu kok ndadak banget nak ke Jogja?"
"Nggak papa Mam. Cuma kangen ma Ibu."
"Ada apa to Nak?"
Mama terdengar khawatir, meski bukan ibu kandungku beliau sangat memperhatikan aku.
"Aku sedang pengen pulang aja Mam."
"Ya sudah, kalau kamu sudah siap cerita alasannya, telpon Mama ya."
Mama selalu pengertian, untuk tidak memaksaku.
"Iya Mam."
"Hati-hati disana, salam untuk Ibu."
"Iya. Mama juga. Da Mama..."
Tut.
Semua teman aku nyaris tak percaya aku bisa menerima dan rukun dengan keberadaan ibu tiri yang kupanggil Mama.
::
Dia Mamamu, Nduk
"Ibu guru bilang Ratu punya Bapak!"
"Jangan berteriak Ratu..."
Ibu bertutur halus menghadapiku yang sudah berkeringat dengan muka memerah karena amarah yang tak terkendali.
"Ibu! Ibu jangan bohong sama aku!"
"Ra...duduk dulu. Ibu akan bercerita."
Ibu menggiringku ke meja makan. Baju seragam putih abu-abuku masih melekat lengkap di badanku. Aku basah kuyup, tapi ibu mendekapku erat. Hujan deras diluar kuterobos demi mendapat jawaban sesegera mungkin dari Ibu tentang apa yang kudengar dari seorang guru siang ini.
*
"Ratu Pandria itu punya bapak tho, tinggal di Jakarta. Yang jadi donatur paling besar di sekolah ini."
"Lah iyo, hanya saja kita tidak boleh membocorkannya Bu. Itu pesan ayahnya Ratu."
"Iyo, Pak. Saya paham. "
Braakkk!
Seketika setumpuk buku latihan yang tengah kupegang terlepas dari peganganku. Jatuh berhamburan didepanku. Tepat di depan pintu ruang Kepala Sekolah.
Aku mendengar semuanya jelas. Dengan telingaku sendiri. Kutinggalkan ruangan tersebut berlari sekencang mungkin. Aku tak peduli pada hujan yang tengah mengguyur bumi ini.
Yang aku tahu hanya sampai dirumah dan bertanya pada Ibu tentang apa yang kudengar.
*
"Oo, i tu yang membuat kamu bertanya dengan keras pada Ibu tadi?"
Aku mengangguk. Kali ini aku sudah mereda. Sama seperti hujan yang telah berubah menjadi gerimis.
"Semua orang terlahir di dunia ini jelas punya Bapak dan punya Ibu. Ibu minta maaf, karena belum saatnya ibu bercerita apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga kita."
Aku menyeka air mata yang masih meleleh di pipiku sambil menyimak ibu. Aku masih menunduk, tak berani menatap Ibu.
"Kamu sudah gede nduk, sudah duduk di bangku menengah. Sebentar lagi kamu akan kuliah. Ibu menilai kamu sudah mengerti dan siap dengan apa yang akan Ibu ceritakan padamu."
*
"Aku bertanggung jawab Lik. Percaya tho."
"Nikahi aku Mas...", aku berkata lirih disela tangisku.
"Iyo. Besok aku akan mengurusnya dengan Pakde."
"Ibu Bapakmu nggak merestui kita, aku kudu piye?" Aku masih melirih sambil mengelus perut bagian bawahku yang semakin membesar.
"Lilik, dengerin aku tho. Kowe kudu percoyo karo aku. Aku nggak akan menyia-nyiakan kamu dan anak kita!"
Mas Rahmat menatapku tegas. Apa yang dikatakannya jelas sekali dan tak tampak keragu-raguan sedikitpun.
*
"Lalu?"
Aku bertanya pada Ibu yang memandangi langit luar melalui jendela.
"Akhirnya ibu menikah dengan Bapak. Kakek Nenekmu sudah tidak ada Ra. Jadi Ibu dinikahkan oleh Pakde, Kakaknya Kakekmu."
Aku terdiam
"Kami melakukan kesalahan besar. Tapi Bapakmu bertanggungjawab menikahi Ibu. Dan kita hidup mandiri tanpa direstui oleh Kakek Nenekmu dari Bapak. Untung Bapak sudah bekerja. Meski penghasilan pas-pasan bapak bisa membiayai hidup kita bertiga. Samapi kamu berusia dua tahun Ra."
"Lalu?"
"Hingga satu saat, takdir memisahkan kita."
*
Ini sudah genap hari ke30 setiap malam, aku menunggu di depan teras rumah. Mas Rahmat tak jua datang. Aku gelisah menggendong si mungil yang kami namai Ratu Pandria ini. Kekhawatiranku semakin memuncak.
Mas rahmat berjanji hanya keluar kota selama 5 hari. Tapi hingga malam ini, dirinya tak lagi menemaniku merajut mimpi hingga tiba pagi.
"Bulek..."
Suara Totok anak tetangga terdengar jelas.
"Iyo, Le..."
"Bulek, ini tadi siang ada orang menitipkan surat buat Bulek."
"O, maturnuwun yo Le."
Kubaca amplop putih Untuk Lilik Pandria. Segera kubuka dan kubaca.
Lilik,
Maafkan aku. Aku dipaksa untuk menikah dengan seorang gadis bernama Tri.
Aku dijemput oleh orang suruhan Ibu saat berada di Jakarta untuk keperluan dinas tempo hari.
Tri sangat mengerti cerita kita. Maafkan aku harus membuat kamu hidup sendiri. Aku akan selalu menafkahimu dan Ratu. Rawat dia hingga sekolah menengah. Aku ingin dia sekolah di perguruan tinggi di Jakarta nantinya.
Salam, Mas Rahmat.
Aku lemas. Kulipat lembaran kertas ini. Hubungan segitiga, Apa namanya ini? Aku diselingkuhikah? Bukan. Dia menikah lagi, Iya. Apa namanya ini? Aku menjerit dalam hati.
Aku menangis, segera menangis dalam sujudku. Menuju sepertiga malam terakhir kupanjatkan doaku. Kupinta Tuhan mendengarku, menguatkanku.
Kupandangi wajah mungil Ratu. Aku berdoa, dia akan menjadi orang besar kelak. Dan diperlakukan baik oleh lelaki.
*
"Jadi Ratu, Bapak adalah seorang Bapak yang baik. Menghidupimu dengan harta. Meski kamu haus kasih sayangnya. Saatnya sudah tiba, kamu akan segera ke Jakarta. Hidup bersama mereka. Secepatnya setelah pengumuman kelulusan."
Ibu bertutur halus.
Aku menangis. Terbayang olehku kehidupan mengerikan bersama Ibu tiri dan Bapak yang aku tak pernah ingat wajahnya. Bahkan tak tahu! Aku akan disiksa, wanita itu pasti hanya mencintai Bapakku. Tidak aku!
Ibu berjalan ke kamar dan kembali dengan selembar foto di tangannya.
Tangannya memelukku dan menunjukkan gambar di foto itu seraya berkata pelan,
"Ra, ini Mamamu nduk."
::
Baru saja malam Minggu kemarin aku menemui Iwan teman lama Nana yang direkomendasikannya padaku. Masih ingat bagaimana Iwan bersikap sangat baik dihadapan Mama. Aku sengaja memintanya untuk menjemputku di rumah Mama daripada di kontrakan. Salah satu alasannya aku ingin melihat sikapnya sebagai laki-laki. Ternyata, dia memperlakukan aku selayaknya perempuan bahkan seperti putri raja. Perlakuannya mengingatkanku pada Dimas. Ya, hanya seorang Dimas yang selalu memperlakukan aku layaknya perempuan selama kami menjalin hubungan.
Waktu memang rahasia Ilahi. Saat baru memulai minggu dengan aktivitas padat di hari Senin, aku justru mendapatkan bonus berita bahagia dari Dimas. Ya, di malam berikutnya, Dimas tak lagi memperlakukanku layaknya perempuan yang pernah menjalin hubungan dengannya. Dia memberiku undangan dan kabar bahagia itu seolah-olah aku wonder woman. Yang sangat kuat secara fisik dan perasaan untuk menerima kabar bahagia secepat itu. Aku belum bisa merespon berita ini sebahagia mereka yang membagikannya. Ya mereka, Dimas dan calon pengantinnya. Bahkan undangan itu belum aku buka sama sekali, aku letakkan begitu saja di kamarku di Jakarta. Begitu juga undangan yang tiba dirumah Ibu di Jogja.
Malam ini aku berada di Jogja untuk alasan lain. Bercerita pada Ibu. Bahkan Mama belum kuberitahu tentang kepulanganku ke Jogja yang sangat mendadak ini.
Kuambil handphoneku dan mencoba menghubungi Mama.
Tuuutt... tuuut....
"Halo nak..."
Suara Mama terdengar tenang diseberang sana.
"Iya Mam. Lagi ngapain?"
"Nonton tivi aja. Ada apa? Kamu mau pulang kerumah?"
"Emm, enggak mam. AKu mau ngasi tau aku lagi dirumah Ibu."
"Lho, kapan berangkat ke Jogja?"
"Tadi pagi."
"Mendadak sekali, ada apa? Ibu sakit?"
"Enggak Mam. Ibu sehat kok."
"Terus? Kenapa kamu kok ndadak banget nak ke Jogja?"
"Nggak papa Mam. Cuma kangen ma Ibu."
"Ada apa to Nak?"
Mama terdengar khawatir, meski bukan ibu kandungku beliau sangat memperhatikan aku.
"Aku sedang pengen pulang aja Mam."
"Ya sudah, kalau kamu sudah siap cerita alasannya, telpon Mama ya."
Mama selalu pengertian, untuk tidak memaksaku.
"Iya Mam."
"Hati-hati disana, salam untuk Ibu."
"Iya. Mama juga. Da Mama..."
Tut.
Semua teman aku nyaris tak percaya aku bisa menerima dan rukun dengan keberadaan ibu tiri yang kupanggil Mama.
::
Dia Mamamu, Nduk
"Ibu guru bilang Ratu punya Bapak!"
"Jangan berteriak Ratu..."
Ibu bertutur halus menghadapiku yang sudah berkeringat dengan muka memerah karena amarah yang tak terkendali.
"Ibu! Ibu jangan bohong sama aku!"
"Ra...duduk dulu. Ibu akan bercerita."
Ibu menggiringku ke meja makan. Baju seragam putih abu-abuku masih melekat lengkap di badanku. Aku basah kuyup, tapi ibu mendekapku erat. Hujan deras diluar kuterobos demi mendapat jawaban sesegera mungkin dari Ibu tentang apa yang kudengar dari seorang guru siang ini.
*
"Ratu Pandria itu punya bapak tho, tinggal di Jakarta. Yang jadi donatur paling besar di sekolah ini."
"Lah iyo, hanya saja kita tidak boleh membocorkannya Bu. Itu pesan ayahnya Ratu."
"Iyo, Pak. Saya paham. "
Braakkk!
Seketika setumpuk buku latihan yang tengah kupegang terlepas dari peganganku. Jatuh berhamburan didepanku. Tepat di depan pintu ruang Kepala Sekolah.
Aku mendengar semuanya jelas. Dengan telingaku sendiri. Kutinggalkan ruangan tersebut berlari sekencang mungkin. Aku tak peduli pada hujan yang tengah mengguyur bumi ini.
Yang aku tahu hanya sampai dirumah dan bertanya pada Ibu tentang apa yang kudengar.
*
"Oo, i tu yang membuat kamu bertanya dengan keras pada Ibu tadi?"
Aku mengangguk. Kali ini aku sudah mereda. Sama seperti hujan yang telah berubah menjadi gerimis.
"Semua orang terlahir di dunia ini jelas punya Bapak dan punya Ibu. Ibu minta maaf, karena belum saatnya ibu bercerita apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga kita."
Aku menyeka air mata yang masih meleleh di pipiku sambil menyimak ibu. Aku masih menunduk, tak berani menatap Ibu.
"Kamu sudah gede nduk, sudah duduk di bangku menengah. Sebentar lagi kamu akan kuliah. Ibu menilai kamu sudah mengerti dan siap dengan apa yang akan Ibu ceritakan padamu."
*
"Aku bertanggung jawab Lik. Percaya tho."
"Nikahi aku Mas...", aku berkata lirih disela tangisku.
"Iyo. Besok aku akan mengurusnya dengan Pakde."
"Ibu Bapakmu nggak merestui kita, aku kudu piye?" Aku masih melirih sambil mengelus perut bagian bawahku yang semakin membesar.
"Lilik, dengerin aku tho. Kowe kudu percoyo karo aku. Aku nggak akan menyia-nyiakan kamu dan anak kita!"
Mas Rahmat menatapku tegas. Apa yang dikatakannya jelas sekali dan tak tampak keragu-raguan sedikitpun.
*
"Lalu?"
Aku bertanya pada Ibu yang memandangi langit luar melalui jendela.
"Akhirnya ibu menikah dengan Bapak. Kakek Nenekmu sudah tidak ada Ra. Jadi Ibu dinikahkan oleh Pakde, Kakaknya Kakekmu."
Aku terdiam
"Kami melakukan kesalahan besar. Tapi Bapakmu bertanggungjawab menikahi Ibu. Dan kita hidup mandiri tanpa direstui oleh Kakek Nenekmu dari Bapak. Untung Bapak sudah bekerja. Meski penghasilan pas-pasan bapak bisa membiayai hidup kita bertiga. Samapi kamu berusia dua tahun Ra."
"Lalu?"
"Hingga satu saat, takdir memisahkan kita."
*
Ini sudah genap hari ke30 setiap malam, aku menunggu di depan teras rumah. Mas Rahmat tak jua datang. Aku gelisah menggendong si mungil yang kami namai Ratu Pandria ini. Kekhawatiranku semakin memuncak.
Mas rahmat berjanji hanya keluar kota selama 5 hari. Tapi hingga malam ini, dirinya tak lagi menemaniku merajut mimpi hingga tiba pagi.
"Bulek..."
Suara Totok anak tetangga terdengar jelas.
"Iyo, Le..."
"Bulek, ini tadi siang ada orang menitipkan surat buat Bulek."
"O, maturnuwun yo Le."
Kubaca amplop putih Untuk Lilik Pandria. Segera kubuka dan kubaca.
Lilik,
Maafkan aku. Aku dipaksa untuk menikah dengan seorang gadis bernama Tri.
Aku dijemput oleh orang suruhan Ibu saat berada di Jakarta untuk keperluan dinas tempo hari.
Tri sangat mengerti cerita kita. Maafkan aku harus membuat kamu hidup sendiri. Aku akan selalu menafkahimu dan Ratu. Rawat dia hingga sekolah menengah. Aku ingin dia sekolah di perguruan tinggi di Jakarta nantinya.
Salam, Mas Rahmat.
Aku lemas. Kulipat lembaran kertas ini. Hubungan segitiga, Apa namanya ini? Aku diselingkuhikah? Bukan. Dia menikah lagi, Iya. Apa namanya ini? Aku menjerit dalam hati.
Aku menangis, segera menangis dalam sujudku. Menuju sepertiga malam terakhir kupanjatkan doaku. Kupinta Tuhan mendengarku, menguatkanku.
Kupandangi wajah mungil Ratu. Aku berdoa, dia akan menjadi orang besar kelak. Dan diperlakukan baik oleh lelaki.
*
"Jadi Ratu, Bapak adalah seorang Bapak yang baik. Menghidupimu dengan harta. Meski kamu haus kasih sayangnya. Saatnya sudah tiba, kamu akan segera ke Jakarta. Hidup bersama mereka. Secepatnya setelah pengumuman kelulusan."
Ibu bertutur halus.
Aku menangis. Terbayang olehku kehidupan mengerikan bersama Ibu tiri dan Bapak yang aku tak pernah ingat wajahnya. Bahkan tak tahu! Aku akan disiksa, wanita itu pasti hanya mencintai Bapakku. Tidak aku!
Ibu berjalan ke kamar dan kembali dengan selembar foto di tangannya.
Tangannya memelukku dan menunjukkan gambar di foto itu seraya berkata pelan,
"Ra, ini Mamamu nduk."
::
Saturday, 14 November 2009
Chit and Chat -2
Senang bisa melihat aura baik dari Rara. Dia sudah pulih. Cepat memang. Ibu memang luar biasa. Tidak ada orang yang menyangsikan betapa susah dideskripsikan dengan kalimat bagaimana hubungan ibu dan anak dalam artian sebenarnya. Antara keduanya memiliki keterikatan yang luar biasa. Meski Ibu dan anak terpisah ribuan mil, perasaan seorang Ibu terhadap anak sangat -sangat peka. Hanya Ibu yang paling mengerti bagaimana menjaga buah hatinya. Selain Tuhan tentunya.
Kubereskan semua dokumenku. Semuanya berhubungan dengan angka. Tentu saja karena aku seorang akuntan. Aku menggilai angka sedari dulu. Beda dengan Rara, kemampuan verbal dan geometris dia jauh lebih baik dibanding aku. Dan kebalikannya kemampuan aritmatika dia sangat lemah. Mungkin itulah yang mengikat kami. Melengkapi. Satu lagi sahabatku yang sangat aku rindukan. Dea.
Dea sangat jago dalam logika. Sekarang dia berada di negara kangguru. Bekerja sekaligus menemani suaminya mengambil gelar master. Dea memang jauh lebih beruntung dibandingkan kami. Untuk masalah cinta, dia lebih dahulu memasuki bahtera rumah tangga. Dan semuanya berjalan lancar, semoga. Terakhir dua minggu yang lalu dia mengirimkan pesan melalui email. Dan ada foto bersama si kecilnya.
Monitorku masih menyala. Halaman browsernya menampilkan foto kami bertiga dengan seragam putih abu-abu. Foto jadul menurut bahasa Rara. Kupandangi lekat-lekat monitorku. Masih terekam jelas kejadian-kejadian semasa kami duduk di bangku sekolah menengah.
Kami menyebut diri sebagai segitiga. Dan seantero sekolah tahu sekali siapa itu segitiga, Dea, Ratu, dan Naily. Mengapa segitiga? Karena kami bertiga. Selainitu, segitiga merupakan geometri yang kokoh. Bahkan di ilmu sipil atau konstruksi , sambungan segitiga sangat direkomendasikan untuk menahan beban. Begitu juga kami. Mendukung satu sama lain. Hingga detik ini.
Terasa memang ketika Dea telah menikah dan tinggal sementara di Asutralia. Tapi teknologi menghilangkan batas dan keterbatasan. Segitiga masih kokoh, ya aku berharap seperti itu.
Kumatikan komputer, dan bergegas berjalan keluar dari ruang kerjaku. Aku harus bersiap karena akan berangkat keluar kota beberapa hari kedepan. Malam ini di kontrakan tanpa Rara. Tak apa, nanti akan kutelpon dia.
*
Kubereskan semua dokumenku. Semuanya berhubungan dengan angka. Tentu saja karena aku seorang akuntan. Aku menggilai angka sedari dulu. Beda dengan Rara, kemampuan verbal dan geometris dia jauh lebih baik dibanding aku. Dan kebalikannya kemampuan aritmatika dia sangat lemah. Mungkin itulah yang mengikat kami. Melengkapi. Satu lagi sahabatku yang sangat aku rindukan. Dea.
Dea sangat jago dalam logika. Sekarang dia berada di negara kangguru. Bekerja sekaligus menemani suaminya mengambil gelar master. Dea memang jauh lebih beruntung dibandingkan kami. Untuk masalah cinta, dia lebih dahulu memasuki bahtera rumah tangga. Dan semuanya berjalan lancar, semoga. Terakhir dua minggu yang lalu dia mengirimkan pesan melalui email. Dan ada foto bersama si kecilnya.
Monitorku masih menyala. Halaman browsernya menampilkan foto kami bertiga dengan seragam putih abu-abu. Foto jadul menurut bahasa Rara. Kupandangi lekat-lekat monitorku. Masih terekam jelas kejadian-kejadian semasa kami duduk di bangku sekolah menengah.
Kami menyebut diri sebagai segitiga. Dan seantero sekolah tahu sekali siapa itu segitiga, Dea, Ratu, dan Naily. Mengapa segitiga? Karena kami bertiga. Selainitu, segitiga merupakan geometri yang kokoh. Bahkan di ilmu sipil atau konstruksi , sambungan segitiga sangat direkomendasikan untuk menahan beban. Begitu juga kami. Mendukung satu sama lain. Hingga detik ini.
Terasa memang ketika Dea telah menikah dan tinggal sementara di Asutralia. Tapi teknologi menghilangkan batas dan keterbatasan. Segitiga masih kokoh, ya aku berharap seperti itu.
Kumatikan komputer, dan bergegas berjalan keluar dari ruang kerjaku. Aku harus bersiap karena akan berangkat keluar kota beberapa hari kedepan. Malam ini di kontrakan tanpa Rara. Tak apa, nanti akan kutelpon dia.
*
Chit and Chat-1
Ding!
Ratu_Q: BUZZ!
Ratu_Q: Ngapain lo? Nongkrong di addicted?
Hah, Nana pasti kaget aku sudah online. Aku ingin menunjukkan bahwa aku sudah baikan bertemu dengan Ibu
Me: Heyyyyy!!! :-*
Me: Eksis loooo??
Me: :D
Ratu_Q typing
Ding!
Ratu_Q: Hahahahah... :))
Ratu_Q: Belanda masih jauhhh nona Nana...
Ratu_Q: So i'll take my time!
Ratu_Q: ;))
Yap, Ibu memang obat mujarab. kurang dari 6 jam sudah merubah pola pikiranku seperti sediakala. Minimal tak lagi terlalu nelangsa kalo orang jawa bilang.
Me: >:D<
Me: Glad to hear that...
Me: So what r u doin?
Ratu_Q typing
Ding!
Ratu_Q: Lo belom jawab gue, lo dmn? Addicted ya?
Ratu_Q: Gue lagi ngelamun aja...
Me: Hahahaah , Lupa...gue masih di kantor sih. Disini ujan gitu
Me: Jadi diluar macet.
Me: Ntr deh nunggu macetnya lancar dikit.
Me: Trus Lo ngapain?
Ratu_Q: Gue, lagi ngelamun. hahahahah
Me: Idih!
Ratu_Q: ngelamunin kamu manis... *sarap
Me: :))
Me: Dasar...
Ratu_Q: nggak sih, gue baru kelar makan. Terus yaaa online aja
Ratu_Q: Gue tau lo pasti lagi nungguin gue ol. :D
Me: Did i?
Ratu_Q: =))
Me: hehehehe
Ratu_Q:Im fine kok Na... :)
Me: Glad to hear that!
Ratu_Q: Yup! :D
Ratu_Q: Dan gue punya cerita....!
Me: Tell me...
Ratu_Q: gue tadi pagi duduk sebelahan sama....
Me: Ma sape?
Ratu_Q: Tebak dunks...
Me: Yeee nggak lutju ah... :(
Ratu_Q: Hahahaha
Me: Sapa? Indra Bekti?
Me: Roy Suryo?
Me: Pak SBY?
Ratu_Q: :))
Me: Vino sebastian? Ariel Peter pan?
Me: SAPAAAAAAA???
Ratu_Q: Teeett tottt salah semua!
Me: :S
Ratu_Q: Yang bener, gue ketemu ma Putra tadi.
Me: Siape Putra?:S
Ratu_Q: Dulu di apernah magang jadi fotografer di kantor.
Ratu_Q: Gue nggak terlalu kenal persis, hanya tau mukanya.
Ratu_Q: tadi pun dia yg negur gue duluan.
Me: Ow ow ow ow
Ratu_Q: and what u mean for ow ow ow ow eniwei?
Ratu_Q: :S
Me: =))
Me: Ya kali ada kelanjutan kaya Iwan?
Ratu_Q: What?
Me: Iya, kali bisa jalan ma dia gt kapan2...:P
Ratu_Q: ASTAGAH!
Me: knp?
Ratu_Q: gue janji ngubungin dia!
Me: Kenapa kudu lo yang mulai???
Ratu_Q: Bukan, masalahnya dia yang mulai kok.
Ratu_Q: Dia ngajak gue buat hunting foto lusa.
Me: Ha?
Me: Sejak akapan lo suka moto?
Ratu_Q: no no...not me as photographer!
Me: So?
Me: jangan bilang lo model!!
Ratu_Q: im sorry, tp gue kudu bilang itu...:D
Ratu_Q: he ask me being his model!!
Me:Huh, gue sirik!!!
Me: ikuttt!!!
Ratu_Q: Hahaahaha
Ratu_Q: oke brb, i'll call him.
Ratu_Q: hang on!
Kuraih handphoneku dari meja di samping kasurku. Putra, yap. Ini nomernya saatnya untuk menelpon.
"Hallo."
"Hallo, putra ya?"
"Iya, maaf, dengan siapa?"
"Rara put..."
"Hey mbak..maaf, aku kan belum punya nomernya, jadi nggak tahu."
"its oke.."
"Ada apa nih?"
"Count me in ya buat hunting foto di Ratu Boko!"
*
Ratu_Q: BUZZ!
Ratu_Q: Ngapain lo? Nongkrong di addicted?
Hah, Nana pasti kaget aku sudah online. Aku ingin menunjukkan bahwa aku sudah baikan bertemu dengan Ibu
Me: Heyyyyy!!! :-*
Me: Eksis loooo??
Me: :D
Ratu_Q typing
Ding!
Ratu_Q: Hahahahah... :))
Ratu_Q: Belanda masih jauhhh nona Nana...
Ratu_Q: So i'll take my time!
Ratu_Q: ;))
Yap, Ibu memang obat mujarab. kurang dari 6 jam sudah merubah pola pikiranku seperti sediakala. Minimal tak lagi terlalu nelangsa kalo orang jawa bilang.
Me: >:D<
Me: Glad to hear that...
Me: So what r u doin?
Ratu_Q typing
Ding!
Ratu_Q: Lo belom jawab gue, lo dmn? Addicted ya?
Ratu_Q: Gue lagi ngelamun aja...
Me: Hahahaah , Lupa...gue masih di kantor sih. Disini ujan gitu
Me: Jadi diluar macet.
Me: Ntr deh nunggu macetnya lancar dikit.
Me: Trus Lo ngapain?
Ratu_Q: Gue, lagi ngelamun. hahahahah
Me: Idih!
Ratu_Q: ngelamunin kamu manis... *sarap
Me: :))
Me: Dasar...
Ratu_Q: nggak sih, gue baru kelar makan. Terus yaaa online aja
Ratu_Q: Gue tau lo pasti lagi nungguin gue ol. :D
Me: Did i?
Ratu_Q: =))
Me: hehehehe
Ratu_Q:Im fine kok Na... :)
Me: Glad to hear that!
Ratu_Q: Yup! :D
Ratu_Q: Dan gue punya cerita....!
Me: Tell me...
Ratu_Q: gue tadi pagi duduk sebelahan sama....
Me: Ma sape?
Ratu_Q: Tebak dunks...
Me: Yeee nggak lutju ah... :(
Ratu_Q: Hahahaha
Me: Sapa? Indra Bekti?
Me: Roy Suryo?
Me: Pak SBY?
Ratu_Q: :))
Me: Vino sebastian? Ariel Peter pan?
Me: SAPAAAAAAA???
Ratu_Q: Teeett tottt salah semua!
Me: :S
Ratu_Q: Yang bener, gue ketemu ma Putra tadi.
Me: Siape Putra?:S
Ratu_Q: Dulu di apernah magang jadi fotografer di kantor.
Ratu_Q: Gue nggak terlalu kenal persis, hanya tau mukanya.
Ratu_Q: tadi pun dia yg negur gue duluan.
Me: Ow ow ow ow
Ratu_Q: and what u mean for ow ow ow ow eniwei?
Ratu_Q: :S
Me: =))
Me: Ya kali ada kelanjutan kaya Iwan?
Ratu_Q: What?
Me: Iya, kali bisa jalan ma dia gt kapan2...:P
Ratu_Q: ASTAGAH!
Me: knp?
Ratu_Q: gue janji ngubungin dia!
Me: Kenapa kudu lo yang mulai???
Ratu_Q: Bukan, masalahnya dia yang mulai kok.
Ratu_Q: Dia ngajak gue buat hunting foto lusa.
Me: Ha?
Me: Sejak akapan lo suka moto?
Ratu_Q: no no...not me as photographer!
Me: So?
Me: jangan bilang lo model!!
Ratu_Q: im sorry, tp gue kudu bilang itu...:D
Ratu_Q: he ask me being his model!!
Me:Huh, gue sirik!!!
Me: ikuttt!!!
Ratu_Q: Hahaahaha
Ratu_Q: oke brb, i'll call him.
Ratu_Q: hang on!
Kuraih handphoneku dari meja di samping kasurku. Putra, yap. Ini nomernya saatnya untuk menelpon.
"Hallo."
"Hallo, putra ya?"
"Iya, maaf, dengan siapa?"
"Rara put..."
"Hey mbak..maaf, aku kan belum punya nomernya, jadi nggak tahu."
"its oke.."
"Ada apa nih?"
"Count me in ya buat hunting foto di Ratu Boko!"
*
Thursday, 12 November 2009
Diary SEGI-3 tanggal 12 nove 2009
Kemarin saya nggak menulis lho #pengakuan.
Kerjaan lagi in rush semua. Waktu 8 jam dikantor dikurangi istirahat 1,5 jam nggak ada jeda untuk bisa mencuri waktu membuka blog untuk nulis :)
Tapi kali ini malam ini tepatnya saya nulis, dan di Enjoy my Jogja saya uda mencapai angka 5,373 words.
Yippie...*kok seneng, ituh belom seberapa deh kayanya....
Belanda masih jauh, begitu kata Ratu Pandria
Kerjaan lagi in rush semua. Waktu 8 jam dikantor dikurangi istirahat 1,5 jam nggak ada jeda untuk bisa mencuri waktu membuka blog untuk nulis :)
Tapi kali ini malam ini tepatnya saya nulis, dan di Enjoy my Jogja saya uda mencapai angka 5,373 words.
Yippie...*kok seneng, ituh belom seberapa deh kayanya....
Belanda masih jauh, begitu kata Ratu Pandria
Enjoy My Jogja-2
"Oke Putra, saya duluan ya."
Aku berpamitan dengannya saat berjalan mendekati pengambilan bagasi. Aku tak membawa barang banyak jadi tak ada yang kutitipkan di bagasi pesawat.
"Eh mbak, entar dulu. Sama siapa ke rumahnya?"
"Naik taksi, atau naik trans Jogja."
"Bareng saja. Saya dijemput denganteman saya kok. Yang kakaknya akan saya poto buat nikahannya."
"Ah, nggak usah , rumah saya deket kok hanya di Condong Catur situ."
"Mbak Ratu entar nyasar lho. Kan uda lama nggak pulang tho?"
Dia mencoba meledekku.
"Enggaklah. Makasih banyak Put. Nanti kalau aku mantep untuk acara foto-foto aku telpon ya."
Langkah kami sudah mencapai teras tempat para penjemput penumpang menunggu.
"Eh, mbak, kenalin dulu itu teman saya. Yuk."
Dia menarik tanganku cepat.
"Risa, kenalin nih, mbak Ratu. Dulu bos gue pas gue magang di kantor media itu."
"Ow, mbak Ratu. Risa mbak."
"Ratu." Aku menjabat tangan Risa. Gadis ini manis sekali. Kulitnya putih, senyumnya manis. Wajahnya mirip dengan saudara perempuan Dimas. Ah, tapi perasaanku saja. Pandanganku aku mungkin sudah lelah karena tidur hanya sebentar dan mata ini masih sembab.
"Saya duluan ya." Aku sekali lagi berpamitan.
"Lho, mbak nggak bareng aja ma kita?". Risa menawarkan diri.
"Enggak usah Ris. "
"Tanggung mbak. Bareng aja."
"Enggak usah ya, kayanya nih dijemput di depan, tadi kakakku sms." Aku mencoba berkelit.
Putra menatapku heran. Ups, tadi aku bilang mau naik taksi ya?
"Iya, smsnya baru masuk nih." Aku mencoba mengajukan alasan lebih masuk akal.
"Ya udah, sampai jumpa lagi ya mbak Ratu, ditunggu telponnya." Putra berpamitan.
"Oke."
Aku berjalan menuju pelataran taksi mengantri untuk mengantarkan penumpangnya. Kami berpisah. Putra, mengesankan. Masih tak habis pikir mengapa dia menawariku yang bukan model profesional untuk difoto dalam acara hunting lusa. Tawaran menarik. Aku bisa melupakan penatku. Iya itu tujuanku ke Jogja bukan? Selain untuk Ibu.
*
Sugeng Rawuh, begitu kata billboard di depanku. Taksi ini sudah membawaku keluar dari area bandara. Kalau saja badan ini tidak terlalu capek aku pasti memilih belok kanan dan berhenti di candi Prambanan. Sekedar duduk-duduk atau jalan-jalan. Prambanan pasti mengobatiku. ah, tapi Ibu lebih menunggu. Emm, tidak menunggu sih, karena aku belum memberitahu. Semoga Ibu sehat dan ada dirumah. Meski sudah berusia 66 tahun, Ibu masih aktif. Alhamdulillah, itu kata yang selalu kuucapkan.
Taksi ini sudah memasuki ring road. Mobil-mobil melaju dengan kecepatan ekstra bila sedang berada di jalur ini. Jogjakarta memiliki arteri yang biasa disebut ring road. Jalan raya yang dua kali lebih lebar dari jalan kota. terdiri dari 6 jalur. 3 Jalur untuk masing-masing sisi. 2 jalur untuk kendaraan beroda lebih dari dua, sedangkan satu jalur lambat khusus untuk kendaraan tak bermesin dan roda dua.
Matahari sudah mulai meninggi. Biasanya dipagi hari, jalur lambat akan dipenuhi sepeda onthel yang dikendarai oleh orang-orang dari arah Prambanan dan Kalasan. Ya, mereka mungkin berprofesi sebagai kuli bangunan yang berbondong-bondong memasuki kota Jogja untuk mencari nafkah. Itu pemandangan yang hampir sama bila kita berada di Jalan Gatot Subroto di pagi hari. Semua kendaraan memenuhi lajur dari arah Bekasi menuju kota Jakarta. Semua memiliki tujuan sama, berangkat bekerja.
Tak terasa taksi sudah memasuki jalan menuju rumahku.
"Depan lagi pak, depan sekolah itu persis."
"Iya Mbak."
"Yak, disini saja Pak."
Taksi ini berhenti tepat memenuhi perintahku. Tepat di samping halaman rumah.
"Makasih pak."
Aku membayar dan segera turun dari taksi.
Rumah ini selalu tetap sama menurutku setiap aku baru saja tiba kembali ke rumah. Asri penuh dengan tanaman. Ibu selalu merawat tanamannya dengan baik. Dan aku selalu membuat salah satunya mati setiap bulannya karena lupa menyiraminya dengan rutin. Tabiat yang kontras sekali dengan Ibu.
Kudorong pagar hitam ini. Dan selalu menimbulkan bunyi yang khas. Kemudian, bel rumah ini yang tiada dua, hanya lonceng dari tanah liat yang digantu Bapak tepat diatas kanopi carport. Persis di depan pintu garasi. Cara membunyikannya gampang, tinggal menarik tali yang sengaja dipasang Bapak disitu.
Klinting..klinting..klinting
Bel itu berbunyi. Sedikit berat tidak nyaring.
"Sapa?"
Seperti biasa, Ibu selalu mengecek dengan bertanya pada tamu-tamunya. Aku menahan tawa.
"Assalamualaikum!"
"Walaikumsalan, sinten nggih?"
"Kulo..."
Aku masih berusaha menahan tawa. Kualatkah sedikit membuat kejutan untuk Ibu.
"Sinten?"
"Kulo..."
Terdengar suara tapak kaki dari arah dalam mendekati pintu garasi.
"Kulo sinten?"
Dan Ibu masih melontarkan pertanyaan
Dan pintu pun terbuka , lagi-lagi dengan suara khasnya yang sedikit berderit.
"Kulonuwun Bu..."
Aku menyapa iseng ke Ibu.
"Owalah....Nduk...Nduk...!"
Aku tertawa, spontan meraih tangannya, menjabat mencium pungung telapak tangannya, mencium kedua pipinya dan memeluknya. Erat.
*
"Ada apa kok tiba-tiba pulang?"
Pertanyaan Ibu menghentikan tawaku yang sedari tadi membahana di ruang makan. Cangkir teh panas ini kuletakkan perlahan. Rasanya gorengan tempe dihadapanku menjadi dingin seketika. Bahkan seisi ruang ini. Aku terdiam, memandang Ibu.
"Kok malah diem, wong Ibu nanya lho."
Kuhela nafas panjang. Tujuan utamaku pulang karena ingin bercerita dengan ibu.
"Dimas, Bu."
"Ada apa lagi?"
"Dimas akan menikah."
Mataku mulai berkaca-kaca. Aku merutuki diriku sendiri. Mengapa harus ada air mata? Bahkan aku tak tahu apa arti air mata ini? Sedih, terluka, kecewa, atau senang, ikut berbahagia, terharu? Ibu hanya tersenyum dan mengelus punggungku. Hal yang sama dilakukan oleh Nana malam kemarin.
Ibu beranjak dari duduk menuju ke meja telepon. Mengambil sesuatu dan kembali duduk di meja makan. Kali ini Ibu duduk di sampingku.
"Ini undangannya."
Tuhan, ternyata Ibu sudah tahu sebelum aku bercerita. Ternyata Dimas juga mengirimkan undangan ke Bapak Ibu. Apa artinya ini semua?
Aku terisak, memandangi undangan dengan warna coklat keemasan ini. Warna kesukaanku.
"Nduk"
Ibu bersuara lembut.
"Ikhlas yo...Ibu ngerti nggak mudah buat kowe. Tapi Ibu yakin Gusti Allah yang ngatur semuanya."
Aku semakin sesenggukan mendengar kalimat Ibu. Sentuhan tangannya di punggungku seakan-akan mengeluarkan semua gumpalan-gumpalan perasaan yang menyumbat hatiku sehingga tak dpaat berpikir jernih belakangan.
"Kowe yo yakin tho, karo Gusti Allah?"
Aku mengangguk. Ya, kita hanyalah kecil dihadapanNya. Ini adalah bagian dari ritme kehidupanku. Doa Dimas dikabulkan lebih cepat dari aku. Karen aku yakin kita sama-sama memanjatkan doa didekatkan dan dipertemukan dengan jodoh masing-masing.
"Jodoh itu yang ngatur Allah, Nduk."
Ibu seperti mengurai pikiranku.
"Dimas ndapetin kesempatan lebih dulu ketimbang kowe."
Aku menangguk. Tak sepatah kata yang bisa kuucapkan. Air mataku mulai mereda.
"Jadi, kowe yo sabar wae. Ikhlas Nduk. Allah kuwi Maha."
Aku memeluk Ibu.
"Maturnuwun nggih Bu."
"Iyo, inget Man purpose, but God disspose."
*
Aku berpamitan dengannya saat berjalan mendekati pengambilan bagasi. Aku tak membawa barang banyak jadi tak ada yang kutitipkan di bagasi pesawat.
"Eh mbak, entar dulu. Sama siapa ke rumahnya?"
"Naik taksi, atau naik trans Jogja."
"Bareng saja. Saya dijemput denganteman saya kok. Yang kakaknya akan saya poto buat nikahannya."
"Ah, nggak usah , rumah saya deket kok hanya di Condong Catur situ."
"Mbak Ratu entar nyasar lho. Kan uda lama nggak pulang tho?"
Dia mencoba meledekku.
"Enggaklah. Makasih banyak Put. Nanti kalau aku mantep untuk acara foto-foto aku telpon ya."
Langkah kami sudah mencapai teras tempat para penjemput penumpang menunggu.
"Eh, mbak, kenalin dulu itu teman saya. Yuk."
Dia menarik tanganku cepat.
"Risa, kenalin nih, mbak Ratu. Dulu bos gue pas gue magang di kantor media itu."
"Ow, mbak Ratu. Risa mbak."
"Ratu." Aku menjabat tangan Risa. Gadis ini manis sekali. Kulitnya putih, senyumnya manis. Wajahnya mirip dengan saudara perempuan Dimas. Ah, tapi perasaanku saja. Pandanganku aku mungkin sudah lelah karena tidur hanya sebentar dan mata ini masih sembab.
"Saya duluan ya." Aku sekali lagi berpamitan.
"Lho, mbak nggak bareng aja ma kita?". Risa menawarkan diri.
"Enggak usah Ris. "
"Tanggung mbak. Bareng aja."
"Enggak usah ya, kayanya nih dijemput di depan, tadi kakakku sms." Aku mencoba berkelit.
Putra menatapku heran. Ups, tadi aku bilang mau naik taksi ya?
"Iya, smsnya baru masuk nih." Aku mencoba mengajukan alasan lebih masuk akal.
"Ya udah, sampai jumpa lagi ya mbak Ratu, ditunggu telponnya." Putra berpamitan.
"Oke."
Aku berjalan menuju pelataran taksi mengantri untuk mengantarkan penumpangnya. Kami berpisah. Putra, mengesankan. Masih tak habis pikir mengapa dia menawariku yang bukan model profesional untuk difoto dalam acara hunting lusa. Tawaran menarik. Aku bisa melupakan penatku. Iya itu tujuanku ke Jogja bukan? Selain untuk Ibu.
*
Sugeng Rawuh, begitu kata billboard di depanku. Taksi ini sudah membawaku keluar dari area bandara. Kalau saja badan ini tidak terlalu capek aku pasti memilih belok kanan dan berhenti di candi Prambanan. Sekedar duduk-duduk atau jalan-jalan. Prambanan pasti mengobatiku. ah, tapi Ibu lebih menunggu. Emm, tidak menunggu sih, karena aku belum memberitahu. Semoga Ibu sehat dan ada dirumah. Meski sudah berusia 66 tahun, Ibu masih aktif. Alhamdulillah, itu kata yang selalu kuucapkan.
Taksi ini sudah memasuki ring road. Mobil-mobil melaju dengan kecepatan ekstra bila sedang berada di jalur ini. Jogjakarta memiliki arteri yang biasa disebut ring road. Jalan raya yang dua kali lebih lebar dari jalan kota. terdiri dari 6 jalur. 3 Jalur untuk masing-masing sisi. 2 jalur untuk kendaraan beroda lebih dari dua, sedangkan satu jalur lambat khusus untuk kendaraan tak bermesin dan roda dua.
Matahari sudah mulai meninggi. Biasanya dipagi hari, jalur lambat akan dipenuhi sepeda onthel yang dikendarai oleh orang-orang dari arah Prambanan dan Kalasan. Ya, mereka mungkin berprofesi sebagai kuli bangunan yang berbondong-bondong memasuki kota Jogja untuk mencari nafkah. Itu pemandangan yang hampir sama bila kita berada di Jalan Gatot Subroto di pagi hari. Semua kendaraan memenuhi lajur dari arah Bekasi menuju kota Jakarta. Semua memiliki tujuan sama, berangkat bekerja.
Tak terasa taksi sudah memasuki jalan menuju rumahku.
"Depan lagi pak, depan sekolah itu persis."
"Iya Mbak."
"Yak, disini saja Pak."
Taksi ini berhenti tepat memenuhi perintahku. Tepat di samping halaman rumah.
"Makasih pak."
Aku membayar dan segera turun dari taksi.
Rumah ini selalu tetap sama menurutku setiap aku baru saja tiba kembali ke rumah. Asri penuh dengan tanaman. Ibu selalu merawat tanamannya dengan baik. Dan aku selalu membuat salah satunya mati setiap bulannya karena lupa menyiraminya dengan rutin. Tabiat yang kontras sekali dengan Ibu.
Kudorong pagar hitam ini. Dan selalu menimbulkan bunyi yang khas. Kemudian, bel rumah ini yang tiada dua, hanya lonceng dari tanah liat yang digantu Bapak tepat diatas kanopi carport. Persis di depan pintu garasi. Cara membunyikannya gampang, tinggal menarik tali yang sengaja dipasang Bapak disitu.
Klinting..klinting..klinting
Bel itu berbunyi. Sedikit berat tidak nyaring.
"Sapa?"
Seperti biasa, Ibu selalu mengecek dengan bertanya pada tamu-tamunya. Aku menahan tawa.
"Assalamualaikum!"
"Walaikumsalan, sinten nggih?"
"Kulo..."
Aku masih berusaha menahan tawa. Kualatkah sedikit membuat kejutan untuk Ibu.
"Sinten?"
"Kulo..."
Terdengar suara tapak kaki dari arah dalam mendekati pintu garasi.
"Kulo sinten?"
Dan Ibu masih melontarkan pertanyaan
Dan pintu pun terbuka , lagi-lagi dengan suara khasnya yang sedikit berderit.
"Kulonuwun Bu..."
Aku menyapa iseng ke Ibu.
"Owalah....Nduk...Nduk...!"
Aku tertawa, spontan meraih tangannya, menjabat mencium pungung telapak tangannya, mencium kedua pipinya dan memeluknya. Erat.
*
"Ada apa kok tiba-tiba pulang?"
Pertanyaan Ibu menghentikan tawaku yang sedari tadi membahana di ruang makan. Cangkir teh panas ini kuletakkan perlahan. Rasanya gorengan tempe dihadapanku menjadi dingin seketika. Bahkan seisi ruang ini. Aku terdiam, memandang Ibu.
"Kok malah diem, wong Ibu nanya lho."
Kuhela nafas panjang. Tujuan utamaku pulang karena ingin bercerita dengan ibu.
"Dimas, Bu."
"Ada apa lagi?"
"Dimas akan menikah."
Mataku mulai berkaca-kaca. Aku merutuki diriku sendiri. Mengapa harus ada air mata? Bahkan aku tak tahu apa arti air mata ini? Sedih, terluka, kecewa, atau senang, ikut berbahagia, terharu? Ibu hanya tersenyum dan mengelus punggungku. Hal yang sama dilakukan oleh Nana malam kemarin.
Ibu beranjak dari duduk menuju ke meja telepon. Mengambil sesuatu dan kembali duduk di meja makan. Kali ini Ibu duduk di sampingku.
"Ini undangannya."
Tuhan, ternyata Ibu sudah tahu sebelum aku bercerita. Ternyata Dimas juga mengirimkan undangan ke Bapak Ibu. Apa artinya ini semua?
Aku terisak, memandangi undangan dengan warna coklat keemasan ini. Warna kesukaanku.
"Nduk"
Ibu bersuara lembut.
"Ikhlas yo...Ibu ngerti nggak mudah buat kowe. Tapi Ibu yakin Gusti Allah yang ngatur semuanya."
Aku semakin sesenggukan mendengar kalimat Ibu. Sentuhan tangannya di punggungku seakan-akan mengeluarkan semua gumpalan-gumpalan perasaan yang menyumbat hatiku sehingga tak dpaat berpikir jernih belakangan.
"Kowe yo yakin tho, karo Gusti Allah?"
Aku mengangguk. Ya, kita hanyalah kecil dihadapanNya. Ini adalah bagian dari ritme kehidupanku. Doa Dimas dikabulkan lebih cepat dari aku. Karen aku yakin kita sama-sama memanjatkan doa didekatkan dan dipertemukan dengan jodoh masing-masing.
"Jodoh itu yang ngatur Allah, Nduk."
Ibu seperti mengurai pikiranku.
"Dimas ndapetin kesempatan lebih dulu ketimbang kowe."
Aku menangguk. Tak sepatah kata yang bisa kuucapkan. Air mataku mulai mereda.
"Jadi, kowe yo sabar wae. Ikhlas Nduk. Allah kuwi Maha."
Aku memeluk Ibu.
"Maturnuwun nggih Bu."
"Iyo, inget Man purpose, but God disspose."
*
Tuesday, 10 November 2009
Enjoy My Jogja-1
Kali ini aku menoleh, dan memperhatikan wajahnya dengan seksama. Rasanya wajahnya memang familiar, namun memoriku tak jua berhasil mendeteksi siapa lelaki yang duduk disampingku ini. Selama 30 menit penerbangan aku memang tak memperhatikan sekelilingku. Bahkan sedari bandara. Aku asyik dengan pikiranku, bermain-main dengan lamunanku tak mempedulikan kanan kiriku, termasuk lelaki ini.
Aku masih diam, memandangnya, berusaha mengingat-ingat tentu saja. Belum ada satu kata yang berani kuucapkan. Apalagi untuk sok kenal. Moodku lagi tak bagus untuk bermah-ramah dengan orang.
"Mbak Ratu nggak inget saya ya?"
Aku menggeleng.
"Mmm..."
"Mbak, saya dulu pernah magang di tempat kerja mbak. Jaman masih fresh graduated gituh deh."
"Ow, iya ya? Aduh maap ya, yang magang kerja kan banyak. Nggak apal satu-satu. Maap ya...mmm" Aku ragu meneruskan karena tak tahu namanya.
"Putra, mbak. Saya Putra"
"Ow, maap ya Putra..."
"Enggak apa-apa mbak. lagian saya magang nggak lama. Cuma saya tahu ajah namanya mbak Ratu. Siapa sih yang nggak kenal mbak di kantor itu."
Aku hanya tersenyum.
"Lagi dalam rangka apa mbak ke Jogja?"
"Cuma pulang." Jawabku singkat. Karena tak mungkin aku berbohong lagi mengatakan ada kerabatku yang sakit. "Kamu?"
"Saya ada kerjaan mbak, motoin wedding gitu. Kebetulan pas prewednya saya juga yang moto."
"Wah, good deh."
Sedikit sensitif juga telingaku mendengar kata-kata prewedding atau wedding. Dan aku sedang dalam rangka menenangkan pikiran kacau balauku sejenak.
"Acaranya sih akhir minggu ini. Saya datang agak awal karena ingin hunting foto dulu mbak."
"Menarik."
"Iya, jogja terlalu eksotis untuk disia-siakan begitu saja oleh kamera saya."
Dia tertawa.
"Ya, kamu benar. Jogja memang sangat penuh dengan aura baik."
"Iya mbak. Oya, mbak Ratu mau ikut hunting?"
"Ha?"
"Iya, atau mbak mau jadi model?"
"Model?"
"Iya model, Saya lagi suka moto model nih. Saya sudah membayangkan mbak bisa saya poto di pelataran candi Ratu Boko."
Intonasinya menandakan dia tidak sedang berbasa-basi denganku. Difoto memang hobbyku. Tapi kalau difoto dengan kamera dan fotografer profesional, mana pernah?
"Mmm..."
"Mbak Ratu nggak nolak kan?"
Aku belum menjawab.
"Mbak Ratu lama kan di Jogja, nggak mungkin cuma pulang satu malam aja tho?"
"Iya sih, rencana sampai Minggu disini."
"Nah, pas banget tuh. Gimana kalau lusa kita ke Ratu Bokonya?"
Aku masih belum menjawab.
"Nggak usah khawatir mbak, saya yang traktir deh. Kan saya yang minta tolong. Nanti kita rame-rame dengan komunitas foto hunting. Dan akan ada beberapa model."
"O gitu?"
"Iya, gimana? Menyenangkan deh mbak, saya jamin."
"Menarik. Entar saya telpon kamu deh pas deket harinya. Mmm lusa kan?"
"Oke mbak. "
Dia tersenyum lebar menatapku seperti baru menemukan harta karun yang terpendam jutaan tahun lamanya.
"Ngomong-ngomong, Mbak Ratu kapan menikah? Nanti saya yang potoin deh."
'Dan yang kali ini lebih dari sekedar sensitif! Dia malah bertanya kapan gue menikah? Calonnya saja belum ada! Bahkan gue lagi anti dengan kata-kata menikah!'
Aku tersenyum kecut.
"Atau jangan-jangan mbak Ratu uda menikah?" Tanyanya usil.
Aku menggeleng.
"Ini kartu namaku mbak. Kalau ada temennya yang nikahan atau mbak sendiri yang mau nikah, kontak saja ya."
Aku mengangguk dan menerima selembar kartu namanya.
Putra Satya
Photographer
Mobile: 0811 112233
Email:putra.satya@wed-ding.com
::
Enjoy my Jogja
Nana, gue ke jogja. Already longing you.
Pesan singkat ini kuterima di handphoneku sejak sejam yang lalu. Nomer Rara tak juga bisa kuhubungi. Barangkali pesawatnya belum mendarat. Aku mencoba berpikiran positif. Semoga dia baik-baik saja. Tidak, dia pasti tidak baik-baik saja. Pasti tidak.
Aku berhadapan dengan meja dan setumpuk laporan keuangan yang menjerit minta segera diselesaikan. Namun pikiran ini sedang tidak bisa diajak bekerjasama. Aku memikirkan Rara. Undangan yang disampaikan langsung oleh Dimas cukup membuat Rara shock. Meski sudah tak bersama kurang lebih empat bulan, tetap saja Rara merasa kaget. Rasa yang dimilikinya terlalu besar untuk seorang Dimas. Lebih pantas untuk diberikan pada orang selain Dimas.
Dan sekarang dia lari ke Jogja. Ini bukan kebiasaannya. Meski jarak Jogja-Jakarta tidak seberapa Rara jarang sekali pulang bila tidak ada hal yang sangat-sangat penting. Mungkin dia butuh Ibu. Bercerita ke Ibu akan lebih menyenangkan. Lagipula aku akan ditugaskan ke Bangka untuk 4 hari ini. Hampir aku minta untuk digantikan, meski alasan yang kubuat-buat, demi untuk nemenein Rara di malam-malam kedepan.
Kucoba lagi untuk menghubungi handphone Rara.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan. Silahkan coba beberapa saat lagi.
Fyuh, belum juga aktif. Apa sampai dia kembali ke Jakarta baru bisa dihubungi? Atau dia ganti nomer untuk menghilang dari peredaran bumi? Ah tidak, Rara tak bermental secetek itu. Meski sedih, dia pasti kuat.
Drrttt drrrtt
Message Delivered
Ratu Pandria
Handphonenya sudah aktif. Aku nyaris berteriak kegirangan dan segera mencoba lagi menghubungi Rara.
Calling...
Ratu Pandria
'Angkat donk , Ra!!'
Aku resah menunggu jawaban telponnya. Nada tunggu ini membuat aku semakin gugup menunggu Rara mengangkat telponku. Rara tak menjawab. Sambungan sampai terputus, dan menelpon ulang secara otomatis. Aku masih berusaha dan bersabar mendengarkan nada tunggu terngiang-ngiang di telingaku.
"Halo!"
Suara Rara terdengar keras ditelingaku.
"Rara..Lo uda nyampe?"
"Ha?!"
Lagi-lagi suara Rara meninggi.
"Lo uda nyampe say?"
"Apaan Na? Kagak denger gue!"
Parah, bandara apa terminal bis sih ramai sekali diseberang sana.
"Ya udah gue sms ajah."
"Ha?!"
"GUE SMS AJA!"
Tut!
Handphone kumatikan.
Segera kuketikkan sms ke Rara.
Bok, lo ude nyampe kan? Buset ya itu bandara apa terminal bis sih cin? Curiga gue di Pulo Gadung ye? Enjoy your Jogja. Miss u! :-*
Message sent
Ratu Pandria
Aku sudah lega mendengar suaranya di seberang sana. Nadanya tak menandakan dia masih bersedih. Semoga aku tak salah.
Drrtt drrtt
1 Message received
Ratu Pandria
Sms lo br masuk yg td.gw d Bandara lah gila!! ok,I will!! muach muach!
*
Aku masih diam, memandangnya, berusaha mengingat-ingat tentu saja. Belum ada satu kata yang berani kuucapkan. Apalagi untuk sok kenal. Moodku lagi tak bagus untuk bermah-ramah dengan orang.
"Mbak Ratu nggak inget saya ya?"
Aku menggeleng.
"Mmm..."
"Mbak, saya dulu pernah magang di tempat kerja mbak. Jaman masih fresh graduated gituh deh."
"Ow, iya ya? Aduh maap ya, yang magang kerja kan banyak. Nggak apal satu-satu. Maap ya...mmm" Aku ragu meneruskan karena tak tahu namanya.
"Putra, mbak. Saya Putra"
"Ow, maap ya Putra..."
"Enggak apa-apa mbak. lagian saya magang nggak lama. Cuma saya tahu ajah namanya mbak Ratu. Siapa sih yang nggak kenal mbak di kantor itu."
Aku hanya tersenyum.
"Lagi dalam rangka apa mbak ke Jogja?"
"Cuma pulang." Jawabku singkat. Karena tak mungkin aku berbohong lagi mengatakan ada kerabatku yang sakit. "Kamu?"
"Saya ada kerjaan mbak, motoin wedding gitu. Kebetulan pas prewednya saya juga yang moto."
"Wah, good deh."
Sedikit sensitif juga telingaku mendengar kata-kata prewedding atau wedding. Dan aku sedang dalam rangka menenangkan pikiran kacau balauku sejenak.
"Acaranya sih akhir minggu ini. Saya datang agak awal karena ingin hunting foto dulu mbak."
"Menarik."
"Iya, jogja terlalu eksotis untuk disia-siakan begitu saja oleh kamera saya."
Dia tertawa.
"Ya, kamu benar. Jogja memang sangat penuh dengan aura baik."
"Iya mbak. Oya, mbak Ratu mau ikut hunting?"
"Ha?"
"Iya, atau mbak mau jadi model?"
"Model?"
"Iya model, Saya lagi suka moto model nih. Saya sudah membayangkan mbak bisa saya poto di pelataran candi Ratu Boko."
Intonasinya menandakan dia tidak sedang berbasa-basi denganku. Difoto memang hobbyku. Tapi kalau difoto dengan kamera dan fotografer profesional, mana pernah?
"Mmm..."
"Mbak Ratu nggak nolak kan?"
Aku belum menjawab.
"Mbak Ratu lama kan di Jogja, nggak mungkin cuma pulang satu malam aja tho?"
"Iya sih, rencana sampai Minggu disini."
"Nah, pas banget tuh. Gimana kalau lusa kita ke Ratu Bokonya?"
Aku masih belum menjawab.
"Nggak usah khawatir mbak, saya yang traktir deh. Kan saya yang minta tolong. Nanti kita rame-rame dengan komunitas foto hunting. Dan akan ada beberapa model."
"O gitu?"
"Iya, gimana? Menyenangkan deh mbak, saya jamin."
"Menarik. Entar saya telpon kamu deh pas deket harinya. Mmm lusa kan?"
"Oke mbak. "
Dia tersenyum lebar menatapku seperti baru menemukan harta karun yang terpendam jutaan tahun lamanya.
"Ngomong-ngomong, Mbak Ratu kapan menikah? Nanti saya yang potoin deh."
'Dan yang kali ini lebih dari sekedar sensitif! Dia malah bertanya kapan gue menikah? Calonnya saja belum ada! Bahkan gue lagi anti dengan kata-kata menikah!'
Aku tersenyum kecut.
"Atau jangan-jangan mbak Ratu uda menikah?" Tanyanya usil.
Aku menggeleng.
"Ini kartu namaku mbak. Kalau ada temennya yang nikahan atau mbak sendiri yang mau nikah, kontak saja ya."
Aku mengangguk dan menerima selembar kartu namanya.
Putra Satya
Photographer
Mobile: 0811 112233
Email:putra.satya@wed-ding.com
::
Enjoy my Jogja
Nana, gue ke jogja. Already longing you.
Pesan singkat ini kuterima di handphoneku sejak sejam yang lalu. Nomer Rara tak juga bisa kuhubungi. Barangkali pesawatnya belum mendarat. Aku mencoba berpikiran positif. Semoga dia baik-baik saja. Tidak, dia pasti tidak baik-baik saja. Pasti tidak.
Aku berhadapan dengan meja dan setumpuk laporan keuangan yang menjerit minta segera diselesaikan. Namun pikiran ini sedang tidak bisa diajak bekerjasama. Aku memikirkan Rara. Undangan yang disampaikan langsung oleh Dimas cukup membuat Rara shock. Meski sudah tak bersama kurang lebih empat bulan, tetap saja Rara merasa kaget. Rasa yang dimilikinya terlalu besar untuk seorang Dimas. Lebih pantas untuk diberikan pada orang selain Dimas.
Dan sekarang dia lari ke Jogja. Ini bukan kebiasaannya. Meski jarak Jogja-Jakarta tidak seberapa Rara jarang sekali pulang bila tidak ada hal yang sangat-sangat penting. Mungkin dia butuh Ibu. Bercerita ke Ibu akan lebih menyenangkan. Lagipula aku akan ditugaskan ke Bangka untuk 4 hari ini. Hampir aku minta untuk digantikan, meski alasan yang kubuat-buat, demi untuk nemenein Rara di malam-malam kedepan.
Kucoba lagi untuk menghubungi handphone Rara.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan. Silahkan coba beberapa saat lagi.
Fyuh, belum juga aktif. Apa sampai dia kembali ke Jakarta baru bisa dihubungi? Atau dia ganti nomer untuk menghilang dari peredaran bumi? Ah tidak, Rara tak bermental secetek itu. Meski sedih, dia pasti kuat.
Drrttt drrrtt
Message Delivered
Ratu Pandria
Handphonenya sudah aktif. Aku nyaris berteriak kegirangan dan segera mencoba lagi menghubungi Rara.
Calling...
Ratu Pandria
'Angkat donk , Ra!!'
Aku resah menunggu jawaban telponnya. Nada tunggu ini membuat aku semakin gugup menunggu Rara mengangkat telponku. Rara tak menjawab. Sambungan sampai terputus, dan menelpon ulang secara otomatis. Aku masih berusaha dan bersabar mendengarkan nada tunggu terngiang-ngiang di telingaku.
"Halo!"
Suara Rara terdengar keras ditelingaku.
"Rara..Lo uda nyampe?"
"Ha?!"
Lagi-lagi suara Rara meninggi.
"Lo uda nyampe say?"
"Apaan Na? Kagak denger gue!"
Parah, bandara apa terminal bis sih ramai sekali diseberang sana.
"Ya udah gue sms ajah."
"Ha?!"
"GUE SMS AJA!"
Tut!
Handphone kumatikan.
Segera kuketikkan sms ke Rara.
Bok, lo ude nyampe kan? Buset ya itu bandara apa terminal bis sih cin? Curiga gue di Pulo Gadung ye? Enjoy your Jogja. Miss u! :-*
Message sent
Ratu Pandria
Aku sudah lega mendengar suaranya di seberang sana. Nadanya tak menandakan dia masih bersedih. Semoga aku tak salah.
Drrtt drrtt
1 Message received
Ratu Pandria
Sms lo br masuk yg td.gw d Bandara lah gila!! ok,I will!! muach muach!
*
Morning Blues-2
Seandainya hati ini bisa kutitipkan sejenak di langit nan biru ini. Mimpi yang berlebihankah kedengarannya? Kupandangi langit diluar sana. Bagaimana rasanya bersentuhan langsung dengan awan diluar itu ya? Indah rasanya bermain-main dengan awan. Atau adakah awan yang lucu yang bisa sedikit menghiburku, sejenak melupakan pikiran yang aku sendiri tak tahu apa namanya.
Semua tempat duduk terisi penuh. Bersyukur aku masih mendapatkan tiket idaman kali ini. Ini ide spontan dan ternekad yang pernah kulakoni untuk pulang ke Jogja. Menelpon HRD di kantor dengan ijin kerabat sakit di Jogja. Berangkat dari rumah kontrakan tergesa-gesa ke bandara. Mengantri di loket pembelian tiket. Segera melakukan cek-in, dan tak berlama-lama duduk di ruang tunggu karena penerbangan sudah siap menuju Jogja.
Penerbangan ini nyaman. Atau aku berusaha menyamankan diri? Yang jelas aku tak sabar sampai dirumah dan bertukar cerita dengan Ibu. Hanya satu alasan, ingin bertemu Ibu. Ingin berbagi cerita tentang perihku.
Langit di luar masih biru. Aku belum juga bisa tersenyum lepas sedari tadi malam. Mataku mulai mengantuk. Meski hanya membutuhkan waktu 50menit berada di langit, mata ini tak bisa berkompromi. Aku mulai memejamkan mata. Mengenyahkan rasa-rasa negatif dan memikirkan yang indah-indah tentang Jogja.
"Mbak, maaf."
Aku dikagetkan sebuah tepukan dari orang disebelahku.
"Ya?"
"Jam berapa ya?"
Jam tanganku menunjukkan pukul enam lebih tigapuluhlima menit.
"Jam 6.35, Mas."
"Terimakasih."
Aku berusaha tersenyum tanpa melihat wajahnya. Dan kembali memejamkan mata.
"Enngg, mbak."
Dia bersuara lagi. Cukup mengagetkanku.
"Ya."
"Mbak mau ke Jogja kan ya?"
Pertanyaan retoris. Pesawat ini jelas akan mendarat di kota Jogja kan?
"Ya."
Aku menjawab tanpa memandang wajahnya.
"Terimakasih, mbak."
Sekali lagi aku mencoba memejamkan mata meski kantukku sudah hilang.
"Emmm, mbak."
Apalagi ya orang ini? Aku mulai merasa terganggu.
"Ya."
"Mbak Ratu apa kabar?"
Ha?Dia memanggil namaku. Apa terdeteksi namaku dari raut atau aura kesedihanku? Atau orang ini keturunan Mama Laurent? Bisa baca pikiran? Atau dia memang mengenalku?
Semua tempat duduk terisi penuh. Bersyukur aku masih mendapatkan tiket idaman kali ini. Ini ide spontan dan ternekad yang pernah kulakoni untuk pulang ke Jogja. Menelpon HRD di kantor dengan ijin kerabat sakit di Jogja. Berangkat dari rumah kontrakan tergesa-gesa ke bandara. Mengantri di loket pembelian tiket. Segera melakukan cek-in, dan tak berlama-lama duduk di ruang tunggu karena penerbangan sudah siap menuju Jogja.
Penerbangan ini nyaman. Atau aku berusaha menyamankan diri? Yang jelas aku tak sabar sampai dirumah dan bertukar cerita dengan Ibu. Hanya satu alasan, ingin bertemu Ibu. Ingin berbagi cerita tentang perihku.
Langit di luar masih biru. Aku belum juga bisa tersenyum lepas sedari tadi malam. Mataku mulai mengantuk. Meski hanya membutuhkan waktu 50menit berada di langit, mata ini tak bisa berkompromi. Aku mulai memejamkan mata. Mengenyahkan rasa-rasa negatif dan memikirkan yang indah-indah tentang Jogja.
"Mbak, maaf."
Aku dikagetkan sebuah tepukan dari orang disebelahku.
"Ya?"
"Jam berapa ya?"
Jam tanganku menunjukkan pukul enam lebih tigapuluhlima menit.
"Jam 6.35, Mas."
"Terimakasih."
Aku berusaha tersenyum tanpa melihat wajahnya. Dan kembali memejamkan mata.
"Enngg, mbak."
Dia bersuara lagi. Cukup mengagetkanku.
"Ya."
"Mbak mau ke Jogja kan ya?"
Pertanyaan retoris. Pesawat ini jelas akan mendarat di kota Jogja kan?
"Ya."
Aku menjawab tanpa memandang wajahnya.
"Terimakasih, mbak."
Sekali lagi aku mencoba memejamkan mata meski kantukku sudah hilang.
"Emmm, mbak."
Apalagi ya orang ini? Aku mulai merasa terganggu.
"Ya."
"Mbak Ratu apa kabar?"
Ha?Dia memanggil namaku. Apa terdeteksi namaku dari raut atau aura kesedihanku? Atau orang ini keturunan Mama Laurent? Bisa baca pikiran? Atau dia memang mengenalku?
Sunday, 8 November 2009
Morning Blues
Aku masih menangis. Baru menangis tepatnya. Nana hanya diam memandangiku. Diam tidak berkata apa-apa. Tangannya mengelus-elus punggungku. Mencoba menyampaikan 'Rara...yang ikhlas ya. Lo pasti bisa melewati semua ini'
"Gue tadi nggak nangis Na..., kenapa baru sekarang gue nangis?"
Nana masih diam.
"Kenapa... tadi gue nggak mengeluarkan.... air... mata atau sumpah serapah... dihadapan..nya? Kenapa... Na...?!"
Aku masih terbata-bata ditengah isakku. Dan Nana masih tak menjawab.
"Gue, nggak tahu... ku...du bahagia... atau kudu ber...sedih. Perasaan gue ... campur... aduk. Gue kaget, Na. Kaget. Gue... nggak... siap denger ini. Nggak siap... Na. Be...lom ...siap."
Kalimat yang keluar dari mulutku masih terbata-bata. air mata aku masih terus mengalir. Hati ini rasanya tak terdeskripsikan dengan kata-kata. Tak cukup dengan kata-kata.
Nana masih diam, tangannya belum berhenti menenangkanku. Mengelus punggungku yang terisak tertelungkup di kasurku ditemani bantal. Rasanya nafas ku tersengal-sengal. Ingin berteriak tapi tak kuasa. Berceloteh panjang lebar hanya Nana yang mendengar. Emosi aku masih tak stabil. Air mata ini masih mengalir.
::
Morning Blues
"Pagi Ratu-ku..."
Suara lembut Nana terdengar jelas di telingaku. Kupaksa membuka mata yang masih terasa berat ini. Cahaya pagi dari arah jendela menembus kedalam kamar. Cerah, seakan ingin mengajaku untuk tersenyum. Nana duduk disamping tempat tidurku. Dia masih tak banyak bicara hanya tersenyum.
"Jam berapa Na?
"Jam 7 pagi sayang. Lo mau ngantor nggak?"
Aku menggeleng.
"Oke, gue cabut dulu. Ntar gue telpon lo siangan."
Aku mengangguk.
"Oya, tadi gue buatin roti bakar, tuh. Dimakan ye cin."
Aku mengangguk tersenyum padanya.
"Daaa nek..."
Pandanganku masih menerawang keluar jendela. Memandangi jalan depan rumah ini yang penuh dengan kendaraan. Suasana pagi hari yang sangat penuh dan ramai. Bertolak belakang dengan perasaanku. Kosong, sepi.
Seharusnya aku tidak boleh menangis! Mengapa aku menjadi cengeng? Bukankah aku sudah melalui catrurwulan pertama tanpanya. Itu berarti hidupku baik-baik saja tanpanya. Dan memang tak ada yang bisa diperjuangkan atau dipertahankan. Ini keputusannya untuk segera mengakhiri masa lajangnya. Aku harus berbesar hati menerima. Seperti saat aku menerima keputusan untuk tak lagi merajut mimpi membangun mahligai bersamanya.
Kupandangi undangan berwarna coklat keemasan itu. Bahkan aku tak pernah tahu siapa calon istrinya.
'Ya Tuhan....'
Akhirnya aku menyebut namaNya, menghela nafas sejenak.
'Doanya sudah Engkau kabulkan. Lebih awal dari aku, dan lebih awal dari yang kukira. Bahagiakan dia Tuhan. Ini yang terbaik untuknya, dan tentu untukku.'
Aku melirih, mengembalikan pada kehendakNya. Aku harus bisa menjalani semuanya ini. Ikhlaskan. Satu kata yang akan kucari tau persis seperti apa definisinya.
Kuambil handphoneku.
"Pagi Ni, bisa disambungkan dengan Bu Putri? Iya ini saya Ratu. Oke Makasih"
Terdengar nada sambung ke ekstension Bu Putri, manajer HRD kantorku.
"Pagi."
"Pagi Bu Putri."
"Iya, ada apa Ratu."
"Maaf, saya harus ambil cuti 3 hari. Kerabat saya ada yang sakit di Jogja. Saya harus pulang. Maaf Bu, mendadak."
"Mmm.. its ok. Kamu belum pernah mengambil jatah cutimu sama sekali. Silahkan. Nanti kita urus administrasinya sepulang kamu dari Jogja ya."
"Terimakasih bu."
"Berangkat jam berapa?"
"Secepatnya, saya akan langsung ke bandara saja."
"Oke Ratu, Hati-hati. "
"Terimakasih Bu."
Pulang ke Jogja karena kerabat sakit? Alasan yang sangat beresiko ketika Tuhan murka dan bisa saja mengabulkan kebohonganku! Aku butuh Ibu. Kangen rumah. Sangat. Raut wajah ibu langsung membayangiku saat aku mulai bersiap mandi.
*
Bayangan rumah tercinta sudah didepan mata. Ibu , aku pulang...ijinkan aku bercerita dalam pelukmu.
"Panggilan ditujukan kepada penumpang Air Asia tujuan Jogjakarta dengan nomor penerbangan QZ 7340. Dipersilahkan menuju pesawat melalui pintu B.Terimakasih"
"Gue tadi nggak nangis Na..., kenapa baru sekarang gue nangis?"
Nana masih diam.
"Kenapa... tadi gue nggak mengeluarkan.... air... mata atau sumpah serapah... dihadapan..nya? Kenapa... Na...?!"
Aku masih terbata-bata ditengah isakku. Dan Nana masih tak menjawab.
"Gue, nggak tahu... ku...du bahagia... atau kudu ber...sedih. Perasaan gue ... campur... aduk. Gue kaget, Na. Kaget. Gue... nggak... siap denger ini. Nggak siap... Na. Be...lom ...siap."
Kalimat yang keluar dari mulutku masih terbata-bata. air mata aku masih terus mengalir. Hati ini rasanya tak terdeskripsikan dengan kata-kata. Tak cukup dengan kata-kata.
Nana masih diam, tangannya belum berhenti menenangkanku. Mengelus punggungku yang terisak tertelungkup di kasurku ditemani bantal. Rasanya nafas ku tersengal-sengal. Ingin berteriak tapi tak kuasa. Berceloteh panjang lebar hanya Nana yang mendengar. Emosi aku masih tak stabil. Air mata ini masih mengalir.
::
Morning Blues
"Pagi Ratu-ku..."
Suara lembut Nana terdengar jelas di telingaku. Kupaksa membuka mata yang masih terasa berat ini. Cahaya pagi dari arah jendela menembus kedalam kamar. Cerah, seakan ingin mengajaku untuk tersenyum. Nana duduk disamping tempat tidurku. Dia masih tak banyak bicara hanya tersenyum.
"Jam berapa Na?
"Jam 7 pagi sayang. Lo mau ngantor nggak?"
Aku menggeleng.
"Oke, gue cabut dulu. Ntar gue telpon lo siangan."
Aku mengangguk.
"Oya, tadi gue buatin roti bakar, tuh. Dimakan ye cin."
Aku mengangguk tersenyum padanya.
"Daaa nek..."
Pandanganku masih menerawang keluar jendela. Memandangi jalan depan rumah ini yang penuh dengan kendaraan. Suasana pagi hari yang sangat penuh dan ramai. Bertolak belakang dengan perasaanku. Kosong, sepi.
Seharusnya aku tidak boleh menangis! Mengapa aku menjadi cengeng? Bukankah aku sudah melalui catrurwulan pertama tanpanya. Itu berarti hidupku baik-baik saja tanpanya. Dan memang tak ada yang bisa diperjuangkan atau dipertahankan. Ini keputusannya untuk segera mengakhiri masa lajangnya. Aku harus berbesar hati menerima. Seperti saat aku menerima keputusan untuk tak lagi merajut mimpi membangun mahligai bersamanya.
Kupandangi undangan berwarna coklat keemasan itu. Bahkan aku tak pernah tahu siapa calon istrinya.
'Ya Tuhan....'
Akhirnya aku menyebut namaNya, menghela nafas sejenak.
'Doanya sudah Engkau kabulkan. Lebih awal dari aku, dan lebih awal dari yang kukira. Bahagiakan dia Tuhan. Ini yang terbaik untuknya, dan tentu untukku.'
Aku melirih, mengembalikan pada kehendakNya. Aku harus bisa menjalani semuanya ini. Ikhlaskan. Satu kata yang akan kucari tau persis seperti apa definisinya.
Kuambil handphoneku.
"Pagi Ni, bisa disambungkan dengan Bu Putri? Iya ini saya Ratu. Oke Makasih"
Terdengar nada sambung ke ekstension Bu Putri, manajer HRD kantorku.
"Pagi."
"Pagi Bu Putri."
"Iya, ada apa Ratu."
"Maaf, saya harus ambil cuti 3 hari. Kerabat saya ada yang sakit di Jogja. Saya harus pulang. Maaf Bu, mendadak."
"Mmm.. its ok. Kamu belum pernah mengambil jatah cutimu sama sekali. Silahkan. Nanti kita urus administrasinya sepulang kamu dari Jogja ya."
"Terimakasih bu."
"Berangkat jam berapa?"
"Secepatnya, saya akan langsung ke bandara saja."
"Oke Ratu, Hati-hati. "
"Terimakasih Bu."
Pulang ke Jogja karena kerabat sakit? Alasan yang sangat beresiko ketika Tuhan murka dan bisa saja mengabulkan kebohonganku! Aku butuh Ibu. Kangen rumah. Sangat. Raut wajah ibu langsung membayangiku saat aku mulai bersiap mandi.
*
Bayangan rumah tercinta sudah didepan mata. Ibu , aku pulang...ijinkan aku bercerita dalam pelukmu.
"Panggilan ditujukan kepada penumpang Air Asia tujuan Jogjakarta dengan nomor penerbangan QZ 7340. Dipersilahkan menuju pesawat melalui pintu B.Terimakasih"
Coffe Addicted-3
"Ra, lo janjian jam berapa?"
"Mmm, tadi sih gue bilang jam 7 di Coffe Addicted."
Kulirik jam tanganku, sudah lewat 10 menit dari jam 7.
"Kita langsung kesana aja kan?"
"Iya deh, gue juga laper nih."
Kami menembus kerumunan orang yang memadati atrium Mall ini.
Nampaknya menghabiskan waktu di mall selepas jam kerja adalah hiburan bagi semua orang. Jelas sekali dari penampilan mereka, 7 dari 10 orang yang berpapasan denganku adalah karyawan atau pegawai kantoran di seputaran jalan protokol Jakarta ini.
Ini masih hari Senin. Hari pertama di awal minggu. Biasanya orang sangat malas bergerak ke kantor di pagi hari. Tapi malas juga segera kembali ke rumah ketika jam kerja berakhir. Manusia, aneh ya? Iya termasuk aku. Aneh. Mengiyakan ajakan Dimas untuk bertemu malam ini bisa kusimpulkan sesuatu yang aneh. Meski aku membela diri dengan alasan caraku membalas sms yang tidak berlebihan, atau lagipula aku bersama Nana, tidak sendiri menemuinya, tetap saja tidak menjadi alasan tepat. Kecuali, aku merindukannya. Iya, aku mengiyakan karena aku kangen. Berlebihan. Kangen pada mantan pacar.
Drrttt...drrttt...
"Hallo"
Aku mengangkat telponku.
"Mmm, gue uda deket kok. Lagi jalan kesitu. Lo uda disana?"
"...."
"Yo, oke."
Tut.
"Si Dimas, Ra?"
"Iya, dia uda disana"
"Gue nggak sabaran."
"Lah , nggak sabaran gimana maksud lo?"
"Nggak sabar pengen liat muka dia!"
"He?"
"Iya, mukanya!"
"Kok?"
"Pengen liat mukanya pas ketemu lo lagi setelah 4 bulan kagak ketemuan!"
"Nggak usah emosi dunk, Na..."
"Gue heran ya, kok lo masih bisa tenang kaya rumput bergoyang gitu?"
"Belanda masih jauh nona Nana..."
"Terserah elo....!!"
Aku tertawa.
*
"Hai Dimas..."
Nana menyapa terlebih dahulu saat kami sudah menemukan meja tempat Dimas menunggu.
"Hai Na."
Dimas sedikit kaget dengan kehadiran Nana sepertinya. Aku pun tersenyum dan ikut menjabat tangan Dimas, setelah Nana. Dimas membalas, dingin.
"Jadi, kalian darimana nih?"
"Kantor aja, biasalah Mas... namanya juga soulmate. Mau kapan aja bareng terus."
Nana menjawab. Nampaknya Nana sengaja tidak memberiku kesempatan banyak untuk berbicara.
"Lo apa kabar, Mas?"
Nana melanjutkan dengan pertanyaan standar ke Dimas.
"Baik. Ya begini deh."
Hening sejenak. hanya suara musik yang mengalun mengisi keheningan antar kami bertiga.
"Selamat malam, silahkan menunya."
Pelayan coffeshop ini menawarkan menu untuk pesanan. Cukup membuat ruang untuk bernafas sejenak disela keheningan yang cukup lama tadi. Aku memandangi menu, tidak ada yang baru. Dan ini kali pertama aku kemari lagi sejak 4 bulan silam. Aku tahu menu favoritnya. Apa masih sama?
"Saya fettucini dengan Espresso mbak."
Iya, ternyata dia masih memesan dengan menu yang sama. Fettucini dan lemon tea sebagai menu favorit sepanjang jaman.
"Saya, Capuccino mbak." Nana memesan cepat.
"Mmm, gue Vanilla latte dengan fettucini juga."
"Saya ulangi ya, Dua fettucini, satu espreso, satu capucino, dan satu vanilla latte. Ada lagi?"
Aku menggeleng, begitu juga Nana dan Dimas.
"Cukup mbak." Dimas mempertegas.
"Terimakasih, mohon ditunggu sebentar."
Pelayanpun pamit dari meja kami. Dan keheningan babak kedua dimulai.
"Eh, gue kudu nemuin temen gue bentar ya di bawah. Entar gue balik sini lagi. Dah..., "
Tiba-tiba Nana bersuara dan meninggalkan aku berdua dengan Dimas.
Dan kami masih terdiam. Bahkan sedari tadi aku belum melontarkan pertanyaan apapun padanya. Aku mengalihkan perhatianku pada handphoneku, meski tak jelas apa yang kulakukan. Aku hanya ingin terlihat tidak kikuk di depannya. Canggung juga 4 bulan tak berkomunikasi apalagi bertemu, dan malam ini Dimas tepat dihadapanku.
"Jadi apa kesibukanmu sekarang Ra?"
Akhirnya dia bertanya padaku.
"Well, ngantor aja. Bisnis online dengan anak-anak. Itu doang."
"Good."
Sekali lagi ada jeda keheningan.
"Mmm.. sebenarnya aku mau menyampaikan sesuatu."
Dan saat-saat seperti ini membuatku khawatir. Dimas selalu serius bila bertutur kata. Dan kali ini wajahnya sangat tidak dibuat-buat. Sangat serius.
"Apa itu, Mas?"
"Mmm..."
Dia tak menjawab, tangannya hanya menyodorkan sesuatu berwarna cokelat keemasan, yang sangat apik, berpita dengan tulisan 'Undangan'.
*
"Mmm, tadi sih gue bilang jam 7 di Coffe Addicted."
Kulirik jam tanganku, sudah lewat 10 menit dari jam 7.
"Kita langsung kesana aja kan?"
"Iya deh, gue juga laper nih."
Kami menembus kerumunan orang yang memadati atrium Mall ini.
Nampaknya menghabiskan waktu di mall selepas jam kerja adalah hiburan bagi semua orang. Jelas sekali dari penampilan mereka, 7 dari 10 orang yang berpapasan denganku adalah karyawan atau pegawai kantoran di seputaran jalan protokol Jakarta ini.
Ini masih hari Senin. Hari pertama di awal minggu. Biasanya orang sangat malas bergerak ke kantor di pagi hari. Tapi malas juga segera kembali ke rumah ketika jam kerja berakhir. Manusia, aneh ya? Iya termasuk aku. Aneh. Mengiyakan ajakan Dimas untuk bertemu malam ini bisa kusimpulkan sesuatu yang aneh. Meski aku membela diri dengan alasan caraku membalas sms yang tidak berlebihan, atau lagipula aku bersama Nana, tidak sendiri menemuinya, tetap saja tidak menjadi alasan tepat. Kecuali, aku merindukannya. Iya, aku mengiyakan karena aku kangen. Berlebihan. Kangen pada mantan pacar.
Drrttt...drrttt...
"Hallo"
Aku mengangkat telponku.
"Mmm, gue uda deket kok. Lagi jalan kesitu. Lo uda disana?"
"...."
"Yo, oke."
Tut.
"Si Dimas, Ra?"
"Iya, dia uda disana"
"Gue nggak sabaran."
"Lah , nggak sabaran gimana maksud lo?"
"Nggak sabar pengen liat muka dia!"
"He?"
"Iya, mukanya!"
"Kok?"
"Pengen liat mukanya pas ketemu lo lagi setelah 4 bulan kagak ketemuan!"
"Nggak usah emosi dunk, Na..."
"Gue heran ya, kok lo masih bisa tenang kaya rumput bergoyang gitu?"
"Belanda masih jauh nona Nana..."
"Terserah elo....!!"
Aku tertawa.
*
"Hai Dimas..."
Nana menyapa terlebih dahulu saat kami sudah menemukan meja tempat Dimas menunggu.
"Hai Na."
Dimas sedikit kaget dengan kehadiran Nana sepertinya. Aku pun tersenyum dan ikut menjabat tangan Dimas, setelah Nana. Dimas membalas, dingin.
"Jadi, kalian darimana nih?"
"Kantor aja, biasalah Mas... namanya juga soulmate. Mau kapan aja bareng terus."
Nana menjawab. Nampaknya Nana sengaja tidak memberiku kesempatan banyak untuk berbicara.
"Lo apa kabar, Mas?"
Nana melanjutkan dengan pertanyaan standar ke Dimas.
"Baik. Ya begini deh."
Hening sejenak. hanya suara musik yang mengalun mengisi keheningan antar kami bertiga.
"Selamat malam, silahkan menunya."
Pelayan coffeshop ini menawarkan menu untuk pesanan. Cukup membuat ruang untuk bernafas sejenak disela keheningan yang cukup lama tadi. Aku memandangi menu, tidak ada yang baru. Dan ini kali pertama aku kemari lagi sejak 4 bulan silam. Aku tahu menu favoritnya. Apa masih sama?
"Saya fettucini dengan Espresso mbak."
Iya, ternyata dia masih memesan dengan menu yang sama. Fettucini dan lemon tea sebagai menu favorit sepanjang jaman.
"Saya, Capuccino mbak." Nana memesan cepat.
"Mmm, gue Vanilla latte dengan fettucini juga."
"Saya ulangi ya, Dua fettucini, satu espreso, satu capucino, dan satu vanilla latte. Ada lagi?"
Aku menggeleng, begitu juga Nana dan Dimas.
"Cukup mbak." Dimas mempertegas.
"Terimakasih, mohon ditunggu sebentar."
Pelayanpun pamit dari meja kami. Dan keheningan babak kedua dimulai.
"Eh, gue kudu nemuin temen gue bentar ya di bawah. Entar gue balik sini lagi. Dah..., "
Tiba-tiba Nana bersuara dan meninggalkan aku berdua dengan Dimas.
Dan kami masih terdiam. Bahkan sedari tadi aku belum melontarkan pertanyaan apapun padanya. Aku mengalihkan perhatianku pada handphoneku, meski tak jelas apa yang kulakukan. Aku hanya ingin terlihat tidak kikuk di depannya. Canggung juga 4 bulan tak berkomunikasi apalagi bertemu, dan malam ini Dimas tepat dihadapanku.
"Jadi apa kesibukanmu sekarang Ra?"
Akhirnya dia bertanya padaku.
"Well, ngantor aja. Bisnis online dengan anak-anak. Itu doang."
"Good."
Sekali lagi ada jeda keheningan.
"Mmm.. sebenarnya aku mau menyampaikan sesuatu."
Dan saat-saat seperti ini membuatku khawatir. Dimas selalu serius bila bertutur kata. Dan kali ini wajahnya sangat tidak dibuat-buat. Sangat serius.
"Apa itu, Mas?"
"Mmm..."
Dia tak menjawab, tangannya hanya menyodorkan sesuatu berwarna cokelat keemasan, yang sangat apik, berpita dengan tulisan 'Undangan'.
*
Subscribe to:
Posts (Atom)
Ini adalah Raja hutan bersama Ratu Nirmala. How r u Ratu?